PWMU.CO – Keterpurukan ekonomi umat Islam yang mayoritas di Indonesia, secara nyata memberi dampak sistemik terhadap kehidupan bangsa dan negara. Demikian salah satu inti ceramah Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof Din Syamsuddin, dalam Konsolidasi Organisasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Jelang Tanwir Muhammadiyah 2017, di Aula Mas Mansur Gedung PWM Jatim, Sabtu (11/2).
“Keterpurukan ekonomi ini membawa dampak sistemik yang luar biasa dalam bidang-bidang lain,” tegas Din Syamsuddin. Maklum saja, tambah Din, kekuatan ekonomi yang berbentuk uang di tangan segelintir orang non-Muslim itu ternyata tidak lagi murni digunakan dalam bidang ekonomi, perdagangan, maupun bisnis.
(Baca: Optimisme Din Syamsuddin di Konsolidasi PW Muhammadiyah Jatim dan Kiblat Bangsa Melenceng, Din Syamsuddin Ajak Muhammadiyah Meluruskannya)
Lantas Din membandingkan dengan perilaku para pemegang “the power of money” ini dengan periode zaman dulu. “Biasanya hanya mendiktekan dalam kehidupan ekonomi, perdagangan atau bisnis. Nah, sekarang mereka mulai mendiktekan dalam bidang politik,” jelas Din.
Karena itu, tambah Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2005-2015 ini, melihat kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bukan sekedar masalah Gubernur. “Kasus di di Ibukota Jakarta bukan Kepulauan Seribu, meski memang ada yang melihatnya dari sudut teologis ingin Gubernur pemimpin Muslim.”
(Baca juga: Fikih dan Fikib Umat Islam Menurut Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Prof Din Syamsuddin dan Din Syamsuddin: Ada Corporate Asing Ancam Akan Hancurkan Muhammadiyah)
“Kasus Ahok hanya puncak gunung es, karena di bawahnya jauh lebih besar. Yaitu tentang adanya kekuatan uang yang mulai ingin mendiktekan dalam politik,” jelas Din sambil menyatakan bahwa para pimpinan PDM juga merasakan hal yang sama di daerah masing-masing.
“Saya pernah mengedarkan pendapat ini,” jelas Din. Pendapat yang dimaksud adalah sebagaimana diturunkan oleh PWMU.CO secara utuh dalam tautan berikut: Pesan Din Syamsuddin untuk Bangsa Berkaitan dengan Ahok)
Ketidakadilan ekonomi, bukti keterpurukan ekonomi umat Islam ini, juga bisa dilihat dari kepemilikan uang di bank-bank nasional. Menurut data bank akhir tahun 2016 lalu, tambah Din, ternyata kredit yang diberikan untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang rata-rata milik umat Islam, secara nasional hanya Rp 670 miliar secara nasional.
“Tapi yang diberikan untuk usaha besar, kredit perbankan nasional kita itu Rp 3.000 triliun,” papar Din tentang data bank yang diperolehnya. Artinya, ada perbandingan lebih dari 4.477 kali lipat.
(Baca juga: Din Syamsuddin: Jangan Ada Imam Lain di Muhammadiyah Selain Ketua Umum PP dan Cerita Din Syamsuddin Tentang Agama Setan dan Ritual Seks)
Singkatnya, lebih dari 4.477 persen kredit perbankan yang diberikan kepada usaha besar dibandingkan UKM. Bagi Din, angka-angka itu menunjukkan ketidakadilan dalam distribusi kredit ini karena uang yang disalurkan itu sesungguhnya milik rakyat. “Ketidakadilan, padahal itu uang rakyat.”
Lebih mencengangkan lagi tentang penguasaan uang, yang bisa dimonitor dari bank. “Yang menguasai 60 persen uang di Indonesia ini hanya 30-an persen orang. Yang punya rekening di atas 2 miliar di bank. Jumlahnya tidak banyak, hanya 700-an ribu orang,” jelas Din.
(Baca juga: Pembelian TV Nasional yang Gagal dan Rp 500 M Dana Muhammadiyah Jatim dan Inilah Pidato Din Syamsuddin di Depan Paus Fransiscus dan Tokoh-Tokoh Agama Dunia di Italia)
Dibandingkan dengan masyarakat yang punya rekening di bank dengan jumlah uang di bawah 2 miliar, jumlahnya berjibun. “Baik itu yang punya tabungan 1 Miliar, 500 juta, 100 juta, apalagi hanya 10 juta, itu jumlahnya puluhan juta rakyat,” jelas Din.
Sayangnya, kekuatan ekonomi di tangan yang mayoritas non-Muslim itu mulai digunakan untuk mendiktekan dalam berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan lagi dalam bidang ekonomi atau perdagangan, tapi juga ingin mendiktekan dalam kehidupan perpolitikan.
Kondisi inilah yang tampaknya bisa dilihat sebagai salah satu aspek mengapa kasus Ahok menggerakkan perlawanan massif dari umat Islam. (kholid)