Tulisan Mahbub Djunaidi
Sekarang, siapa Mahbub Djunaidi? Lelaki ini lahir pada 1933 dan meninggal pada 1995. Dia punya banyak predikat: Aktivis, politisi, wartawan, sastrawan, dan kolumnis.
Oleh sebagian kalangan, Mahbub Djunaidi disebut sebagai Sang Pendekar Pena. Sama seperti Ayip Bakar, dia aktif mengritisi situasi lewat tulisan.
Saya suka tulisan-tulisan Mahbub Djunaidi. Belakangan, saya koleksi dua buku dia. Pertama, berjudul “Kolom demi Kolom”, kumpulan tulisan Mahbub Djunaidi di majalah TEMPO. Kedua, berjudul “Asal Usul”, kumpulan karangan Mahbub Djunaidi di KOMPAS.
Pada tulisan-tulisan Mahbub Djunaidi, pilihan kata-katanya mempesona. Kecuali itu, meski masalah yang dibahas serius tapi berkat kecakapannya dalam memainkan kata-kata, tulisan dia bisa membuat pembaca senyum-senyum bahkan tertawa.
Kita coba nikmati salah satu tulisannya, “Pahlawan dari Salemba”. Tulisan itu dimuat Tempo 16 Februari 1982. Untuk kita ketahui, di tahun 1982, Universitas Indonesia (UI) belum punya kampus di Depok. Di tahun itu, Salemba (nyaris) identik dengan UI yang beralamat di sana. Artinya, judul itu cukup komunikatif di kala itu.
Kolom tersebut ditulis Mahbub untuk menyambut rektor baru UI di ketika itu yaitu Prof Dr Nugroho Notosusanto. Bahwa, secara umum, Mahbub Djunaidi menaruh hormat kepada warga kampus yang sering disebut sebagai (kaum) intelektual. Hal itu, karena mereka punya martabat laksana pahlawan.
Hanya saja, ada pesan Mahbub Djunaidi yang meskipun disampaikan puluhan tahun lalu tapi tetap penting dan relevan kapanpun. Pesan itu ada di paragraf berikut ini.
Bahwa, “Ada satu sebutan yang dijauhi rektor seperti penduduk kampung menjauhi muntaber: politikus. Tak ada itu politik-politikan karena yang tersedia cuma ilmiah-ilmiahan. Jika politik itu jalan besar, universitas akan bikin jembatan penyeberangan melintasi kepalanya. Kaum kampus berpikir ilmiah, kaum politik berpikir entah cara apa, itu pun kalau boleh disebut berpikir. Pencemaran harus dicegah mulai dini, karena itu sebaiknya kampus hanya diberi air susu ibu” (Mahbub Djunaidi, Kolom demi Kolom, 2018: 273-274).
Hemat saya, tulisan-tulisan Mahbub Djunaidi masuk kriteria baik menurut A. Hassan. Tulisan-tulisan dia isinya berguna, enak dibaca, dan mudah dipahami.
Spirit Penulis Favorit
Di atas, saya beri gambaran sekilas dua penulis yang berhasil. Cara mereka menulis bisa menginspirasi. Kita bisa belajar bagaimana cara menemukan tema aktual, membuat judul yang menarik, menguraikan masalah dengan jernih dan mengalir, serta menutup tulisan dengan mengesankan.
Selain kedua nama di atas, masing-masing dari kita tentu saja bisa membuat daftar sendiri terkait penulis favorit. Syaratnya, karya dari penulis kesayangan kita itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai tulisan yang baik.
Jika Ayip Bakar dan Mahbub Djunaidi jago menulis kolom, kita bisa memilih jago di jenis tulisan yang lain. Sekadar contoh, untuk jenis fiksi bisa saja ada yang menyodorkan nama seperti Andrea Hirata, Habiburrahman El Shirazy, Helvy Tiana Rosa, dan Asma Nadia. Lalu, untuk buku-buku agama, dapat juga disebut antara lain Mohammad Fauzil Adhim dan Salim A. Fillah.
Bacalah karya-karya mereka yang memang telah teruji di masyarakat. Di antara ukuran teruji, buku-buku mereka rata-rata laris di pasaran. Laris, bisa menjadi penanda bahwa tulisan mereka berguna, enak dibaca dan mudah dipahami.
Bacalah karya-karya mereka. Ikuti semangatnya. Jika perlu, di tahap-tahap awal, tak apa-apa merasa dipengaruhi mereka dalam hal selera dan gaya menulis. Nanti, seiring perjalanan waktu, masing-masing dari kita akan menemukan model kepenulisan sendiri yang khas.
Baca sambungan di halaman 4: Guru dan Murid