Menyamakan Persepsi antara Suami Istri, merupakan bagian ketujuh dari buku Spiritualitas Pernikahan Meraih Kebahagiaan dengan Rahmat Ilahi karya Moh. Sulthon Amien. Seri keenam sebelumnya Mengenal Lebih Dekat Pasangan, menjadi viral.
Penulis adalah Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, Ketua BadanPembina Harian (BPH) Universitas Muhammadiyah Surabaya, Ketua Dewan PembinaYayasan Insan Mulia Surabaya, dan Direktur Utama Laboratorium Klinik Parahita Surabaya.
PWMU.CO – Ary Ginanjar Agustian dalam pelatihan ESQ (Emotional Spirial Quotien) tingkat intermediate memperkenalkan pelatihan lanjutan yang disebut Mission Statement. Yang menarik pada pelatihan lanjutan ini adalah penyadaran bahwa betapa banyak pasangan telah bertahun-tahun menikah belum pernah menyatukan visi, misi, dan nilaiyang diemban dalam kehidupan.
Apa sebenarnya yang menjadi tujuan suami istri bergandengan tangan dalam hidup?Bagaimana mungkin pasangan dapat berjalan seia-sekata manakala satu ke kanan danyang lain sebaliknya? Keduanya tak bisa bertemu dalam satu titik tujuan bersama. Rumah tangga model apa yang sedang dibangun? Buahnya tentu tidak bisa ditebak bakal berwarna apa kalau sejak awal visinya tidak ditetapkan berbarengan.
Visi seorang muslim tentunya jelas dan transparan. Karena setiap pribadi muslim diwajibkan mampu membuat sebuah rumusan akan dirinya, melakukan perhitunganuntuk memastikan apakah dirinya selalu berada on the track sebagai rahmatan lil ‘alamin(Agustian, 2005).
Allah SWT telah menggariskan dalam sebuah firman-Nya, “Tidaklah Aku telah ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku” (adz-Dzariyat: 56).
Maka tak lain hidup ini hanya dalam rangka beribadah kepada llahi. Seperti pernyataan yang kita ikrarkan dalam doa iftitah pada waktu salat, “Inna shalati wa nusuki wa mahyáya wa màmati li-llahi rabbil alamin”, artinya Sesungguhmya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Sang Pengelola jagat seisinya (al-Anam: 162).”
Pentingnya Misi Hidup
Dalam mengarungi kehidupan, sudah barang tentu ada misi yang dipikul. Sebagai makhluk Tuhan, misi kita adalah menebarkan kemaslahatan di persada. Dengan demikian alam semesta menjadi berkah dengan keberadaan kita.
Khalifah fi al-ardhi artinya “pemimpin di bumi” yang membawa pesan kebajikan di tempatberpijak. Banyak hal dapat dilakukan seseorang di rentang hidup ini karena pada hakikatnya Tuhan telah memberi bekal potensi yang luar biasa pada diri manusia. Tinggal pribadi masing- masing mampu atau tidak mengasah dan memberdayakan kelebihan yang dianugerahkan Ilahi tersebut.
Sudah menjadi kodrat bahwa manusia memiliki kecenderungan berbuat baik, buruk dan statis, tak melakukan sesuatu. Semua itu bergantung pada semangatnya. Apakah semenjak kecil telah diasah atau dibiasakan melakukan yang terpuji atau tidak. Sesuatu yang bermanfaat jika tidak terbiasa dilakukan akan terasa sulit dan berat.
Sebaliknya, jika sudah menjadi kebiasaan, mempraktikannya menjadi ringan karena menjadi kebutuhan, apalagi kalau lingkungan sekitar mendukung. Karena itu, sesuatu kebaikan dan kebermanfaatan itu tak sulit asal ada kemauan. Ibarat kita meniti anak tangga, butuh niat yang bulat ditambah semangat yang menjadi motivatornya.
Terkadang, meskipun sudah jelas dalam persepsi kita bahwa sebuah perilaku terpuji itumerupakan perbuatan mulia, tidak serta-merta mudah mengaplikasikannya. Butuh perjuangan panjang yang tak henti-henti. Membuka diri akan wawasan baru menjadi penting karena akan menjadikan seseorang mencapai kesempurnaan dirinya.
Pertama kali saya mulai menjajaki visi calon istri tahun 1984, saya kemukakan, dalamhidup ini ada sesuatu yang harus dituju. Menjadi cita-cita besar yang diamanatkan Ilahi dipundak kita masing-masing. Visi kita harus sama, minimal beriringan, dalam melihat ke depan.
Ada jawaban yang mengugah diri saya. Katanya, “Mas, aku masih belum bisa berbuat baik.”
Respon saya sederhana dengan balik bertanya, “Tapi, ingin berbuat baik, kan?”
Sambil berkata seperti itu, saya juga bertanya pada diri ini, “Saya harus menjadi lebih saleh terlebih dahulu sebelum mengajak anggota keluarga melakukan hal yang sama.”
Baca sambungan di halaman 2: Di Tengah Kepungan Materialisme