Membentuk Keluarga Islami
Dengan demikian membentuk keluarga yang imani dan islami merupakan keniscayaan yang wajib dilakukan. Memberikan dasar-dasar pemahaman agama merupakan keharusan bagi setiap orang tua bagi anak-anaknya. Sehingga keseimbangan untuk mengarahkan menuntut ilmu agama dan ilmu umum haruslah senantiasa ditekankan.
Jangan sampai justru orangtua hanya berat sebelah dengan memberikan perhatian yang lebih pada yang bersifat ilmu umum, sedangkan untuk kegiatan keilmuan agama sekedarnya saja dan tidak perlu diprioritaskan.
Hal ini karena terkait bukan hanya saja waktu kita hidup di dunia ini, tetapi sekaligus ternyata membawa dampak terus-menerus sampai anak cucu. Jika kita telah mendidik anak-anak dengan keimanan yang mantap dengan akhlaq yang baik, maka berarti kita telah berinvestasi yang hasilnya kita rasakan bukan hanya sewaktu kita masih hidup, tetapi sekaligus sampaipun kita telah meninggalkan dunia ini. Sehingga seolah-olah setiap amal shalih anak-anak kita adalah hasil karya kita yang kita juga dapat menerima dampak pahalanya.
Orangtua shalih berharap dan berusaha memiliki anak yang shaleh. Tanda bahwa kita sebagai anak yang shaleh adalah selalu berbakti kepada kedua orang tua, lebih-lebih saat masih hidup dan bahkan setelah beliau berdua wafat, diantara cara berbakti saat setelah beliau wafat adalah mendoakannya selalu dan juga bersedekah atas nama beliau.
Terkait dengan ini pula yang tidak kalah pentingnya adalah pembagian warisan dari orangtua kita yang telah meninggal dunia. Hal ini harusnya disegerakan dengan mengacu sebagaimana ketentuan Allah Subhanahu wa Taala. Dan bagi ahli waris yang merupakan anak-anak yang shalihah dan shalihah haruslah memerhatikan sebelum proses penbagian waris tersebut, yaitu melunasi utang yang dimiliki oleh si mayit, atau juga jika masih punya utang puasa maka ahli waris juga berkewajiban untuk melunasi hak Allah tersebut, dalam hal ini jika puasa wajib, baik berupa nadzar atau puasa Ramadhan, termasuk nadzar haji.
Hal ini berdasar hadits nabi sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَمَاتَتْ قَبْلَ أَنْ تَحُجَّ أَفَأَحُجَّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ فَقَالَ اقْضُوا اللَّهَ الَّذِي لَهُ فَإِنَّ اللَّهَ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ. رواه البخارى
Dari Ibn Abbas, bahwa seorang wanita menemui Nabi ﷺ dan berujar, “Ibuku bernadzar untuk haji, hanya terburu meninggal dunia, bolehkah aku menggantikan hajinya?” Nabi ﷺ menjawab, “Silakan, berhajilah engkau untuk menggantikannya, bukankah engkau sependapat sekiranya ibumu mempunyai utang, bukankah engkau yang melunasi?” Wanita itu menjawab, “Ya.” Lantas Nabi berkata, “Penuhilah utang Allah, sebab Allah lebih berhak untuk dilunasi utangnya.” (HR Bukhari)
Transfer Pahala Amal Kebaikan
Seorang anak yang shalih maka amalnya yang bersumber dari pendidikan kedua orangtuanya menjadikan orangtunya juga mendapat pahalanya. Berbeda jika orang lain yang mengamalkan keshalihan dengan niat dihadiahkan pahalanya untuk orang lain, karena diminta oleh ahli waris, maka dalam hal ini telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama sejak dahulu kala.
Di antaranya berpendapat sampai dan sah-sah saja, hal ini diqiaskan sebagaimana teks-teks hadis di atas, sehingga semua amal tergantung niatnya. Akan tetapi di antara para ulama berbendapat tidak sampai pahalanya dan sia-sia saja amalan tersebut, karena setiap seseorang melaksanakan ibadah hal itu pahalanya untuk dirinya sendiri.
Sedangkan berdasar teks-teks di atas, hal itu merupakan pengkhususan saja, dan itupun dilakukan oleh ahli warisnya masing-masing atau yang memiliki garus keturunan dengannya.
Perbedaan pendapat di kalangan para ulama merupakan hal yang wajar, karena masing-masing memiliki cara pandang atau perspektif yang berbeda anatra satu dengan lainnya. Sehingga tidak perlu kemudian hal tersebut menjadi perpecahan di tengah umat. Berlapang dada untuk saling menghormati dan menghargai merupakan keniscayaan, karena masing-masing akan mempertanggung jawabkannya kepada Allah.
Menjalankan ketaatan terhadap yang telah sharih atau jelas sumbernya memang lebih menentramkan dan meyakinkan. Tetapi jika ada yang berbeda dan meyakini yang berbeda maka hal itu disilahkan saja, karena masing-masing juga memiliki hujjah yang siap dipertanggungjawabkannya pula. Wallahu alam bishshawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Hukum Bersedekah atas Nama Orangtua yang Sudah Meninggal adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 28 Tahun XXVI, 24 Juni 2022/24 Dzulqadah 1443