Asa Itu
Di Jakarta tahun 2022, Pameran Buku Islam ke-20 ini, mengambil tema “Literasi Islam Menumbuhkan Optimisme Bangsa”. Tema ini dipilih karena pemahaman literasi Islam yang mumpuni diyakini akan menjadi pondasi bagi lahirnya bangsa yang hebat. Sementara, bangsa yang hebat akan melahirkan peradaban yang kuat. Ujungnya, peradaban itu akan menjadi “rahmatan lil ‘alamin” bagi seluruh warga bangsa Indonesia.
Pameran Buku Islam kali ini diikuti sekitar 63 peserta dari dalam dan luar negeri dengan total pengambilan stan kepesertaan mencapai 138 stan. Ada 10.000 judul buku yang dipamerkan, dengan jumlah buku mencapai 1 juta eksemplar.
Jika melihat capaian penyelenggaraan IBF selama ini, terlihat acara ini mampu menarik minat pecinta buku untuk aktif menyimak perkembangan perbukuan. Juga, bisa membangkitkan optimisme pasar di kalangan penerbit buku-buku Islam. Capaian IBF yang lain, mampu memantik semangat para penulis buku-buku Islam untuk menghasilkan karya-karya terbaiknya.
Hasil akhir yang diharapkan dari IBF adalah bahwa buku dapat mencerdaskan dan memuliakan akhlak warga negeri ini. Bisakah?
“Di tengah ikhtiar bangsa Indonesia untuk bangkit dan pulih dari pandemi Covid-19, maka pameran buku Islam terbesar skala nasional diharapkan dapat meningkatkan budaya baca masyarakat,” kata Sekretaris Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama M. Fuad Nasar saat menyambut IBF 2022.
Lebih jauh, lihatlah, “Buya Hamka, tokoh ulama dan sastrawan Indonesia terkemuka pernah mengatakan, membaca buku-buku yang baik berarti telah memberi makanan ruhani yang baik,” ujar M. Fuad Nasar (baca https://www.republika.co.id).
Baca sambungan di halaman 3: Sejumput Usaha
Sejumput Usaha
IBF, atau yang semisal, terkait dengan usaha memperbanyak jumlah orang yang berilmu. Maka, hadirilah. Selalu berdekat-dekatlah dengan buku. Ilmu yang ada di dalam buku adalah gizi yang sangat baik, terutama bagi ruhani kita.
Meski secara khusus di setiap acara IBF selalu meriah, tapi secara umum kita prihatin. Hal ini karena kini buku tampak semakin ditinggalkan oleh banyak orang. Bukan tak mungkin, ini sebagai akibat negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bahwa, dalam perkembangannya, internet dengan berbagai kemudahan di dalamnya lebih menarik minat banyak kalangan terutama dari kelompok pelajar dan mahasiswa. Internet sangat menyedot perhatian mereka. Akibatnya, banyak yang hampir tak punya waktu untuk membaca buku. Buku tidak lagi menjadi “Sebaik-baik teman duduk”. Sungguh, memrihatinkan.
Untuk keluar dari situasi ini, baca dan amalkan al-‘Alaq 1-5. Lewat ayat-ayat itu Allah memerintahkan kita aktif membaca. Juga, menjadikan al-qalam (aktivitas membaca dan menulis) sebagai kegiatan utama.
Tradisi ilmu, yaitu suka membaca dan rajin menulis, seyogyanya berlandaskan kepada iman. Keduanya, iman dan ilmu, harus berjalan seiring dan seimbang.
Terutama di masa lalu, tradisi mencintai ilmu di kalangan umat Islam dikukuhkan dengan budaya mengikat ilmu. Mereka mengabadikan ilmu-ilmu itu lewat tulisan-tulisan yang dibukukan.
Jika kita buka sejarah, maka akan segera tampak bahwa kecemerlangan peradaban Islam di masa lalu mendapatkan kontribusi yang sangat besar dari para ulama. Kala itu, “Pewaris para Nabi” tersebut sangat mencintai ilmu, gigih mencari ilmu, dan rajin menyebarkan ilmu termasuk dengan cara banyak menulis buku.
Ilmu yang didapat dan disebarkan para ulama tersebut mampu menguatkan ketakwaan, baik bagi si penulis dan bagi segenap pembacanya. Memang, seharusnya ilmu yang ditulis di buku-buku itu mampu membuat kita (penulis dan pembacanya) makin menunduk di hadapan Allah.
Jadi, ilmu harus kita buru dengan antara lain mengakrabi buku. Misal, jika ada acara IBF atau yang tujuannya serupa dengan IBF, bergegaslah untuk menghadirinya. Mari, secara terus menerus kuatkan tradisi ilmu kita. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni