Setiap kita adalah Ibrahim dengan kesenangan Ismail masing-masing. Liputan Suparlan Dahlansae, kontributor PWMU.CO dari Pare, Kediri.
PWMU. CO – Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Dusun Tawang, Desa Sumberbendo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, menyelenggarakan Shalat Idul Adha 1443H/2022 M di lapangan desa setempat, Sabtu (9/7/22 ).
Bertindak sebagai imam Ustadz Khoirul Anam dan Khatib dr Muhammad Annas SpB. Dalam khutbahnya, suami dr Fitri ini mengatakan, ibadah haji, shaum Arafah, shalat Idul Adha, dan menyembelih hewan ternak tertentu, bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. “Pelaksanaannya pada tanggal 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, tanggal tersebut kembali menyapa kaum muslimin pada tahun ini,” ujarnya.
Setiap tahun, lanjut dia, keempat ibadah istimewa ini hadir di hadapan kaum muslimin, berulang-ulang kedatangannya. Pengulangan demi pengulangan tersebut, menurut dia, seharusnya meninggalkan bekas yang mendalam pada keimanan dan ketakwaan kita.
“Bukan sebaliknya, kehadiran demi kehadirannya menjadikannya peristiwa yang kita anggap biasa saja. Akibatnya, datang dan pergi begitu saja tanpa ada manfaat bagi dunia dan akhirat kita, tanpa ada maslahat bagi individu kita dan umat,” paparnya.
Ibadah-ibadah istimewa di bulan Dzulhijjah ini, tidak bisa dipisahkan dengan sejarah kehidupan Nabi Ibrahim AS, Nabi Ismail AS serta ibunda Siti Hajar. “Jika kita pelajari dengan seksama niscaya kita bisa memetik banyak pelajaran berharga, untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan kita,” tuturnya.
Kisah Keikhlasan Keluarga Ibrahim
Dia lalu menjelaskan, salah satu pelajaran terpenting yang bisa dipetik dari sejarah kehidupan mereka, salah satunya memahami hakikat ajaran agama islam adalah berserah diri sepenuhnya kepada perintah dan larangan Allah azza wa jalla, berserah diri sepenuhnya kepada agama Allah dan syariatnya, menerima sepenuh jiwa pedoman hidup yang dituntunkan-Nya kepada Nabi dan Rasul-Nya Muhammad SAW, sang penutup seluruh Nabi dan Rasul.
“Nabi Ibrahim dan Ismail alaihissalam, telah memberikan contoh keteladanan dalam berserah diri kepada Allah, saat mendapat perintah menyembelih sang anak Ismail, Ibrahim melaksanakan dengan penuh keikhlasan,” kata dia.
Demikian pula Ismail menerima dengan kelapangan hati dan kepasrahan jiwa hanya taat kepada Allah semata. Allah mengabadikan rahasia keduanya dalam firman-Nya Surat as-Shaffat ayat 103, “Maka ketika keduanya telah menyerahkan diri kepada Allah, dan Ibrahim membaringkan anaknya pada dahinya,” nukil dr Muhammad Annas.
Maknanya adalah keduanya menyerahkan urusannya kepada Allah semata, keduanya berserah diri kepada-Nya, mereka bersepakat untuk menerima perintah Allah dan ridha dengan takdirnya.
Kepasrahan ketundukan dan penerimaan kepada perintah dan larangan Allah tidak hanya ditampilkan oleh sang bapak dan sang anak, sang bunda Hajar pun memberikan keteladanan yang tak kalah hebatnya.
“Seorang diri Hajar dengan penuh keikhlasan kesabaran dan ketabahan mengasuh bayinya Ismail di tengah padang pasir yang tandus dan panas, tiada sumber air tiada sumber makanan tiada pepohonan tempat bernaung dan tiada manusia lainnya,” kisahnya.
Ibrahim menempatkan mereka di lembah Bakkah yang tandus, panas dan sepi dengan hanya berbekal sekandung kurma dan sekantong air minum, lalu Ibrahim beranjak pergi untuk berdakwah ke negeri Palestina.
“Maka Hajar pun mengikuti di belakangnya sembari bertanya, ‘wahai Ibrahim, engkau hendak pergi ke mana? Apakah engkau akan meninggalkan kami di lembah ini? Padahal di sini tiada seorang manusia pun dan dia ada satu apapun jua’,” tanya Hajar.
Keteguhan karena-Nya
Berulang kali pertanyaan itu diajukan oleh Hajar, namun Ibrahim menegarkan hatinya, ia sama sekali tidak mau menoleh kepada Lembah Bakkah. “Akhirnya Hajar meminta satu ketegasan dari suaminya, ‘Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk melakukan hal ini?’ Maka Ibrahim menjawab, ‘Iya’,” kisahnya.
