Anak Medsos Rentan Agresif, Psikolog: Peran Keluarga Penting

Riza Wahyuni SPsi MSi Psikolog, pembicara pada Smart Parenting di TK Aisyiyah 36 PPI Gresik (Iffah Nehayati/PWMU.CO)

Anak Medsos Rentan Agresif, Psikolog: Peran Keluarga Penting; Liputan Anik Nur Asia Mas’ud, kontributor PWMU.CO Gresik.

PWMU.CO – Riza Wahyuni SPsi MSi Psikolog menjadi pembicara pada acara Smart Parenting “Tumbuh Kembang dan Kesiapan Belajar Anak” di Aula TK Aisyiyah 36 Perumahan Pongangan Indah (PPI) Gresik, Sabtu (2/7/2022). 

“Sebelum kita bicara anak, kita bicara diri kita dulu,” ucap Riza Wahyuni di awal acara. 

Dia lalu menanyakan harapan orangtua terhadap anak kepada 45 wali siswa baru yang hadir. “Ketika anak masih kecil, dalam gambaran kita, anakku itu harus sesuai dengan gambaran yang ada di dalam pikiranku, anaknya anteng duduk manis mendengarkan, pokoknya nggak boleh main HP, pokoknya anakku itu harus sehat, cerdas, punya akhlak yang bagus, bisa ngaji,” ujarnya.

Lalu, “Sekarang dalam sehari sudah berapa ayat kita mengaji,” lanjutnya. Jadi kita selalu punya gambaran tentang apa yang kita inginkan tentang anak. 

Ketika anak kita tidak seperti yang kita gambarkan, ‘Kok anak saya nggak bisa diem, lari sana lari sini, saya lama-lama capek., saya sudah kerja dari pagi sampai malam, di rumah anak nangis, rasanya kepala mau pecah! Ada yang begitu?’” tanya Bu Riza—panggilannya—dengan senyum.

Ia memaparkan, hari ini ada sekitar 70 persen anak usia remaja yang mengalami depresi, yang datang ke tempat praktiknya. Anak usia SD selama tahun 2021 yang mengalami gejala depresi ada 15 anak. Gejalanya, suka marah, emosi yang tidak terkontrol, mengalami kesulitan tidur, bermain gawai lebih dari 10 jam, menolak bersosialisasi, tidak mau makan, atau makan yang berlebihan. 

“Nah kalau kita lihat dalam hal ini, berarti ada apa dengan anak kita?” tannyanya. “Kenapa anak dinamikanya menjadi sedemikian rupa” 

“Kalau saya sih senang-senang saja. Bapak ibu datang ke saya konsultasi, bayar. Psikolog wayae payu iki. Karena pascapandemi banyak orang yang stres, nggak anaknya, nggakbapaknya, nggak ibunya,” ungkapnya. “Ini menjadi problem kita.”

Anak yang mengalami depresi dengan gejala-gejalanya, sebagian dari mereka karena kehilangan hubungan emosional antara orang tua dan anak. “Banyak di antara kita yang hanya siap jadi bapak dan ibu, jadi mama dan papa, tetapi banyak di antara kita yang tidak siap menjadi orangtua,” sindirnya.

“Bedanya menjadi orangtua atau menjadi bapak ibu, Kalau kita jadi mami papi, pokoknya saya melahirkan anak. Saya besarin. Saya kasih makan. Saya sekolahin. Saya penuhi pendidikannya. Saya kasih pendidikan yang terbaik. Pokoknya selesai beres,” ujarnya.

Tapi, ia melanjutkan, kalau jadi orangtua, segala risiko yang terjadi pada anak-anak kita, mau dia ramai, mau dia suka manggil-manggil kita, mau dia teriak-teriak, mau dia bagaimanapun, kita menerima keadaan itu. Dan kemudian kita berusaha memperbaiki situasinya.

Menurutnya, orangtua zaman sekarang banyak yang suka mengeluh. Ketika anaknya kritis, umek, suka tanya kemudian selalu protes. Itu bagi kita dianggap menyakitkan. 

Apalagi kalau dia bilang, “Bunda itu lho katanya nggak boleh main HP, tapi bunda kok main HP dari pagi sampai sore!”

”Ya kan bunda kerja, bunda bla …bla. Nah ini…,” ujar wanita kelahiran Rumbai, Kota Pekanbaru, itu, mengingatkan.

Sebenarnya, kata dia, yang mengajari anak membantah itu kita sendiri. Yang ngajarin anak kita tidak respek itu kita sendiri. Ketika mereka tidak nyaman dengan kita, maka anak akan mencari figur yang membuat dirinya merasa nyaman. “Bagaimana figur yang mereka cari? Mereka mendapatkan figur itu justru di media sosial,” jelas Praktisi Psikologi Klinis-Forensik LPP Geofira ini.

Bu Riza menegaskan, “Jangan salah bapak ibu, sekarang lagi berkembang di mana anak-anak kita sudah terpapar dengan namanya pornografi yang dilakukan oleh orang-orang di media sosial.” 

Baca sambungan di halaman 2: Anak Jangan Punya Akun Sendiri

Riza Wahyuni SPsi MSi Psikolog saat berinteraksi dengan salah satu pesrta Smart Parenting di TK Aisyiyah 36 PPI Gresik (Anik Nur Asia Masud/PWMU.CO)

Anak Jangan Punya Akun Sendiri

Lantas ia bertanya kepada orangtua siswa yang hadir, “Bapak ibu anaknya punya HP? Akunnya pake akun siapa? Ada yang memakai akun anak?” tanyanya.

Ia menyuruh untuk hati-hati, karena sekarang hackers sudah melakukan banyak hal untuk menghancurkan anak-anak kita. “Kebetulan saya di bidang kriminal, sangat tahu sekali bagaimana kejahatan itu justru yang dicari korbannya anak-anak usianya yang masih sangat kecil,” jelasnya.

Karena anak-anak kita ini begitu terpapar satu kali, maka berikutnya dia menjadi nyaman dengan dunianya. “Apalagi kalau ayah ibunya bekerja, kemudian dia merasa tidak mendapatkan perhatian dari keluarga, dia mendapatkan perhatian dari itu, dan dia menikmati. “Kami istilahkan dengan child grooming,” ujarnya.

Ia memaparkan bagaimana kejahatan melalui internetdan dipakai untuk menyerang anak. Tahun 2007 ada sekitar 125 ribu pelaku kejahatan. Ketika kita online, pada saat itu yang menjadi korban anak-anak yang usianya remaja. 

“Berarti kalau 2007 segitu, sekarang ada berapa juta yang mengelilingi anak kita? Kurang lebih 3-4 juta pelaku kejahatan,” papar Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Jawa Timur ini.

“Tolong akun media anak memakai nama kita dan saya tidak berharap, anak-anak kita yang usianya masih dini ini untuk dikenalkan dengan kenikmatannya bermedia sosial,” tegasnya.

Wanita yang tinggal di Menganti Gresik ini melanjutkan pertanyaannya. “Ibu kalau sudah main medos, lihat TikTok satu jam tangannya gimana?” 

“Gemetar,” jawab salah satu dari mereka. 

Kalau 10 jam menggunakan gadget, sambungnya, maka kemungkinan untuk serangan stroke-nya lebih cepat. Kalau dulu stroke menyerang usia 60 tahun ke atas, sekarang 30 tahun ke atas. “Maka kembali lagi, peran keluarga menjadi sangat penting di dalam tumbuh kembang anak kita,” ucapnya.

Ia pun memberi tantangan, “Ketika hari libur, data internet kita matikan saat kita bersama anak, siap apa tidak?” tantangnya kepada peserta yang menjawab dengan tertawa kecil.

Bu Riza menyarankan biarlah anak dengan dunianya yakni dunia bermain daripada bermain gadget. “Biarinsak puas-puasnya dia bermain, daripada nanti di usia sekolah lebih banyak mainnya, orangtua harus siap diganggu,” ujarnya. 

Waktu hujan, lanjutnya, biarlah anak bermain hujan. Jangan takut flu. Air hujan itu menyehatkan, PH-nya paling bagus. Yang membuat anak flu itu sugesti yang kita berikan kepada anak kita.

Kemudian, ketika anak kita masuk usia sekolah, harapan kita anak harus smart, cerdas, mandiri, dan relijius. “Pertanyaan saya, ayah berapa kali dalam sehari jadi imam? Ibu bagaimana hubungannya dengan tetangga?” tanya Bu Riza.

