In Memoriam Dwi Deritaning Tyas, Pimpin Nasyiah dan Aisyiyah Banyuwangi Dua Periode, liputan kontributor PWMU.CO Banyuwangi Yulia Febrianti.
PWMU.CO – Ketua Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Banyuwangi Dwi Deritaning Tyas telah meninggal dunia pada Ahad (17/7/2022) pukul 14.20 wib di RSI Fatimah Banyuwangi setelah sempat dirawat selama dua hari.
Perempuan energik yang penuh dengan ide-ide tersebut telah dipanggil oleh Allah SWT. Sebelumnya sering keluar masuk rumah sakit baik di Banyuwangi maupun di Jember.
Pemilik jargon Legan Golek Momongan itu meninggalkan sang suami, Imron Idris dan tiga orang anak yaitu Diah Febriana, Desi Mauliana dan Mohammad Septian serta 7 orang cucu. Almarhumah Dwi Deritaning Tyas tidak hanya terkenal sebagai pendidik, namun juga organisatoris dan motivator ulung.
Motivator Ipuk Jadi Bupati
Kepiawaian bunda Rita dalam memotivasi bahkan diakui oleh Bupati Banyuwangi Ipuk Festiandani Azwar Anas saat berkunjung untuk takziyah di rumah duka yang beralamat di Jl Kepodang No 54 Pakis Kalirejo Banyuwangi.
“Saya mengenal bunda Rita bukan sebentar. Sejak jaman bupati Banyuwangi masih di jabat pak Anas (Abdullah Azwar Anas – suami bu Ipuk), saya sudah cukup akrab dengan beliau dan Aisyiyahnya. Salah satu pendorong dan motivator saya untuk maju menjadi bupati, ya bu Rita ini,” ungkap Bupati Ipuk.
Ipuk hadir di rumah duka didampingi oleh Sekretaris PDA Banyuwangi Laily Dwi Damayanti yang juga Sekretaris PKK Kabupaten Banyuwangi, beserta Ketua MEK Anis Ilmiati dan Sekretaris PDM Banyuwangi Ainur Rofik ST MT.
Berorganisasi tanpa Menampakkan Sakitnya
Dihubungi PWMU.CO Senin (25/7/2022) Wakil Ketua PDA bidang MEK Anis Ilmiati SP menyampaikan bunda Rita terlahir sebagai putri ke-4 dari 6 bersaudara dari pasangan almarhum Sandiko dan almarhumah Muthi’ah. Lahir pada 2 Agustus 1962 mengenal Muhammadiyah dari sang suami yang juga gurunya di SPG Muhammadiyah Banyuwangi sejak tahun 1979. Beliau lulus dari SPG pada tahun 1982.
“Perkenalan hingga menumbuhkan cinta terhadap persyarikatan membawa perempuan humoris namun tegas ini menjadi pucuk pimpinan tidak hanya Nasyiatul Aisyiyah, tetapi juga Aisyiyah Banyuwangi yang masing-masing selama 2 periode,” ujarnya.
“Pada periode 2000-2010 menjabat sebagai Ketua Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah. Kemudian menjabat sebagai Ketua PDA pada 2010-2015 dan dilanjutkan pada 2016-2020 yang mendapat perpanjangan selama dua tahun hingga tahun 2022 karena pandemi Covid-19,” tambahnya.
Diagnosa dan vonis sakit kanker payudara, lanjutnya, yang disampaikan dokter pada April 2021 hanya dikabarkan pada keluarga dekat dan beberapa orang saja baik di persyarikatan maupun di AUM. Sehingga saat beliau ijin cuti untuk operasi pada Februari 2022 menjadi berita yang mengejutkan. Mengingat beberapa bulan sebelumnya beliau masih wara-wiri berkegiatan bukan hanya di AUM tapi juga di organisasi.
