Di Tengah Kepungan Materialisme
Pada saat kehidupan materialisme dan hedonisme melanda masyarakat, setidaknya kita yang telah mempunyai fondasi kehidupan menyadari sejak awal betapa berat mengarungikehidupan di iklim seperti ini. Hidup dalam nilai-nilai yang keberhasilannya hanya diukur dari banyak tidaknya harta yang dapat dikumpulkan, cenderung mendorong orang memilih jalanpintas.
Bermunculan masyarakat kaya baru yang harta bendanya diperoleh dengan segala macamcara. Tidak peduli soal halal dan haram.
Fenomena budaya korup yang sejak lama mendera negeri ini sungguh sangat memprihatinkan kita bersama. Buah busuknya harus dinikmati oleh seluruh bangsa. Kita harus bisa menjaga diri cdan keluarga kita. Jangan sampai menjadi bagian yang turut andil dalam keterpurukan ibu pertiwi. Jangan sampai ikut meraup rezeki yang tidak halal untuk dimakan anggota keluarga.
Kita hendaknya membuat komitmen bersama antara suami istri bahwa harta yang kita kumpulkan harus halalan thayyiban, artinya “halal dan menyehatkan”.
Cita-cita bersama yang harus dibangun adalah menjadikan keluarga yang bahagia di duniadan akhirat di bawah naungan ridha Ilahi. Menjadikan keluarga kita suri teladan adalah amalan yang adi luhung di sisi Ilahi. Apalagi pada saat lingkungan masyarakat sudah tidak peduli terhadap amar bil makruf wa nahi ‘anil munkar.
Bagaimana mungkin negeri yang elok dengan potensi sumber daya alamnya yang berlimpah, sekarang menjadi negeri yang carut-marut di segala bidang dengan berbagai julukan kejelekan yang mengerikan?
Peringatan Allah, “Jagalah dirimu dan keluargamu dari sengatan api neraka” (at-Tahrim: 6). Sebagai pemeluk agama terbesar di Indonesia, kita seharusnya berpikir reflektif. Sampai sat ini kita belum mampu mewarnai perilaku bangsa yang ini.
Jika kita mampu membangun keluarga yang selalu mengedepankan nilai-nilai dan ikut berkontribusi untuk kemakmuran negeri, keluarga kita akan menjadi bagian dari sebuah perkampungan yang maslahat. Pada tahapan berikutnya, akan menjadi komunitas muslim yang kondusif untuk membangun sebuah negeri yang elok.
Masyarakat Madani
Istilah populer untuk menjelaskan kondisi di atas adalah terbentuknya masyarakat madani, yakni masyarakat yang dibangun oleh Nabi. Robert N. Bellah, seorang ahli sosiologi agama terkemuka, menyebutnya sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern. Sehingga setelah Nabi wafat, kondisi tersebut tidak bertahan lama. Timur Tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial modern seperti yang dirintis oleh Sang panutan.
Masyarakat madani warisan Rasul bercirikan egalitarianisme, penghargaan kepada orangberdasarkan prestasi bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lainnya.Keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat dan penentuan kepemimpinan melaluipemilihan, bukan berdasarkan keturunan.
Namun, setelah utusan Tuhan itu berpulang ke rahmatullah, hanya berlangsung selama tiga puluh tahun masa khalifah al-rasyidah (Rachman, 2007). Kondisi tersebutdigambarkan dalam firman-Nya sebagai baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur (negeri yang adil dan makmur di bawah ampunan llahi (as-Saba: 15).
Jika kita ingin menghendaki hadirnya kembali kekuatan dan kemuliaan bagi generasi yang akan datang, kita harus kembali pada pondasi yang kokoh dengan mengoreksi diri serta membina keluarga berdasarkan Kitabullah dan As Sunnah.
Kita hendaknya meyakini bahwa pernikahan yang dilandasi dengan nilai-nilai Islami sajalah yang mampu melahirkan generasi berkualitas.
Pernikahan merupakan satu-satunya sarana untuk menciptakan keluarga dan keturunan yang diridai Allah. Pernikahan merupakan bagian dari rahmat Allah agar manusia menjalani hidup sesuai fitrahnya dan agar kehidupan mereka terus berkesinambungan.
Dalam diri setiap orang pasti ada dorongan untuk mencari pasangan hidup berlainan jenis, sekufu, berkolaborasi mendesain masa ke depan, kemudian menikah dan melahirkan generasi baru yang meneruskan perjuangannya, sebagai kepanjangan tanganTuhan di bumi tercinta ini (Mahalli, 2006).
Meski rambut sama hitam, isi kepala bisa berlainan. Hanya mereka yang memiliki hati bersih (bi qalbin salim, asy-Syura 89), mampu menselaraskan sepasang anak Adam dan Hawa meraih hakikat hidup sebenarnya. Insyaallah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni