PWMU.CO – Berangkat dari pertanyaan yang kerap kali muncul saat membahas tentang Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) adalah apakah membuat tata kelola (sistem) terlebih dahulu atau membesarkan amal usaha terlebih dahulu? Maka dari itu, Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Ponorogo menyelenggarakan Musyawarah Pimpinan Daerah (Musypimda) sekaligus Baitul Arqom, di Hotel Mirah Sarangan, Magetan.
Selama dua hari, 11-12 Februari 2017 jajaran PDM Ponorogo, Majelis, Lembaga dan Badan PDM, serta mengundang Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) se-Ponorogo serius membahas berbagai langkah strategis untuk memperkuat syiar dakwah dan pengembangan AUM di Ponorogo, sekaligus, kaderisasi.
(Baca: Haedar Nashir: Ideologisasi Bagi Amal Usaha Muhammadiyah dan MPK PWM Geliatkan Perkaderan AUM)
Tak kurang 178 peserta ikut ambil bagian dalam kegiatan yang mengagendakan sidang pleno dan komisi untuk masing-masing Majelis dan Lembaga PDM Ponorogo tersebut.
Salah satu sesi pleno misalnya, sidang komisi Majelis Dikdasmen membahas tentang strategi untuk dapat menjadikan sekolah-sekolah Muhammadiyah di Ponorogo menjadi unggul dengan tata kelola yang baik. Mulai dari segi pengelolaan sumber daya manusianya (SDM), keuangannya, dan sarana-prasarananya.
Sementara dalam sidang pleno dan komisi Majelis Ekonomi dan Keiwarusahaan dibahas terkait dengan masih banyaknya amal usaha di bidang ekonomi yang status kepemilikannya belum jalas. Karena, meski dikenal sebagai milik Muhammadiyah, ketika ditelisik dan disandingkan dengan normatif tata kelola AUM, diketahui bahwa masih banyak yang belum benar-benar milik Persyarikatan Muhammadiyah. Kebanyakan masih milik perorangan atau mengatasnamakan Muhammadiyah.
(Baca juga: Pimpinan Muhammadiyah Harus Tuntas Masalah Ekonomi)
Wakil Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PDM Ponorogo Sayid Abbas kepada pwmu.co mengatakan ada 6 indikator bahwa AUM tersebut benar-benar milik Persyarikatan Muhammadiyah. Pertama, dilihat dari sejarah pendiriannya. ”Apakah AUM itu diinisiasi oleh Muhammadiyah atau bukan, dan atau benar diinisiasi oleh Muhammadiyah, tapi dalam perkembangannya lepas dari sejarah pendirinya,” ujarnya.
Kemudian kedua, dilihat dari status kepemilikan saham. Yakni, AUM ekonomi bisa bisa diukura dari kepemilikan aset dan saham ataupun modal. ”Ini juga menarik karena agar berkembang, faktor ini kerap diabaikan. Dalihnya, penting bisa jalan dan berkembang dulu entah itu dari mana saham atau modalnya,” paparnya.
(Baca ini juga: Jihad di Bidang Pendidikan adalah Salah Satu Fokus Muhammadiyah dalam Mengurus Umat)
Ketiga, tempat dan kedudukan AUM itu berada di lingkungan Muhammadiyah atau tidak. Karena itu perlu di tertibkan statusnya. Selanjutnya, keempat yakni siapa pengelola dari AUM tersebut? Apakah kader Muhammadiyah atau yang lainnya, dan bagaimana komitmennya pada Muhammadiyah?
Sementara untuk yang kelima adalah brand. Karena itu nama-nama unit usaha yang identik dengan Muhammadiyah, tapi bukan milik Persyarikatan harus ditertibkan.Terakhir adalah kontribusinya kepada Muhammadiyah juga harus jelas. ”Maka jangan sampai mendirikan ataupun membesarkan AUM tanpa dibarengi dengan kesiapan tata kelola yang baik,” tandasnya.(aan)