“Bahkan pada 29 Januari 2022 beliau masih menerima laporan pelaksanaan kegiatan Majelis Wakaf melaksanakan sosialisasi Simam di Rusunawa Universtas Muhammadiyah Malang (UMM). Demikian juga saat peletakan batu pertama Muhammadiyah Senior Care yang dibangun di area Panti Asuhan Budi Mulya, beliau masih sangat energik. Tak nampak raut lelah saat mendampingi Pak Saad Ibrahim dan istri yang menjadi tamu dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim kala itu,” paparnya.
Energik dan Cekatan
Menurutnya beliau energik, cekatan, tanggap dan selalu berkoordinasi dengan anggota untuk menyiapkan segala urusan. Bahkan beliau orang yang selalu menyiapkan konsep yang matang dalam suatu kegiatan. Sehingga kerja kita terarah.
“Dua periode kepengurusan di NA dan dua periode kepengurusan Aisyiyah banyak hal yang menjadi kenangan tak terlupakan. Bahkan masih tersimpan pesan melalui voice note terkait milad Aisyiyah ke-105 M yang diselenggarakan di Masjid KH Ahmad Dahlan kemarin,” urainya.
Kedekatan emosional antara bunda Rita dengan adik-adik yuniornya semasa masih aktif di NA maupun setelah beliau menjabat sebagai ketua PDA Banyuwangi dengan anak-anak ideologisnya yang aktif berkecimpung di ortom menjadi kisah inspirasi tersendiri.
“Sepuluh tahun bergaul akrab dengan beliau bukan hanya di ortom khusus saja, tapi juga di AUM. Saya sering di suruh berangkat berkegiatan di luar kota baik sendiri maupun mendampingi para wakil ketua membuat saya semakin mandiri dan paham apa yang harus segera saya lakukan. Semua administrasi beliau baik dibidang pendidikan maupun organisasi masih tersimpan rapi dalam file di laptop saya, sehingga saat beliau membutuhkan sesuatu pasti minta untuk dibuatkan dan dicetakkan,” paparnya.
Izin Suami
Dan sebelum berangkat berkegiatan, bunda Rita selalu berpesan untuk ijin kepada suami. Supaya berkah langkah dalam berjuang. Dan selalu di depan beliau saya menelpon suami untuk minta izin.
“Sudah diijini bun,” ujar saya.
“Yo wes, bar ngene sampean ndek dik Sri yo. Sak suwene sampean mlaku, dek Sri tak telpone,” kata beliau. Dik Sri yang dimaksud adalah bendahara PDA Banyuwangi yang juga istri dari Sekretaris PDM Banyuwangi Ainur Rofik ST MT.
Banyak pesan yang tak dapat dituliskan satu per satu dari almarhummah kepada kader-kader muda persyarikatan, salah satunya adalah kader perempuan yang berproses di HW suatu saat nanti sudah siap untuk menggantikan peran ibu-ibu Aisyiyah.
”Semoga adik-adik yang sudah terlatih menjadi kader militan di gerakan Kepanduan HW, mau mengikhlaskan dirinya bertransformasi masuk jajaran Aisyiyah,” ujarnya menirukan almarhumah.
Kenangan yang paling berkesan adalah saat mendampingi majelis Kader PDA Banyuwangi yang menggelar acara pelatihan Sistem Informasi Aisyiyah, Rien Kurni yang akrab dipanggil Mbak Krina, bukan hanya ketua Majelis Kader PDA Banyuwagi tapi juga bertugas sebagai sopir. Selama perjalanan baik saat berangkat maupun pulang dari lokasi kegiatan selalu ada diskusi dan evaluasi sehingga gerak langkah organisasi ke depannya semakin tertata dan rapi.
“Ada beberapa pekerjaan rumah yang beliau tinggalkan untuk direalisasikan oleh para penerusnya. Salah satunya adalah tentang pelatihan untuk guru Aisyiyah yang militan seperti yang sudah dilaksanakan oleh Majelis Dikdasmen PDM Banyuwangi yaitu AMM (S\Aparatur Militan Muhammadiyah),” tutupnya. In Memorian Dwi Deritaning Tyas. (*)
Co-Editor Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni