Perjuangan dan Pengorban Ibrahim
Peristiwa kedua, perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim terhadap kaumnya yang mengajak agar beriman dan mentauhidkan Allah sangatlah besar.
Bertahun-tahun ia berjuang membasmi paham syirik dan berbagai macam kebatilan yang merata di kalangan kaumnya. Tetapi tantangan dan ancaman semakin hebat. Dan perlawanan dari penguasa ketika itu, Raja Namrud, juga semakin keras dan kejam.
Atas petunjuk Allah, Nabi Ibrahim beserta istri dan anaknya, Hajar dan Ismail, meninggalkan negeri dan kaumnya, untuk hijrah ke suatu lembah yang terpencil kering dan gersang, yaitu negeri Mekah.
Selang beberapa waktu di tempat yang baru itu, kembali Nabi Ibrahim diuji Allah SSW. Ia bemimpi, Allah memerintahkannya untuk menyembelih Ismail, putra semata wayang yang sangat dicintainya.
Sehari sesudah mendapat mimpi itu, Nabi Ibrahim merenungkan mimpinya itu, apakah benar datang dari Allah atau bukan. Itulah yang disebut Yaumut Tarwiyah, hari perenungan dan pemikiran.
Di hari kedua, barulah ia yakin bahwa mimpi itu benar-benar datang dari Allah, sehingga disebut Yaumul Arafah, hari mendapatkan pengetahuan dengan sadar. Dan akhirnya pada hari ketiga Nabi Ibrahim mengambil keputusan dengan penuh keyakinan yang dikenal dengan Yaumun Nahr, hari melaksanakan penyembelihan.
Pada saat pengorbanan yang akan berlangsung, terjadilah dialog antara Ibrahim dan putranya Ismail, yang sangat menggugah hati dan perasaan, sebagai contoh kuatnya iman dan takwa mereka kepada Allah SWT. Al Qur’an dengan indah menggambarkan:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha beramanya, (Ibrahim) berkata: Wahai anakku, Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!
Ismail menjawab: Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu, Insya Allah ayah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (ash-Shafat 102)
Begitu mengharukan proses pengorbanan itu, terlebih lagi ketika Ismail dengan penuh tawakal memohon kepada ayahnya: “Wahai ayah! Ikatlah kaki dan tangan saya kuat-kuat, agar gelepar tubuh saya tidak membuat ayah bimbang.
Telungkupkan tubuh saya sehingga muka menghadap ke tanah, supaya ayah tidak melihat wajah saya.
Ayah! Jagalah darahku jangan sampai memerciki pakaian ayah karena bisa menyebabkan perasaan iba, sehingga akan mengurangi pahala. Dan asahlah pisau itu tajam-tajam, agar penyembelihan berjalan lancar.
Wahai ayah! Baju saya yang berlumur darah nanti, bawalah pulang dan serahkan pada ibu, dan sampaikan salamku kepadanya, semoga beliau sabar menerima ujian ini.
Setelah dialog tersebut berlangsung, Allah mengatakan:
فَلَمَّاۤ اَسۡلَمَا وَتَلَّهٗ لِلۡجَبِيۡنِۚ
Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah).
Maka tatkala keduanya telah berserah diri, dan Ibrahim telah merebahkan Ismail, meletakan pipinya di atas tanah. Lalu kami panggilah ia. “Wahai Ibrahim, telah engkau turuti perintah itu!” Demikianlah, Kami akan membalas orang-orang yang berbuat baik. Ketahuilah, bahwa perintah ini hanyalah ujian yang nyata.” (ash-Shafat 103-106)
Akhirnya Nabi Ibrahim dilarang menyembelih putranya, setelah dinyatakan Allah lulus menjalani ujian. Sebagai gantinya Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih binatang kurban.
Untuk Apa Berkurban?
Sejak itu maka sebagai tanda bersyukur beliau, pada waktu tertentu secara kontinyu menyembelih hewan untuk ibadah kurban. Kemudian amaliah ini ditingkatkan lagi oleh Nabi Muhammad SAW, sebagaima digambarkan dalam hadits ini:
Para sahabat bertanya kepada Rasulullah; apakah kurban itu? Nabi menjawab: Itulah sunah yang dijalankan oleh bapakmu Ibrahim.
Mereka bertanya lagi: Apakah keuntungan kurban itu bagi kita? Nabi menjawab: pada setiap helai bulunya dihitung menjadi satu kebajikan. (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
“Dengan demikian menjadi jelaslah bagi kita, apa sesungguhnya makna dan pelajaran yang dapat kita petik di balik peristawa haji dan kurban yang telah dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim,” tuturnya.
Maka pertanyaannya adalah pengorbanan apa yang telah kita lakukan sebagai seorang Muslim demi cita-cita hidup kita sebagai hamba Allah?
Islam adalah agama menuntut bukti perjuangan dan pengorbanan dari setiap hambanya. Lihatlah kehidupan para nabi dan rasul, para sahabat nabi, para syuhada, mujahidin, dan shalihin.
Tak satu pun di antara mereka yang sepi dari cobaan atas perjuangan dan pengorbanan, baik dalam bentuk moril maupun materiil. Bahkan harta, jiwa, dan raga telah mereka serahkan untuk kejayaan Islam.
Dengan modal sabar, ikhlas, ridha menjalankan perintah Allah sami’na wa’atha’na (kami mendengar dan kami taat) merupakan landasan yang kuat dalam menghadapi ujian dan cobaan.
Oleh karena itu, marilah peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim dan Ismail harus kita jadikan iktibar, suatu pelajaran dan peringatan. Yakni bahwa anak dan harta hakikatnya adalah milik Allah, dan kepada-Nya lah harus kita kembalikan.
“Harus kita sadari semua itu hanyalah amanat Allah, karena itu kita dituntut untuk mengorbankan sebagian harta itu untuk ditasarufkan di jalan Allah bagi kepentingan ibadah sosial dan kemasyarakatan,” terangnya.
Baca sambungan di halaman 3: Bukti Kepedulian