Tegas Berprinsip
Abdul Malik Ahmad dikenal sebagai pribadi yang teguh memegang prinsip. Keteguhan dia dalam bersikap, bisa dibilang, melegenda. Setidaknya, itu yang tergambar di dua kejadian yaitu di masa Orde Lama dan di masa Orde Baru.
Abdul Malik Ahmad berani bersikap. Terkait ada setidaknya dua fragmen menarik.
Pertama, di masa Orde Lama pada masalah PRRI. Tentang ini sebenarnya sudah diungkap di bagian atas tulisan ini. Hanya saja, bisa ditambahkan, bahwa di salah sebuah rapat Majelis Hikmah serta Pimpinan Muhammadiyah se-Sumatera Tengah di Padang Panjang tampak sikap berani Abdul Malik Ahmad. Kala itu, dia menyatakan dukungannya pada Gerakan Dewan Banteng dan menyerukan kepada pemerintah pusat untuk mengoreksi seluruh kebijakannya.
Kedua, sikap tegas dan berani Abdul Malik Ahmad istikamah dia pertahankan termasuk di masa pemerintahan Orde Baru yang represif. Dia tokoh utama yang menolak pemberlakuan asas tunggal Pancasila masuk dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah.
Bahwa, pada 1985 rezim Soeharto menetapkan aturan yang mengharuskan setiap organisasi kemasyarakatan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Dalihnya, dengan asas tunggal, pemerintah yakin konflik ideologi dapat dihilangkan sehingga pembangunan nasional tak terganggu.
Atas hal itu, setidaknya di awal, respon di kalangan Muhammadiyah tak seragam dalam menyikapinya. Sebagian ada yang ingin Muhammadiyah akomodatif dengan menerima asas tunggal. Sebagian yang lain, tak hendak tunduk kepada kemauan rezim Orde Baru. Tentu saja, masing-masing punya argumentasi.
Di masalah di atas, Abdul Malik Ahmad ada pada bagian yang menolak penerapan asas tunggal. Dia gigih berpendapat agar Muhammadiyah tetap berasaskan Islam.
Abdul Malik Ahmad tak lelah “berkampanye” di internal Muhammadiyah, menyuarakan sikap tegasnya. Dia sampaikan argumentasi penolakannya di berbagai kesempatan. Juga melalui selebaran yang diedarkan beberapa bulan menjelang muktamar ke-41 Desember 1985 di Solo, Jawa Tengah.
Pada perkembangannya, di sidang pleno muktamar ke-41 itu, Muhammadiyah memutuskan menerima asas tunggal. Meski begitu, aspirasi Abdul Malik Ahmad tetap ada yang diakomodasi. Usulan dia bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus dimaknai sebagai tauhid diterima secara aklamasi oleh peserta muktamar (baca https://www.republika.co.id/berita/).
Tauhid, Tauhid!
Banyak yang mengenal Abdul Malik Ahmad sebagai sang pemberani karena punya dasar tauhid yang kukuh. Di titik ini, kekuatan tauhid Abdul Malik Ahmad bahkan menginspirasi banyak orang. Salah satunya adalah Ketua Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia, Ahmad Sumargono.
Tokoh yang juga pernah memimpin Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) itu memiliki pengalaman tersendiri saat berguru kepada Abdul Malik Ahmad. “Dari sekian guru yang paling berkesan itu adalah Buya Malik Ahmad. Kalau mendengarkan ceramahnya saya tersentuh,” ungkap Ahmad Sumargono.
Dia juga terkesan dengan karya tafsir Abdul Malik Ahmad yaitu Tafsir Sinar. Menurut Ahmad Sumargono, kajian-kajian yang terkandung dalam tulisan sang guru memiliki nilai tauhid yang mendalam (Lasa Hs., dkk. 2014: h.84).
Siapa Penerus?
Buya Abdul Malik Ahmad meninggal di Jakarta pada 3 Oktober 1993 dalam usia 81 tahun. Tugas kita adalah melanjutkan perjuangan “sang penjaga tauhid” itu.
Sungguh, Buya Abdul Malik Ahmad telah berjuang. Almarhum telah meninggalkan jejak kebaikan yang panjang. Almarhum telah mengajarkan sikap tegas dan berani dalam beramar makruf nahi munGkar. Maka, semoga kaum beriman bisa menjadi penerusnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post