Buya Syafii, Kompas Moral Bangsa Itu Telah Tiada; Oleh Biyanto Guru Besar UIN Sunan Ampel dan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
PWMU.CO – Ahmad Syafii Maarif telah kembali ke haribaan Ilahi pada Jumat pagi (27/5/2022). Tentu ini sebuah kehilangan yang besar. Bukan hanya bagi Muhammadiyah, melainkan juga negeri tercinta.
Muhammadiyah pantas kehilangan karena Buya Syafii pernah menjadi nakhoda organisasi ini. Sementara itu, negeri ini juga tak kalah kehilangan. Itu karena Buya Syafii layaknya “kompas moral” bangsa. Buya Syafii selalu menjadi rujukan bagi siapapun elite negeri yang ingin memperjuangkan politik nilai.
Komitmen Buya Syafii untuk menegakkan nilai-nilai kebhinekaan juga luar biasa. Tatkala terjadi insiden kekerasan terhadap tokoh agama di gereja Katolik Santa Lidwina, Sleman, Yogyakarta, pada Ahad (11/2/2018), Buya Syafii segera mendatangi lokasi kejadian. Dengan masygul guru bangsa yang akrab disapa Buya Syafii ini menunjukkan kekecewaan mendalam. Buya Syafii nyaris tidak mampu memahami insiden kekerasan tersebut. Apalagi insiden itu terjadi di rumah ibadah ketika jamaat melakukan prosesi misa.
Buya Syafii meminta aparat mengusut tuntas insiden tersebut. Kekecewaan Buya Syafii dapat dimaklumi karena pada saat itu insiden serupa juga dialami sebagian ulama dan kiai. Bukan hanya dalam bentuk kekerasan fisik, para ulama juga menjadi korban penolakan sebagian umat ketika menghadiri undangan ceramah agama. Dengan terpaksa, para ulama pun membatalkan pengajian.
Apa yang dilakukan Buya Syafii menunjukkan keprihatinannya terhadap berbagai insiden radikalisme bernuansa agama. Bahkan, tidak jarang dalam insiden radikalisme itu terjadi kasus bom bunuh diri. Fenomena itu juga mengundang kritik Buya Syafii. Dalam banyak kesempatan, Buya Syafii mengatakan bahwa pelaku bom bunuh diri tergolong pengecut karena berani menghadapi kematian, namun takut dengan kehidupan.
Penjaga Nilai Multikulturalisme
Dalam konteks kehidupan berbangsa yang sangat majemuk, Buya Syafii tampak tidak pernah mengenal lelah untuk mengingatkan pentingnya kesadaran terhadap nilai-nilai multikulturalisme—paham yang mengajarkan pentingnya pengakuan terhadap pluralitas budaya. Multikulturalisme juga meniscayakan kelompok mayoritas mengakomodasi kelompok minoritas sehingga kekhasan identitas mereka tetap terjaga (Will Kymlicka dalam Multicultural Citizenship, 1995).
Buya Syafii seolah mengajak kita merenungkan pandangan filosof Perancis Emmanuel Levinas (1971). Dalam teori tentang penampakan wajah (the face of the other), Levinas mengatakan bahwa penampakan wajah bukan bagian dari aku, bukan pula diukur dari tolok ukurku. Yang lain itu berbeda dari aku. Namun demikian, hubungan aku dengan yang lain tidak akan melahirkan kekerasan. Bahkan kehadiran yang lain akan membuahkan kedamaian dan menumbuhkan kultur positif dalam kehidupan.
Melalui teori penampakan wajah selalu tergambar wajah yang lain. Penampakan wajah yang lain meniscayakan orang saling bertegur sapa. Penampakan wajah tidak pernah membiarkan orang lepas dari tanggung jawab. Setiap orang akan dihadapkan pada penampakan wajah yang mengusik sehingga harus bersikap. Wajah yang tampak akan mencair dalam afeksi sehingga mengkristal dalam kesadaran seseorang. Teori Lavinas mengajarkan bahwa perjumpaan dengan wajah yang lain merupakan bentuk hubungan yang ditandai empati dan nir-kepentingan.
Hubungan itu menjadikan seseorang bertanggung jawab terhadap yang lain tanpa menuntut balasan. Itu berarti tidak ada tuntutan timbal balik dan tiada pula dominasi. Jika pandangan Lavinas diterjemahkan dalam membangun kehidupan berbangsa, maka akan terasa indah. Setiap individu dan kelompok tidak akan mudah menghakimi, apalagi menyakiti, karena selalu tergambar dalam dirinya wajah orang lain. Manyakiti orang lain sama dengan menyakiti diri sendiri.
Jika kesadaran multikulturalisme dibumikan, kita akan melihat pluralitas secara positif. Multikulturalisme penting untuk menumbuhkan komitmen yang tulus sehingga masing-masing terlibat dalam kegiatan lintas budaya, etnis, dan agama. Spirit itulah yang terus digelorakan Buya Syafii bersama lembaga yang didirikannya, Maarif Institute for Culture and Humanity. Semoga negeri ini melahirkan banyak guru sekaligus kompas moral bangsa sekelas Buya Syafii.
Sugeng tindak, Buya Syafii! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni