Pesantren Muhammadiyah Rasa Lain
Maskuri lantas bercerita ketika diadakan webinar berseri tentang pesantren Muhammadiyah yang salah satu nara sumbernya adalah Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah, KH Tafsir.
Menurut penuturan KH Tafsir di salah satu pesantren Muhammadiyah yang dikunjunginya terasa beda, karena yang terasa bukan kultur Muhammadiyah, tapi ada “rasa” yang lain.
Untuk itu, menurut Maskuri perlu berkolaborasi mencetak ustadz p[esantren Muhammadiyah dengan amal usaha Muhammadiyah.
“Kami sudah menyusun rencana pendidikan jangka panjang (RPJP) pendidikan dasar menengah yang mencakup sekolah, madrasah, dan pesantren,” ujarnya.
“Jadi untuk mengatasi kekurangan ustadz ini, kami mencanangkan ke depan, perlu ada lembaga yang memproduksi ustadz, seperti Kaderisasi majlis tarjih. Yaitu seperti pendidikan ulama tarjih Muhammadiyah yang diadakan oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan Universitas Ahmad Dahlan (UAD),” imbuhnya.
Lembaga tersebut menurut Maskuri bisa berbentuk Pendidikan Ustadz Pesantren Muhammadiyah (PUPM). Dan sampai saat ini lanjutnya, di antara hal yang sudah dilakukan adalah melakukan MoU dengan Majelis Pendidikan Tinggi dan Penelitian Pengembangan (Dikti Litbang) PPM, pada (22/7/22).
Salah satu poin MoU dengan Majelis Dikti Litbang, ungkap Maskuri, adalah: perlu menunjuk perguruan tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA) tertentu yang menjadi best practicePUPM.
“Kami merekomendasikan PTMA yang sudah bekerja sama dengan Asia Muslim Charity Foundation (AMCF). Karena basic dosennya sangat kuat dalam penguasaan bahasa Arab dan dirasah islamiyah,” lanjutnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni