Jangan Mencampur-adukkan Urusan Keluarga dengan Sekolah; Liputan Rawadan Reza Rachman, kontributor PWMU.CO Gresik.
PWMU.CO – Guru Sekolah Kreatif SD Muhammadiyah 20 Surabaya Sutiyah SPd menjadi salah satu narasumber dalam Rapat Kerja Guru dan Karyawan Sekolah Kreatif SD Muhammadiyah 1 Menganti Gresik, Senin (4/7/2022).
Guru Penggerak angkatan II itu memberikan materi berjudul Guruku Bukan Guru Biasa. Sebelum memaparkan materinya, Ustadzah Tiyah, begitu sapaannya, bercerita bagaimana awal mula ia mengajar di Sekolah Kreatif SD Muhammadiyah 20 Surabaya.
Mulanya dia mengaku kagum dengan pembelajaran di sekolah tersebut. “Kok ada, ya, sekolah seperti ini. Siswa-siswinya beragam, apalagi ada siswa inklusinya juga. Tapi mereka begitu diperhatikan dan tidak pernah dimarahi oleh gurunya,” ucapnya di awal cerita.
Pengalaman itulah yang membuatnya jatuh cinta pada sekolah yang berlokasi di Jalan Tembok Dukuh Butulan 7 Surabaya. Ia menemukan suasana baru dalam pembelajaran di sekolah karena dalam sekolah kreatif, guru memberikan perhatian yang lebih untuk para siswa selain harus mengajar.
Empati dan Simpati
Baginya, menjadi guru tidak hanya mengajar atau mentransfer informasi dari buku kepada para siswa saja. Namun juga harus memiliki rasa empati, simpati, dan perhatian yang lebih untuk para siswa.
Ustadzah Tiyah juga berpesan agar tidak mencampur-aduk masalah keluarga di rumah ke sekolah, atau sebaliknya. Hal itu agar para guru memberikan pelayanan yang maksimal kepada para siswa dan juga wali murid.
“Kalau kita jarang memberi perhatian atau kesan yang baik bagi mereka (siswa), mereka juga akan malas bertemu kita. Dampaknya, materi pembelajaran akan susah diterima oleh anak-anak,” imbuhnya.
Sebelum mengakhiri materi, Ustadzah Tiyah memberikan kutipan dari Ali Bin Abi Thalib: “Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan di zamanmu.”
Menurut dia, para guru juga harus berkawan dengan teknologi saat ini dan memanfaatkannya untuk media pembelajaran.
“Siswa kita bisa mencari informasi apa saja di Google tapi mereka tidak akan pernah mendapat rasa simpati atau empati dari mesin pencari itu. Ini adalah tugas kita, sebagai pendidik, untuk memberikan perhatian kepada siswa kita. Karena di sekolah mereka adalah anak kita,” ujarnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni