Hantu Komunisme
Diktator Filipina Ferdinand Marcos juga memainkan isu hantu komunis untuk melanggengkan kekuasaannya. Pemberontakan perwira yang dianggap berafiliasi dengan komunis, seperti Kolonel Gringo Honasan, dijadikan dalih untuk menerapkan kondisi darurat. Marcos, sebagaimana Soeharto, akhirnya jatuh oleh people power Revolusi EDSA, 1986.
Di negara biang demokrasi seperti Amerika pun pernah muncul histeria nasional untuk membuat rakyat takut terhadap kekuatan tertentu. Bagi negara kapitalis liberal seperti Amerika isu komunisme menjadi dagangan yang sangat laris untuk dijual.
Muncullah Senator Joseph McCarthy pada 1950 yang mengatakan bahwa dia punya data mengenai 200 orang pegawai Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang tercatat sebagai anggota partai komunis.
McCarthy menyerukan perang melawan komunisme dan menimbulkan ketakutan nasional yang meluas. McCarthy mengatakan bahwa Departemen Luar Negeri sudah dibajak dan disusupi kekuatan komunis, karena itu kebijakannya harus diwaspadai. Sejak itu ketakutan terhadap komunisme menjadi histeria nasional, dan McCarthy menjadi salah satu politisi yang paling terkenal di seluruh negeri.
“Perburuan terhadap para tersangka teroris dan persekusi terhadap radikalisme dan intoleranisme menjadi hantu yang dihidupkan untuk menjustifikasi tindakan yang tidak demokratis.”
Data McCarthy tidak pernah dibuka ataupun diverifikasi. Data itu juga seringkali naik turun, kadang ia menyebut angka lebih rendah, kadang lebih tinggi. Tapi, gaya oratoris McCarthy yang meyakinkan membuat publik percaya. Ia melambai-lambaikan selembar kertas ketika berbicara, dan menyebut daftar itu ada di tangannya.
Data itu tidak pernah ada, tapi histeria sudah telanjur terjadi. Ketakutan terhadap hantu komunisme yang tidak berdasarkan data riil itu disebut sebagai McCarthy-isme, karena banyak ditiru oleh politisi lain tanpa verifikasi.
Konser Langit Jadi Hantu
Kasus ini mirip dengan yang terjadi di Indonesia, ketika sejumlah politisi menyebut adanya big data yang berisi daftar ratusan juta orang yang menghendaki Joko Widodo diperpanjang masa jabatannya. Data itu tidak pernah dibuka dan tidak pernah diverifikasi, tetapi wacana tiga periode terus menggelinding.
Jokowi ialah presiden populis yang mendapat dukungan dari banyak rakyat Indonesia. Populisme itu cenderung dipakai untuk melegitimasi tindakan yang tidak demokratis. Pengamat politik Australia, Marcus Mietzner bahkan menyamakan populisme Jokowi dengan populisme Donald Trump, Jair Bolsonaro, Victor Orban, Tayyep Erdogan.
Dalam panggung dramaturgi wajah depan Jokowi adalah seorang demokrat, tapi di panggung belakang terlihat wajah lain yang oleh John Kean disebut sebagai new despotism.
Pemerintahan Jokowi menjadikan Islam politik sebagai hantu yang diburu bersama-sama dan dijadikan sebagai histeria nasional. Dengan alasan hantu Islam itu Jokowi membubarkan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan FPI (Front Pembela Islam), tanpa melalui sidang pengadilan.
Perburuan terhadap para tersangka teroris dan persekusi terhadap radikalisme dan intoleranisme menjadi hantu yang dihidupkan untuk menjustifikasi tindakan yang tidak demokratis.
Pelarangan Konser Langit yang menghadirkan Ustadz Hanan Attaki di Jember, Situbondo, Sidoarjo, dan Gresik adalah insiden yang bisa memicu keresahan di kalangan umat.
Sebutlah itu islamophobia atau bukan, tetapi what is in the name? Apa arti sebuah nama, kalau dalam esensinya adalah menghantukan politik Islam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni