Khutbah Idul Adha, Meneladani Ibrahim untuk Pendidikan Keluarga dan Kehidupan Demokrasi
Oleh Ainur Rafiq Sophiaan SE MSi, Wartawan, Dosen Komunikasi, dan Wakil Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PWM Jawa Timur
السلا م عليكم ورحمة الله وبركاته
اَلْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ اِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ اَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ اَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اَمَّا بَعْدُ: فَيَاعِبَادَ اللهِ : اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَ اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
الله اكبر الله أكبر, لا اله الا الله, الله أكبر الله أكبر, ولله الحمد
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Alhamdulillah kita pagi ini dalam suasana yang penuh damai dan gembira kita bisa berkumpul di tempat ini dalam rangka menunaikan ibadah shalat Idul Adha 1443 H/2022 M. Sudah barang tentu semua itu dilandasi nilai keimanan sekaligus kesehatan dan kesempatan. Namun, sehat dan sempat pun tak akan ada manfaatnya bila tidak dilandasi dasar iman dan takwa kepada Allah swt. Sehingga bagaimana ketiga nikmat itu bisa didayagunakan untuk menggapai visi setiap muslim yang sempurna, yakni terwujudnya sukses dunia dan akhirat sekaligus terhindar dari siksa neraka. (Al-Baqarah 2:201)
Kita juga bersyukur kepada Allah swt atas situasi dan kondisi akhir-akhir ini saat mana pandemi Covid-19 telah melandai walaupun menurut para ahli dan WHO masih belum berakhir total. Bahkan, virus itu diprediksi tetap bercokol di bumi Allah ini dalam skala terbatas yang kemudian dikenal sebagai endemi.
Kita telah punya pengalaman banyak selama lebih dari 2 tahun itu diuji Allah dengan berbagai macam: kehilangan nyawa anggota keluarga, kehilangan pekerjaan atau pendapatan. Bahkan kehilangan kesempatan beribadah secara sempurna. Namun dengan kesabaran dan tawakal semua pengorbanan itu dapat kita lalui dengan pelan tapi pasti. Allah mengingatkan
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ
Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit rasa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al Baqarah 2 ;155).
Pandemi Melandai
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Pada bulan Dzulhijjah dan Idul Adha seperti hari ini kita kembali diingatkan dan memperingati sekaligus melaksanakan dua peristiwa monumental yang kemudian menjadi syariat Allah swt melalui Nabiyullah Khalilullah Ibrahim as dan kemudian disempurnakan oleh Rasulullah Muhammad saw. Tidak lain adalah ibadah kurban (Udzhiyyah) dan ibadah haji.
Dua peristiwa itu saling berkaitan dan tak bisa dipisahkan, setidak-tidaknya dari sisi tujuan pemberlakuan syariatnya (maqashid al syariat).
Alhamdulillah, setelah absen dua kali (tahun), kini ibadah haji kembali dibuka setelah pemerintah Saudi Arabia selaku khadim al haramain membuka kembali dengan pembatasan kuota dan usia dalam pengelolaan protokol kesehatan.
Indonesia sendiri tahun ini hanya mendapat kuota 100.051 orang dari kuota normal 218.150 orang (2019). Tentu saja itu merupakan kesempatan emas bagi yang tahun ini berangkat sebagai tamu-tamu Allah (dzuyuf al rahman). Kita doakan semoga mereka semua menjadi haji mabrur. Rasulullah saw bersabda :
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ متفق عليه
Barangsiapa menunaikan ibadah haji sedang ia tidak berkata kotor dan tidak melakukan kefasikan, maka ia kembali pulang seperti saat ia dilahirkan oleh ibunya. (HR Bukhari dan Muslim)
Ibadah haji sebagai Rukun Islam yang kelima adalah wajib ditunaikan bagi yang berkemampuan yang dalam bahasa al-Quran disebut sebagai istitha’ah (Ali Imran 3:97). Mampu dalam pengertian secara luas sehat jasmani ruhani, ada biaya, ilmu (melalui manasik haji), dan last but least kesempatan.
Dari ibadah haji kita bisa belajar banyak bagaimana Islam mengajarkan prinsip-prinsip keimanan yang total kepada Allah swt berbarengan dengan prinsip persamaan antarmanusia tanpa melihat latar belakang ras, suku, negara, warna kulit, bahasa, pendidikan, dan seterusnya. Maha Benar Allah swt ketika berfirman (Al-Hujurat 49:13)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Kualitas Takwa
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Dalam mensyiarkan Idul Adha kita juga tak lepas dari peristiwa monumental ibadah kurban yang awalnya merupakan episode sejarah Nabi Ibrahim bersama putranya Ismail as. Bagaimana besar dan beratnya pengorbanan Ibrahim yang menanti sekian lama kehadiran anak. Namun atas kehendak Allah, alih-alih putra itu lahir dan menjadi buah hati yang menyenangkan dipandang, Ibrahim justru diperintahkan Allah untuk menyembelihnya.
Secara mengejutkan, saat hendak dieksekusi, Allah memanggil Ibrahim untuk tidak meneruskan rencana (menyembelih putranya) itu. Setelah terbukti ketaatan dan kesabaran Ibrahim dan Ismail, Allah menggantinya dengan seekor sembelihan yang besar (Ash-Shaffat 37: 107). Dan bagaimana proses negosiasi sebelumnya antara sang Bapak dan Anak sungguh menarik dan indah dilukiskan Allah.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ
Maka tatkala anak itu sampai (dewasa) berusaha bersama ayahnya, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.” Ia menjawab: “Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insyaallah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar (Ash-Shaffat 3:102)
Baik ibadah haji maupun ibadah kurban semuanya bertujuan untuk mencapai kualitas ketakwaan pada Allah swt. Dalam konteks haji disampaikan bahwa bekal terbaik untuk itu adalah ketakwaan (Al-Baqarah 2:197). Demikian pula ibadah kurban dimaksudkan sebagai tanda bukti bahwa ketakwaan itulah yang akan dinilai sebagaimana disampaikan Allah dalam (Al-Hajj 22:37)
لَنۡ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُـوۡمُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلٰـكِنۡ يَّنَالُهُ التَّقۡوٰى مِنۡكُمۡؕ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَـكُمۡ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰٮكُمۡؕ وَبَشِّرِ الۡمُحۡسِنِيۡنَ
Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
Dari peristiwa inilah menjadi dasar syariat berkurban bagi kaum muslimin yang memiliki kelonggaran sebagaimana dikatakan Rasulullah saw ;
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم “مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami. (HR Imam Ahmad dan Ibnu Majah).
Tiga Hikmah
Menilik dari dialog Ibrahim dan putranya Ismail seperti yang tergambar di atas ada beberapa ibrah/pelajaran dan hikmah yang bisa kita petik untuk kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Pertama, ketaatan Ibrahim dan putranya kepada Allah merupakan manifestasi dari keimanan yang sempurna. Hal ini sekaligus menandakan bagaimana keberhasilan Ibrahim menanamkan nilai-nilai tauhid kepada keluarga. Dalam konteks pendidikan agama dalam keluarga memang nilai-nilai aqidah harus disemaikan terlebih dahulu sejak dini sebelum lainnya seperti dicontohkan Luqman pada putranya. (Luqman 31 : 13)
Setelah nilai-nilai tauhid tertancap erat pada kalbu anak, barulah mengajarkan syariat lainnya seperti salat, puasa, dan lainya, Pada saat yang sama juga ditanamkan nilai-nilai akhlak dan adab sehingga sempurnalah dimensi agama dalam diri anak. Praktiknya bisa saja berbarengan disesuaikan dengan usia dan kemampuan tumbuh kembang anak.
Berbagai riset menunjukkan, keluarga tanpa dilandasi oleh nilai keimanan yang kuat hanya akan menjadi kumpulan manusia yang gersang hatinya. Seperti digambarkan Dr Ir Imaduddin Abdulrahim dalam buku kecilnya yang terkenal Kuliah Tauhid.
A house but not home
Medecine but not health
Finery but not beauty
Amusement but not happiness
Religion but not salvation
Kedua, meskipun sudah jelas bahwa perintah menyembelih putranya datang dari Allah, namun Ibrahim tetap menghargai jati diri Ismail. Sang Bapak tetap meminta pendapat ’calon korban’. Hal ini menyiratkan makna bahwa aspek vertikal (ketaatan kepada Allah) tidak serta merta meninggalkan kepatutan horizontal ) sesama manusia. Keduanya berjalan berkelindan dalam satu pancaran semangat keberagamaan yang harmonis, seimbang, dan terpadu.
Kita secara jujurnya dengan berat hati mengatakan bahwa belakangan ini kehidupan keluarga semakin tergerus dengan nilai-nilai hedonisme dan materialisme yang masif. Degradasi moral itu makin terasa seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan dimanjakannya fasilitas teknologi komunikasi. Suasana dialogis segi tiga antara bapak-ibu-anak makin jarang tampak tergantikan dengan berbagai aplikasi media sosial seolah telah mewakili semuanya.
Demikian juga dalam perspektif kehidupan berbangsa dan bernegara, budaya dialog yang menjadi keniscayaan dalam berdemokrasi seolah tinggal retorika para elite politik. Situasi yang sudah memburuk itu diperparah dengan hadirnya buzzer-buzzer bayaran yang hanya bisa membuat narasi dan provokasi negatif yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi gaduh dan menyulut konflik horizontal. Akibatnya, wujud demokrasi berubah menjadi buzzerkrasi.
Ketiga, baik ibadah kurban maupun ibadah haji merupakan sedikit dari sekian banyak amalan agama yang salah satu tujuannya adalah mensyiarkan agama Allah (Al-Hajj 22: 32) yang muncul dari rasa ketakwaan kepada Allah swt. Ini mengandung makna dalam beragama juga membutuhkan simbolisasi dan identifikasi karena Islam adalah agama dakwah dan rahmatan lil alamin.
Substansi Beragama
Memang kita sepakat bahwa beragama harus lebih subtansial daripada sekadar ritual-seremonial. Tapi, jangan lupa bahwa dalam agama ada dimensi tata cara (rukun-wajib-sunnah-larangan) yang merupakan satu kesatuan dengan tujuan ibadah itu sendiri, yakni mencapai derajat ketakwaan maksimal.
Dalam kaitan ini di tengah angin Islamofobia yang santer berembus belakangan ini kita mencandra ada fenomena segala yang berbau Islami dicurigai dan dinilai secara negatif. Kita berharap hal demikian tidak berketerusan karena bertentangan dengan sila pertama dasar negara kita, yakni Ketuhanan Yang Mahaesa.
Akhirnya, marilah kita bermunajat kepada Allah semoga seluruh hajat kita sebagai pribadi muslim dikabulkan Allah. Agar tercapai kepribadian Islam yang kaffah, rumah tangga yang sakinah bertaburan mawaddah dan rahmah, masyarakat (qaryah) yang thayyibah, dan negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Negara yang gemah ripah loh jinawi dalam ridla Allah swt. Negara seperti itu hanya akan terwujud bila seluruh kebijakan di dalamnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan aspirasi umat Islam.
إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِىِّ ۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ صَلُّوا۟ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًا
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كما صَلَّيْتَ عَلَى إبْرَاهِيمَ وعلى آلِ إبْراهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كما بَاركْتَ عَلَى إبْرَاهِيمَ وَعَلَى آل إبراهيم في العالَمِينَ إنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبٌ الدَّعَوَاتْ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Editor Sugeng Purwanto