Islamophobia Era Soeharto
Era otoritarian Presiden Soeharto dan era populisme ala Jokowi mempunyai pola masing-masing dalam hubungannya terhadap Islam politik. Soeharto memanfaatkan kekuatan Islam untuk menghancurkan gerakan PKI (Partai Komunis Indonesia) setelah kudeta yang gagal pada 1965. Ketika itu Islam menjadi satu-satunya kekuatan yang bisa diandalkan untuk menghancurkan PKI.
Seperti kata Mao Zedong, ‘’Power grows out of the barrel of the gun’’. Kekuasaan lahir dari mesiu senapan. Soeharto membangun kekuatan politik dengan memakai mesiu senapan ABRI. Dengan kekuatan senjata Soeharto merebut kekuasaan dan mengonsolidasikannya.
“Para pembantu terdekat Soeharto menginisiasi gerakan intelijen untuk menghancurkan kekuatan Islam politik.”
Setelah berhasil menghancurkan PKI dan mengonsolidasikan kekuatan politik, Soeharto segera berpaling dari Islam dan menganggapnya sebagai ancaman serius bagi kekuasaannya. Upaya aktivis Islam untuk menghidupkan Partai Masyumi tidak diizinkan oleh Soeharto.
Para pembantu terdekat Soeharto menginisiasi gerakan intelijen untuk menghancurkan kekuatan Islam politik. Salah satu yang paling legendaris adalah perburuan terhadap anggota-anggota organisasi Komando Jihad, sebuah organisasi yang diduga diciptakan oleh intelijen untuk mendiskreditkan Islam politik.
Paro pertama kekuasaan Soeharto ditandai dengan kebijakan yang sangat represif terhadap Islam. Soeharto memanfaatkan ABRI sebagai tulang punggung kekuasaannya sekaligus sebagai kekuatan untuk meredam Islam politik. Soeharto ialah maestro dalam menjaga keseimbangan politik. Ia menjaga semua kekuatan-kekuatan politik supaya tetap berada pada kontrolnya.
Perubahan Arus
Situasi berubah pada 1990-an ketika ABRI mulai gerah terhadap kebijakan Soeharto, terutama setelah anak-anak Soeharto berbisnis dan mendapatkan banyak konsesi dan monopoli. Soeharto dengan cepat mengendus perubahan sikap ABRI itu. Maka Soeharto segera berpaling kepada Islam dan memainkan kartu lama untuk menjaga keseimbangan.
Di lingkungan ABRI pun terjadi faksionalisasi dengan munculnya ‘’ABRI Hijau’’ dan ‘’ABRI Merah Putih’’. Soeharto kemudian mengizinkan berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) di bawah kepemimpinan BJ Habibie. ICMI pun menguasai birokrasi sehingga disebut sebagai ‘’birokrasi ijo royo-royo’’.
Pepatah politik mengatakan, ‘You can do anything with bayonet except sit on it, kamu bisa melakukan apa saja dengan bayonet kecuali duduk di atasnya. Soeharto akhirnya tidak bisa mempertahankan kekuasaannya dengan ujung bayonet, dan akhirnya terguling oleh gerakan reformasi 1998.
Pada separo era pemerintahan Soeharto Islam dimarjinalisasi, dan pada separo masa kekuasaan berikutnya Soeharto memberi ruang gerak yang lebih luas kepada Islam. Soeharto menunjukkan ekspresi keislaman dengan berangkat haji dan menciptakan peraturan dan lembaga-lembaga keislaman seperti Bank Muamalat.
Pemerintah otoriter selalu menciptakan ‘’hantu’’ yang dijadikan sebagai musuh bersama, sekaligus menjadi justifikasi untuk melanggengkan kekuasaan. Soeharto memainkan hantu komunisme untuk mendapatkan legitimasi dari kalangan Islam. Setelah itu Soeharto ganti menjadikan Islam sebagai hantu dan memburunya untuk kepentingan konsolidasi kekuasaan.
Baca sambungan di halaman 3: Hantu Komunisme