Menurut dosen Universitas Ciputra Surabaya ini, anak akan melihat sosok kita. Relijius bukan hanya shalat lima waktu dan mengaji, tetapi termasuk adab tata krama.

Baca sambungan di halaman 3: Faktor Anak Agresif

Riza Wahyuni SPsi MSi Psikolog saat menjadi pembicara pada Smart Parenting di TK Aisyiyah 36 PPI Gresik (Anik Nur Asia Masud/PWMU.CO)

Faktor Anak Agresif

Bu Riza lalu menjelaskan faktor-faktor yag membuat anak agresif. Pertama kondisi internal seperti gen, hormon, kimia darah, instink, stres, emosi, frustasi, dan konsep diri. “Anak kita yang mengalami frustasi, anak kita yang memiliki konsep diri yang negatif, maka mereka akan cenderung berprilaku agresif,” terangnya.

Media sosial (medsos) bisa memengaruhi agresivitas anak karena memiliki efek pengaruh radiasi terhadap otak. “Makanya bapak ibu tolong kalau tidur HP-nya dijauhkan 10 meter. Kita banyak yang tidur pakai HP. Apalagi bapak kondisi lelah, mudah kena serangan stroke,” ujarnya. 

Maka, anak kita yang terbiasa dengan medsos sangat rentan untuk berprilaku agresif. 

Kedua, faktor lingkungan sekitar, seperti kemacetan, kebisingan, temperatur udara, kualitas udara yang buruk, dan kualitas lingkungan yang buruk. “Kualitas udara juga mempengaruhi, polusi udara di sekitar itu mempengaruhi anak-anak kita,” jelasnya. 

Ketiga, faktor keluarga, lingkungan sekitar, dan sekolah. Maka kalau kita memasukkan ke sekolah yang tepat maka anak akan tumbuh dan berkembang dengan sehat. 

“Makanya selalu saya katakan kepada orangtua, jangan mencari sekolah hanya untuk prestise. Banyak ‘kan yang begitu. Masukin di sekolah X, duh anak saya masuk di sekolah ini mahal,” ucapnya.

Jadi, sarannya, cari sekolah yang aman, prespektif perlindungannya ada apa tidak, dan mendukung tumbuh kembang anak. Sekolah yang baik yang diutamakan pendidikannya adalah karakter.

Dia menceritakan, temannya yang di Firlandia dan Jepang binggung saat kembali ke Indonesia dan ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah dasar (SD). Karena persyaratannya masuknya harus bisa baca tulis. 

Di sana anak hanya belajar bermain, ketika masuk ke sekolah dasar yang dilihat life skillnya, bukan baca tulisnya. “Kelas satu dan dua mulai diajari baca tulis. Tetapi hanya 20 persen, 80 persennya life skill, bersiin closet kamar mandi, masak bareng, belajar ke pasar, melipat baju. Kelas tiga sampai seterusnya baru full pelajaran,” ceritanya. 

Kenapa dilakukan demikian karena untuk anak-anak ini puas dengan dunianya dan kemudian secara psikologi mereka sudah siap untuk belajar. “Makanya saya bilang ke teman saya, masukin sekolah SD yang biasa ae, dimasukin SD di kampung, padahal anaknya diplomat,” ujarnya.

Faktor keempat yang mempengeruhi prilaku agresif adalah stimulus situasional. Seperti efek senjata, alkohol, media, provokasi atau konflik antarkelompok.

Fakta yang terjadi, sambungnya, keluarga yang membentuk masalah secara tidak sengaja. Masalah tersebut sudah terbentuk di bawah usia 7 tahun. 

Pada 7 tahun pertama kehidupan manusia ada kebutuhan dasar emosi yang harus terpenuhi. Jika gagal maka yang terjadi adalah mental block. Kebutuhan dasar psikologi tersebut adalah kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk mengontrol diri, dan kebutuhan untuk diterima. “Keluarga adalah tempat segalanya untuk apa yang terjadi pada anak-anak kita. Kembali lagi introspeksinya,” ingatnya.

Di bagian lain Bu Reza menyampaikan tahapan tumbuh kembang anak yang harus dipahami oleh kedua orangtua. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version