Kudeta Masjid
Setelah mereka cukup mandiri dan memiliki beberapa pengikut maka biasanya takmir ditinggal begitu saja, dan sukseslah mereka merebut masjid atau mushala. Kepengurusan takmir masjid direnovasi dan orang-orang Muhammadiyah disapu bersih.
Inilah yang disebut Ali Trigiatno sebagai kudeta masjid secara senyap, pelan, serta tanpa perlawanan dan keributan yang berarti. Mereka leluasa menentukan dan mengendalikan, imam, khatib, penceramah, ritual beribadah, dan semua hal.
Sayangnya perilaku mereka ini malah membuat beberapa warga, bahkan pimpinan Muhammadiyah kesengsem alias tertarik dengan kajian-kajian mereka. Mulailah para warga lebih aktif hadir di kajian salafi daripada di Muhammadiyah.
Pada awalnya mereka mengesankan sama dengan Muhammadiyah, ketika sudah kuat maka mereka mulai mengkritik keputusan-keputusan hukum Muhammadiyah yang tersusun dalam Himpunan Keputusan Tarjih (HPT) produk Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Bahkan juga sikap dan keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Pada akhirnya, beberapa warga sudah terlambat menyadari bahwa masjid mereka sudah berganti kepemilikan, pimpinan lain hanya bisa terpana, mlongo, menyaksikan kenyataan bahwa apa yang dulu mereka perjuangkan ternyata sudah hilang.
Ada yang Difasilitasi Pimpinan
Sementara itu cara dari dalam masuknya salafi ke dalam tubuh Muhammadiyah justru difasilitasi oleh para pimpinannya. Ada beberapa pimpinan Muhammadiyah diam-diam mempelajari dan mengikuti kajian-kajian salafi dan tertarik, bahkan cenderung mempromosikan paham-paham salafi.
Mereka juga menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah berpaham salafi. Setelah lulus dan bisa bicara agama maka mereka diminta untuk mengisi acara-acara Muhammadiyah. Karena yang mengisi adalah tokoh Muhammadiyah maka pimpinan lain merasa rikuh dan tidak enak sehingga membiarkannya. Lambat laun ajaran Muhammadiyah dikaburkan, warganya dibuat meragukan HPT, dan digantikan dengan dokrin salafi.
Ada beberapa faktor yang membuat salafi relatif mudah masuk ke jantung Muhammadiyah. Di antaranya keputusan hukum di HPT sangat moderat sehingga menjadi celah bagi orang lain untuk menyerangnya.
Muhammadiyah juga kekurangan sumber daya manusia (SDM) yang siap mengurusi jamaah, masjid, dan mushala yang semakin menggurita. Faktor lain: adanya kemiripan beberapa ajaran, pendekatan, dan performa salafi yang cukup meyakinkan; kurang sigapnya para pimpinan Muhammadiyah mensikapi fenomena ini; kajian-kajian salafi menyangkut tema-tema keseharian yang praktis; dan sebagian warga menyukai fatwa yang tegas dan keras.
Baca sambungan di halaman 4: Dampak Positif dan Negatif