Mendengar jawaban itu, Hajar tidak berkeluh kesah sedikitpun, Jika Allah telah memerintahkan hal itu maka nasib setelahnya harus diserahkan kepada Allah semata pula. Maka Hajar memberikan pertanyaan yang menenteramkan hati suaminya, jika demikian Allah pasti tidak akan menelantarkan kami, (hadits Riwayat Bukhari).
Dialog tersebut tampaknya, Siti Hajar protes mengapa suaminya meninggalkan dia dan Ismail anaknya yang masih kecil di padang pasir yang tak bertuan? Seperti jamaknya, dia hanya bisa menduga bahwa ini akibat kecemburuan Sarah, istri pertama suaminya yang belum juga bisa memberinya keturunan.
Hajar mengejar Ibrahim suaminya dan berteriak, mengapa engkau tega meninggalkan kami di sini? Bagaimana kami bisa bertahan hidup?
Ibrahim terus melangkah meninggalkan keduanya tanpa menoleh, tanpa memperlihatkan air mata yang meleleh, remuk redam perasaan terjepit antara pengabdian dan pembiaran. “Hajar masih terus mengejar sambil menggendong Ismail, kali ini dia setengah menjerit dan ceritanya menembus langit. ‘Wahai suamiku ayahanda Ismail, apakah ini perintah Tuhanmu?’,” tanya Hajar.
Kali ini Ibrahim sang khalilullah berhenti melangkah, dunia seolah berhenti berputar, malaikat yang menyaksikan peristiwa itu pun turut terdiam, menanti jawaban Ibrahim, butir pasir seolah terpaku kaku, angin seolah berhenti mendesah.
Filosofi Ikhlas
Pertanyaan atau lebih tepatnya gugatan dan protes Hajar membuat suaminya terkesiap. “Ibrahim membalikkan badannya dan tegas berkata, ‘Iya, ini perintah Tuhanku’,” kata Ibrahim.
Hajar berhenti mengejar dan dia terdiam lantas meluncurkan kata-kata yang mengagetkan, semua malaikat serta menggusarkan butir pasir dan angin. “Jikalau ini perintah Tuhanmu pergilah wahai suamiku, tinggalkan kami di sini, jangan khawatir Allah akan menjaga kami,” kata Hajar seperti ditirukan dr M Annas.
Ibrahim pun beranjak pergi. Dilema itu punah sudah, ini sebuah pengabdian atas nama perintah Allah bukan pembiaran itulah ikhlas. “Ikhlas adalah wujud sebuah keyakinan mutlak pada sang Mahamutlak. Ikhlas adalah kepasrahan bukan mengalah apalagi menyerah kalah,” ungkapnya.
Dia mengatakan, ikhlas itu adalah ketika engkau sanggup untuk berlari, mampu untuk melawan dan kuat untuk mengejar, namun engkau memilih untuk patuh dan tunduk.
“Ikhlas adalah sebuah kekuatan untuk menundukkan diri sendiri dan semua yang engkau cintai. Memilih Jalannya bukan karena engkau terpojok tak punya jalan lain, juga bukan lari dari kenyataan atau karena terpaksa, serta bukan merasionalisasi tindakan atau mengalkulasi hasil akhir,” jelasnya.
Ikhlas itu tak pernah terhitung, tak pernah pula menepuk dada. Keikhlasan itu tangga menuju-Nya, mendengar perintah-Nya, menaati-Nya. “Ikhlas adalah Ikhlas itu sendiri, murni tanpa embel-embel kepamrihan apapun, suci bersih 100 persen hanya karena-Nya dan mengikuti kehendak-Nya, tidak yang lain,” paparnya.
Setiap Kita adalah Ibrahim
Hajar kemudian menggendong putranya Ismail sambil lapar dan haus. Hajar terduduk, kaki Ismail mengepak-ngepak ke pasir dan keluarlah air dan berkata, ‘zam-zam zam-zam’. Di situlah Siti Hajar dan Ismail hidup selama beberapa tahun.
“Setelah Ismail remaja, datanglah Ibrahim dengan perintah Allah untuk menyembelih Ismail. Keduanya ikhlas dan patuh kepada Allah SWT, maka ketika sudah dibaringkan ternyata Allah mengganti Ismail dengan domba,” terang dia.
Khatib dr Muhammad Annas menutup khutbahnya dengan kalimat, bahwa setiap kita adalah Ibrahim, dan setiap Ibrahim punya Ismail.
“Ismailmu mungkin hartamu, jabatanmu, gelarmu, egomu, atau sesuatu yang kau sayangi dan kau pertahankan di dunia ini. Ibrahim tidak diperintah Allah untuk membunuh Ismail, Ibrahim hanya diminta Allah untuk membunuh rasa kepemilikan terhadap Ismail, karena hakikatnya semua adalah milik Allah,” pungkasnya. (*)
Setiap Kita adalah Ibrahim dengan Kesenangan Ismail Masing-Masing, Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.