PWMU.CO– Pesantren yang memadukan dengan panti asuhan bisa menjadi model untuk dikembangkan Muhammadiyah Jawa Timur seperti Pondok al-Mizan Lamongan.
Hal itu disampaikan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Dr M. Saad Ibrahim MA dalam acara Istihlal atau halal bihalal di Masjid al-Ghoihab Lamongan, Sabtu (21/5/2022).
”KH Ahmad Dahlan mendirikan panti asuhan dari waktu ke waktu tidak ada pembaharuan. Maka yang kita lakukan di al-Mizan Lamongan ini, memadukan antara panti asuhan dan pondok pesantren, ini adalah kelanjutan dari ngajinya KH Ahmad Dahlan,” katanya.
Menurut dia, ini akan menjadi model pengasuhan anak yatim dan sekaligus proses pendidikan melalui pondok pesantren. Tentu santrinya tidak hanya anak yatim juga terbuka untuk umum. ”Saya percaya al- Mizan ini akan menjadi besar, karena telah menolong anak yatim,” tuturnya.
Pria kelahiran Mojekerto, 17 November 1951 ini menceritakan, Gubernur Jawa Timur Khofifah supaya supaya ditolong oleh Allah untuk memecahkan masalah menggunakan hadits wallahu fi aunil abdi ma kaanal abdu fi auni akhih. Artinya, Allah menolong hambanya selagi hambanya menolong saudaranya.
”Maka hampir di setiap acara gubernur mengundang anak-anak yatim. Memberikan kegembiraan kepada anak yatim itu,” ujarnya.
Pembenahan Pondok
Muhammadiyah Jawa Timur, sambung Saad, mempunyai 140 panti asuhan. Beberapa di anataranya modelnya seperti Pondok al-Mizan. ”Salah satu rukun pondok pesantren adalah kiai. Maka kita sedang mengatur pondok kita khususnya yang kita sebut Muhammadiyah Boarding School. Yang saat ini jumlahnya di Jawa Timur sudah 39,” ujarnya.
Kiai, sambung dia, bertugas menjaga agama, mengatur pendidikan, mengistiqamahkan santri, mengajarkan dan membuat kurikulum. Termasuk memproyeksikan Pondok Pesantren Muhammadiyah ke depan.
”Jabatan kiai kita rancang tanpa periodesasi. Baru kalau menyimpang akan kita ganti. Tapi tidak otomatis anak kiai menggantikan bapaknya,” tuturnya.
Di Pondok Muhammadiyah juga ada direktur dengan masa jabatan dua periode. Kalau sukses bisa ditambah. Tugasnya mengelola manajemen pondok. ”Urusan-urusan duniyawi kita serahkan kepada direktur,” katanya.
Sejarah Halal Bihalal
Tentang sejarah halal bihalal, Muhammadiyah sudah menggunakan istilah inipada tahun 1924. Majalah Suara Muhammadiyah yang terbit pada tahun itu memuat penawaran iklan ucapan halal bihalal dengan memasang iklan. ”Namun penyebutan dalam iklan itu Alal Bahalal, mungkin untuk memudahkan orang Jawa mengucapkannya,” jelasnya.
Sementara yang beredar di medsos menyebut sejarah halal bihalal dimulai tahun 1946 itu adalah acara resmi halal bihalal di Istana Presiden diadakan tahun 1946. Jadi Muhammadiyah sudah menerima halal bihalal itu bagian dari made in Indonesia.
”Mengapa halal bihalal itu menjadi penting, karena bangsa ini rasa keadabannya mulai hilang. Tapi syukur masih ada Muhammadiyah,” katanya.
Untuk membuktikan, Saad Ibrahim meminta hadirin membuka HP membaca tulisan dan omongan tokoh-tokoh yang memakai kalimat dan diksi cerminan orang kurang beradab.
”Maka munculah nama buzzer, cebong, kadrun, kampret, dan lainnya. Bahkan membela kebaikan pun dengan cara yang seperti itu,” ujarnya. ”Maka perlu menunjukkan Muhammadiyah dengan acara yang seperti ini sehingga terbangun kembali keadaban bangsa ini.”
Dia menambahkan, orang yang minta maaf itu belum tentu diterima. Tapi orang saling memberi maaf, tanpa minta maaf sudah berarti dimaafkan.
Jembar Atine
Kenapa ajaran Islam itu mengutamakan memberi maaf kepada sesama, sehingga ketika dilakukan maka saling memberi maaf kepada sesama. Karena sesungguhnya ada keuntungan yang lebih besar kalau kita memaafkan saudara-saudara kita yang telah berbuat salah kepada kita dan kita juga akan dimaafkan oleh saudara kita.
”Kalau kita memberi maaf kepada orang, maka dada kita ini jembar dan lapang. Kalau dadanya sempit maka tidak akan memberi maaf, kalau dadanya lapang maka akan selalu memberikan maaf,” kata Saad Ibrahim.
Kalau dada kita ini longgar, lapang, dan jembar atine, itu akan memberi efek kesehatan pada tubuh kita. Karena kesehatan itu intinya di dada. Dia mengutip surat Al Imran ayat 112.
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ اَيْنَ مَا ثُقِفُوْٓا اِلَّا بِحَبْلٍ مِّنَ اللّٰهِ وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ وَبَاۤءُوْ بِغَضَبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ كَانُوْا يَكْفُرُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَيَقْتُلُوْنَ الْاَنْبِۢيَاۤءَ بِغَيْرِ حَقٍّۗ ذٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَّكَانُوْا يَعْتَدُوْنَ
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka (berpegang) pada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia. Mereka mendapat murka dari Allah dan (selalu) diliputi kesengsaraan. Yang demikian itu karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi, tanpa hak (alasan yang benar). Yang demikian itu karena mereka durhaka dan melampaui batas.
”Jadi urusan kita ini tidak terlalu rumit, urusan kita cuma ada dua. Yaitu hablumminallah (hubungan baik dengan Allah) dan hablumminannas (hubungan baik dengan sesama manusia). Kalau keduanya beres maka hidup kita akan beres,” ungkapnya.
Penulis Alfain Jalaluddin Ramadlan Editor Sugeng Purwanto