Klaim Kepulauan Riau
Konfrontasi selesai, tapi rebutan perbatasan masih sering terjadi. Saling klaim kedua negara sering memunculkan pertikaian diplomatik. Pernyataan Mahathir Mohammad yang mengklaim bahwa Kepulauan Riau adalah bagian dari Malaysia menjadi bukti bahwa sisa-sisa pertikaian itu masih belum benar-benar sirna, dan setiap saat bisa saja muncul menjadi konflik baru.
Dalam sebuah pertemuan di Selangor yang diselenggarakan oleh organisasi non-pemerintah ‘’Kongres Survival Melayu’’ dengan tajuk ‘’Aku Melayu, Survival Bermula’’ Mahathir mengatakan bahwa Kepualauam Riau adalah wilayah Malaysia karena bagian dari Tanah Melayu. Mahathir juga menyebut Pulau Batu Puteh yang sekarang menjadi wilayah Singapura sebagai wilayah Malaysia.
Pernyataan Mahathir ini memantik berbagai macam reaksi di Indonesia. Pemerintah Indonesia belum mengeluarkan pernyataan resmi, tetapi kantor Kepala Staf Kepresidenan (KSP) menganggap pernyataan itu adalah pernyataan pribadi yang tidak mewakili kebijakan resmi Kuala Lumpur.
Bisa saja pernyataan ini tidak mewakili sikap resmi pemerintah Malaysia, tetapi Mahathir adalah mantan perdana menteri yang paling berpengaruh dalam sejarah Malaysia. Mahathir terkenal dengan kebijakannya yang nasionalistis dan sering disebut chauvinistis serta cenderung ekspansionis. Sampai sekarang, dalam usia 94 tahun Mahathir masih sangat aktif berpolitik dan menjadi salah satu motor utama partai koalisi Pakatan Malaysia.
Posisi politik Mahathir saat ini mungkin bisa dianalogikan dengan posisi politik Megawati Soekarnoputri atau Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Keduanya mantan presiden yang masih mempunyai pengaruh politik signifikan karena memegang kendali partai politik besar. Seandainya Megawati atau SBY membuat pernyataan bahwa Serawak dan Selangor adalah wilayah Indonesia tentu reaksi Malaysia akan sangat keras.
Jangan Terulang Kehilangan Pulau
Indonesia pernah kehilangan Pulau Sepadan dan Ligitan yang diklaim sebagai wilayah Malaysia. Pada 2001 semasa kepresidenan Megawati dua pulau itu diklaim oleh Malaysia yang ketika itu dipimpin oleh Mahathir. Secara geografis dua pulau itu berada dalam wilayah Indonesia karena bertetangga langsung dengan Pulau Sebatik di Kalimantan Timur. Tetapi Malaysia mengklaimnya sebagai wilayahnya.
Sengeket ini dibawa ke pengadilan internasional ICJ (International Court of Justice) dan pada 2002 diputuskan bahwa dua pulau itu menjadi milik Malaysia. Kekalahan dan kehilangan dua pulau ini menjadi aib yang mempermalukan Indonesia. Malaysia pun merasa di atas angin atas keputusan tersebut.
Ironisnya, Mahathir sering dijuluki sebagai ‘’The Little Sukarno’’ oleh media asing karena Mahathir mempunyai kebijakan yang nasionalistis dan chauvinistis. Dalam banyak kesempatan Mahathir tidak takut mengekspresikan sikap kritisnya terhadap Eropa dan Amerika. Ketika wilayah Asia Tenggara diterjang krisis moneter pada 1998 yang nyaris membuat bangkrut, Mahathir dengan tegas menolak bantuan IMF (Dana Moneter Internasional).
Mahathir secara implisit menyebut ‘’Go to Hell with Your Aids’’ sebuah ungkapan yang disampaikan oleh Bung Karno ketika menolak bantuan ekonomi dari negara-negara Eropa yang disebutnya sebagai negara-negara nekolim.
Indonesia menerima bantuan dari IMF dan Presiden Soeharto menandatangani pakta dengan Michel Camdesuss, presiden IMF. Presiden Soeharto menandatangani pakta bantuan dan Camdessuss berdiri sambil bersidekap tangan. Imej itu menunjukkan kekalahan Indonesia terhadap kekuasaan asing.
Mahathir menolak paket bantuan dari IMF dan terbukti Malaysia bisa lebih cepat pulih dibanding Indonesia. Krisis ekonomi di Indonesia merantak menjadi krisis politik yang berujung pada kejatuhan Presiden Soeharto. Malaysia bisa menyelesaikan krisis ekonomi dan Mahathir bisa selamat dengan kekuasaannya.
Mahathir Mohammad terbukti sebagai politisi yang teguh dan penuh pengalaman. Pernyataan klaimnya terhadap Kepulauan Riau tidak boleh dianggap sepele. Indonesia harus serius menanggapinya. Publik dan netizen banyak yang berang terhadap Mahathir dan menyerbu akun resmi medsos Mahathir.
Ada netizen yang menghujat dengan menyebut Mahathir ‘’Pak Tua’’. Ada juga yang mengungkit jargon lama ‘’Ganyang Malaysia!’’. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni