Menteri Zulkifli Hasan dan Nasib PAN oleh Qosdus Sabil, Analis Kebijakan Publik Indostrategi
PWMU.CO– Penunjukan Zulkifli Hasan sebagai Menteri Perdagangan RI menimbulkan tanda tanya besar di kalangan pengusaha. Apakah presiden telah mempertimbangan dengan masak penunjukan tersebut, mengingat beban kerja kementerian itu semakin berat.
Beratnya beban kerja yang dipikul Menteri Zulkifli terlihat dari semrawutnya izin impor. Bisa dikatakan, asal bisa mendatangkan cuan, semua barang akan diimpor. Tidak penting lagi bagaimana sektor perindustrian dalam negeri setengah mati bertahan dari hantaman dampak Covid-19.
Akibatnya selalu akan berulang lahirnya kebijakan dan peraturan menteri yang akan membenarkan mengapa izin impor terus saja dibuka. Kendatipun berulangkali presiden menekankan agar Indonesia menghentikan kebiasaan impor.
Problem terbesar mengapa impor terus dilakukan karena harga produk impor jauh lebih murah ketimbang produk dalam negeri. Hal ini bisa terjadi akibat masih mahalnya komponen biaya produksi. Seharusnya pemerintah memberikan regulasi dan jaminan investasi yang lebih pasti. Termasuk dengan memberikan subsidi untuk dapat menekan tingginya biaya produksi.
Risiko Gagal
Bayang-bayang kegagalan menghantui kerja Zulkifli sebagai menteri. Besarnya ekspektasi yang menyertai penunjukan Zulkifli menjadi beban tersendiri.
Zulkifli Hasan menghadapi persoalan ruwetnya perdagangan. Terutama pengendalian harga. Zulkifli Hasan menggantikan pejabat yang dianggap gagal mengendalikan lonjakan harga komponen sembako.
Harga minyak goreng yang tidak terkendali menjadi pintu masuk presiden Jokowi untuk mengganti Menteri M. Luthfi. Apalagi sebelumnya telah terkuak oleh Kejaksaan Agung adanya permainan harga yang ikut dikendalikan oleh kartel pemilik perkebunan sawit dan pabrik pengolahan minyak sawit.
Keterlibatan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan menjadi bukti, bahwa model permainan harga bahan-bahan pokok, ataupun komoditas strategis nasional, ternyata masih belum lepas dari cengkeraman perdagangan liberal.
Upaya pembelaan terhadap kepentingan perdagangan nasional agar bebas dari belenggu impor menjadi salah satu langkah radikal yang harus ditempuh. Yakni, secara sungguh-sungguh terus mengurangi ketergantungan atas produk impor, dan menggenjot produksi komoditas strategis nasional.
Keraguan terhadap kemampuan Zulkifli memegang kendali perdagangan nasional bisa membawa dampak buruk. Bukan saja bagi kinerja Kementerian Perdagangan, juga akan dapat menentukan laju PAN (Partai Amanat Nasional) di masa depan.
Perebutan Wakil Ketua MPR
Jabatan Wakil Ketua MPR yang ditinggalkan Zulkifli, tak pelak menimbulkan gaduh di internal PAN. Tarik menarik kuat terlihat antara Sekjen PAN Edy Soeparno yang berhadapan dengan Mulfachri Harahap, sosok penantang Zulkifli saat Kongres di Kendari yang berakhir ricuh.
Mulfachri sendiri sudah mengincar posisi Wakil Ketua MPR, setelah disahkannya perubahan atas UU No. 13/2019 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) yang memberikan alokasi jumlah Wakil Ketua MPR berdasarkan jumlah partai yang lolos Parliamentary Treshold. Namun posisi itu justru diambil sendiri oleh Zulkifli Hasan.
Akibat merasa tidak terakomodasi dalam penempatan posisi di jajaran pimpinan DPR/MPR dan Alat Kelengkapan Dewan lainnya, mendorong Mulfachri menjadi penantang utama Zulkifli saat Kongres Kendari.
Mulfachri merasa sangat percaya diri, karena Amien Rais secara terbuka menyatakan dukungannya. Amien Rais meminta Zulkifli, yang notabene adalah besannya, untuk tidak mencalonkan diri maju kembali sebagai calon Ketua Umum PAN.
Namun akibat kekalahan Mulfachri, PAN tak terhindarkan dari perpecahan. Amien Rais kemudian mendirikan Partai Ummat yang diisi oleh mayoritas aktivis PAN yang kecewa atas terpilihnya kembali Zulkifli.
Ironis, karena kini dengan menggunakan jargon rekonsiliasi, Zulkifli terlihat lebih condong menunjuk Mulfachri menjadi penggantinya mengisi jabatan Wakil Ketua MPR ketimbang memilih Edy Suparno, Sekjennya sendiri.
Kuat dugaan, Zulkifli tidak menghendaki sosok Edy Suparno di kemudian hari akan menjadi tokoh PAN yang kuat dan mengakar. Ketokohan Edy Suparno diramalkan bakal mampu mengalahkan hegemoni Zulkifli selama dua periode.
Edy Suparno sebagai Sekjen seharusnya yang paling berhak untuk menduduki kursi Wakil Ketua MPR. Jika hal itu tidak terakomodasi, sepertinya bibit-bibit perpecahan elite PAN akan kembali terjadi. Wallahu a’lam
Editor Sugeng Purwanto