Perankingan Universitas, Budak Westernisasi oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jatim
PWMU.CO– Baru-baru ini, lembaga pemeringkat QS WUR menerbitkan kembali hasil perankingan atas kampus-kampus di dunia. Bercokol sepuluh kampus terbaik di papan atas adalah MIT, Cambridge, dan kawan-kawan lamanya.
Sementara itu 10 kampus Indonesia berada di urutan 200-an hingga 1000-an dengan UGM, ITB, UI berada di tiga besar kampus Indonesia terbaik.
Sejauh pengamatan saya, di papan atas itu tidak banyak perubahan: lu lagi lu lagi! Saya menduga, posisi perankingan universitas itu tidak akan berubah banyak bahkan 100 tahun lagi.
Tidak banyak yang menyadari bahwa praktik perankingan kampus ini adalah bagian dari globalisasi yang dalam praktik adalah westernisasi atau pembaratan. Yaitu proses penyebaran nilai-nilai Barat. Oleh Bung Karno ini disebut nekolim.
Tentu ada yang baik dari western values, namun tidak sedikit yang gombal, alias barang bekas yang bau yang tidak layak diadopsi bagi insan Pancasila. Sayang sekali, gombal values inilah yang banyak diadopsi dengan penuh semangat.
Beberapa nilai Barat yang nggombali ini adalah sekulerisme, kapitalisme, demokrasisme, gender equality, seks bebas dan LGBT. Pembaratan ini bahkan telah merusak UUD 45 yang menggantikan prinsip musyawarah, keterwakilan, dan hikmah, dengan prinsip voting, keterpilihan, dan keberandalan.
Copy Buruk
Mengapa kampus harus dibaratkan? Kampus bertanggung jawab atas knowledge preservation and creation. Bersama dengan sekulerisme, ada pandangan bahwa knowledge and science are value-free.
Sebagai bangsa yang terjajah cukup lama, bawah sadar bangsa ini mengakui bahwa nilai-nilai Barat lebih unggul daripada nilai-nilai yang kita yakini yang banyak diilhami dari local wisdom, ajaran agama, terutama Islam.
Oleh karena itu banyak kampus yang dengan rakus ikut serta menyebarkan nilai-nilai Barat yang nggombali itu. Lupa membangun basis ilmu pengetahuan dan juga teknologi yang dipijakkan pada Pancasila sebagai falsafah bangsa ini.
Tidak ada proses Pancasilaisasi ilmu pengetahuan yang berarti, terutama ilmu-ilmu sosial. Akibatnya, hampir semua kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan copy buruk dari Barat.
Copy buruk karena memang nilai-nilai yang pernah dihayati bangsa ini berbeda dengan Barat. Budaya bermusyawarah dan gotong royong digusur oleh budaya menang-menangan, dan wani piro. Daya saing dan kompetisi diberhalakan, sementara daya sanding dan kolaborasi ditelantarkan.
Bersama globalisasi ini adalah standardisasi sebagai ukuran baik dan buruk dalam perdagangan, industrialisasi hingga pendidikan yang bersifat massal. Mantra standardisasi ini adalah mutu.
Untuk produksi sepatu atau motor secara massal, standard jelas berguna. Tapi tidak untuk pendidikan. Sistem persekolahan massal adalah instrumen pembaratan yang paling berbahaya. Rancangan persekolahan selama 50 tahun terakhir adalah instrumen teknokratik untuk menyediakan banyak buruh yang cukup terampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik pemilik modal.
Kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka akan mendapat tantangan serius dari perankingan kampus karena perankingan ini adalah upaya melestarikan penjajahan dan mentalitas inlander.
Yang relevan kita butuhkan adalah pendidikan sebagai sarana untuk belajar merdeka, sebuah proses yang memerdekakan. Ini penting, seperti dikatakan Amartya Sen bahwa development as freedom, bahwa pembangunan adalah upaya memperluas kemerdekaan.
Pendidikan dengan demikian harus diabdikan sebagai strategi budaya untuk menyiapkan bangsa yang merdeka.
Gunung Anyar, Surabaya, 11 Juni 2022
Editor Sugeng Purwanto