PWMU.CO– Kasus ACT (Aksi Cepat Tanggap) menjadi catatan tentang integritas para pengelola lembaga filantrofi. Banyaknya musibah dan tingginya kedermawanan masyarakat menjadi peluang ’bisnis’ para ’pialang’ filantrofi.
Hal itu disampaikan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti dalam keterangan tertulis yang disampaikan ke PWMU.CO, Selasa (5/7/2022).
Pernyataan Abdul Mu’ti itu mengomentari berita Laporan Utama Majalah Tempo Edisi 4 Juli 2022 tentang kasus ACT yang dituduh menyelewengkan dana filantropi dari donatur.
Abdul Mu’ti menjelaskan, di masyarakat terdapat gejala berkembangnya dhuafa entrepreneurs, mereka yang berbisnis dengan komodifikasi kaum dhuafa.
”Kasus ACT itu menjadi pelajaran betapa pentingnya pengawasan baik internal yayasan maupun pengawasan oleh publik. Sependek pengetahuan saya, setiap lembaga dan Badan Zakat, Infaik, Sedekah dan lembaga-lembaga filantrofi harus diaudit oleh akuntan publik,” kata guru besar UIN Jakarta ini.
Lembaga-lembaga itu juga harus menyampaikan dananya ke publik, katanya. Regulasi sebenarnya sudah jelas. Problem yang terjadi adalah bagaimana regulasi itu ditegakkan.
”Pemerintah perlu membuat lembaga semacam OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dalam lembaga keuangan syariah. Ini untuk memastikan keterlaksanaan good corporate governance,” tandasnya.
Tidak adanya lembaga otoritas yang mengawasi lembaga filantrofi, menurut dia, merupakan salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan oleh pengurus.
Penyelewengan, ujar dia, juga berpotensi terjadi tidak hanya secara governance, tapi juga penggunaan dana untuk kepentingan politik dan distribusi yang tidak sesuai aturan.
”Masyarakat perlu lebih cerdas menilai profesionalisme dan akuntabilitas lembaga filantrofi. Mereka berhak untuk mengetahui penggunaan dana yang telah mereka salurkan untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan,” tandasnya.
Klarifikasi ACT
Sementara Presiden ACT Ibnu Khajar dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (4/7/2022) sore menyampaikan klarifikasi tentang pemberitaan kasus ACT di Majalah Tempo.
Tempo menulis petinggi ACT diduga menyelewengkan donasi publik. Sebagian digunakan untuk kepentingan pribadi. Gaji pimpinan juga disorot yang besarnya Rp 80 juta hingga 250 juta.
Presiden ACT Ibnu Khajar menyampaikan, sejak 11 Januari 2022 sudah dilakukan penataan dan restrukturisasi lembaga. ”Sejak 11 Januari 2022 tercipta kesadaran kolektif untuk memperbaiki kondisi lembaga. Dengan masukan dari seluruh cabang, kami melakukan evaluasi secara mendasar,” ujar Ibnu Khajar.
Restrukturisasi lembaga ACT, kata Ibnu, termasuk manajemen, fasilitas dan budaya kerja. Pergantian manajemen ini merupakan titik balik momentum perbaikan organisasi dengan peningkatan kinerja dan produktivitas.
”SDM kita saat ini juga dalam kondisi terbaik, tetap fokus dalam pemenuhan amanah yang diberikan ke lembaga. Kita juga telah melakukan penurunan jumlah karyawan untuk peningkatan produktivitas. Pada 2021 lalu, jumlah karyawan 1.688 orang, sementara Juli 2022, telah dikurangi menjadi 1.128 orang,” jelas Ibnu Khajar.
ACT merupakan sebuah lembaga kemanusiaan global, dengan kiprah di 47 negara. Sepanjang tahun 2020 telah melakukan 281.000 aksi.
Pergantian Pembina
Sejak Januari 2022, ACT juga mengganti Ketua Pembina ACT, 78 cabang di Indonesia, serta 3 representative di Turki, Palestina dan Jepang.
Ibnu Khajar menerangkan, ACT melakukan banyak perombakan kebijakan internal. Ini penting dilakukan, untuk mendorong laju pertumbuhan organisasi.
Dia mengatakan, restrukturisasi yang terjadi juga berupa penyesuaian masa jabatan pengurus menjadi tiga tahun, dan pembina menjadi empat tahun.
Sistem kepemimpinan diubah menjadi kolektif kolegial. Yakni melibatkan para pihak yang berkepentingan dalam mengeluarkan kebijakan melalui mekanisme musyawarah untuk mencapai mufakat. Mekanisme ini juga akan diawasi secara ketat oleh Dewan Syariah yang telah dibentuk ACT.
Gaji dan Fasilitas
Soal gaji dan fasilitas, Ibnu menerangkan, sudah ada penyesuaian sejak restrukturisasi Januari lalu. ”Seluruh fasilitas kendaraan Dewan Presidium ACT adalah mobil Innova. Kendaraan itu pun tidak melekat pada pribadi, melainkan juga bisa digunakan untuk keperluan operasional tim ACT,” kata Ibnu.
Sebelumnya, rata-rata biaya operasional termasuk gaji para pimpinan pada tahun 2017 hingga 2021, adalah 13,7 persen.
“Rasionalisasi pun kami lakukan untuk sejak Januari 2022 lalu. Insyaallah, target kita adalah dana operasional yang bersumber dari donasi adalah sebesar 0 persen pada 2025. Namun tentu perlu ikhtiar dari masyarakat sehingga bisa melakukan distribusi bantuan sebaik-baiknya,” kata Ibnu.
Untuk diketahui, ACT merupakan lembaga kemanusiaan global yang telah mendapat izin resmi dari Kementerian Sosial RI. ACT juga memiliki predikat WTP (Wajar tanpa Pengecualian) termasuk dalam opini tata kelola keuangan terbaik yang diberikan oleh auditor Kantor Akuntan Publik (KAP) dari Kementerian Keuangan.
Pada tahun 2020, ACT secara total menerima Rp 519 miliar dan telah disalurkan ke sekitar 281.000 aksi kemanusiaan. Lewat aksi tersebut, 8,5 juta warga telah menjadi penerima manfaat dalam berbagai program kemanusiaan yang dijalankan ACT. (*)
Editor Sugeng Purwanto