PWMU.CO– Pluralitas menjadi tema ceramah Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir di acara tabligh akbar semarak muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah di Convention Hall Simpang Lima Gumul (SLG) Kediri, Ahad (14/8/2022).
Menjelaskan pluralitas, Haedar Nashir mengatakan, kita sebagai insan ciptaan Tuhan diciptakan beragam. Allah mendeklarasikan di dalam surat al-Hujarat ayat 13.
“Wahai manusia, sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku suku, agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti “
Dia menguraikan, Allah menciptakan kita manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan. Sering di ayat ini, laki laki dan perempuannya itu terlewatkan ketika membahas kebinekaan. Lompat pada syu’uubaw wa qobaaa- ila. Berbangsa-bangsa dan bersuku-suku.
Padahal di frasa pertama, kata Haedar Nashir, Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan. Bisa dirujuk dalam surat an-Nisa ayat 1. Diciptakannya laki-laki dan perempuan itu, min nafsiw-waahidah. Dari diri yang satu.
”Intinya bahwa memang laki-laki dan perempuan itu berbeda, dan karena berbeda maka dia, diciptakan untuk li ta’aarafuu, agar kamu saling mengenal,” katanya.
Satu konsekuensi dari li ta’aarafuu itu, berpasang-pasangan. Jadi hukum sunnatullah dan sesuai syariat Islam, kalau laki-laki menikah dengan perempuan itu memang sunatullah. Sebaliknya kalau laki-laki berhubungan dengan laki-laki, dan perempuan dengan perempuan, apalagi sampai menikah, dunia sudah jungkir balik namanya, melawan sunatullah,” tandas Haedar disambut tepuk tangan hadirin.
Menutup Wajah
”Untuk li ta’aarufu maka bisa melihat wajah. Ketika kita pakai masker, biarpun kenal kadang kita masih bertanya. Itu baru separo, lha kalau ditutup semuanya, maka tidak lagi menjadi a’raf, kita tidak mengenal satu sama lain,” katanya.
Menurut Haedar, dalam pandangan Muhammadiyah, wajah perempuan itu bukan aurat, sehingga perlu dibuka. ”Ya biarpun dibuka tidak boleh dipandang terus-terusan,” selorohnya.
Menutupi wajah perempuan menjadikan tidak saling mengenal termasuk untuk urusan-urusan publik. Jadi li ta’aarafu itu laki-laki dan perempuan harus saling memuliakan. Tidak ada yang lebih mulia, lebih utama dibanding yang lainnya, semuanya sama dalam kemuliaan yang dimuliakan Tuhan.
Berbangsa
Yang kedua kita diciptakan dalam bangsa-bangsa, bergolong-golongan, bersuku-suku, ada berbagai ras, juga untuk saling mengenal. Islam itu luar biasa, agama yang bisa menjelaskan fenomena kehidupan baik manusia dengan segala kaitannya dalam kehidupan ini.
Begitu banyak ayat maupun hadis Nabi yang menjelaskan kehidupan. Karena al-Quran memang diciptakan oleh Allah yang maha menciptakan manusia, menciptakan alam semesta dan seluruh tata sistem kehidupan tanpa kecuali sedikitpun.
Dengan demikian, kata guru besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini, keberagamaan itu harus kita rawat, kita jaga dan tidak boleh kita ingkari. ”Ada keberagaman hasil dari pilihan kita, keberagamaan agama, orang memilih pilihan agamanya masing-masing,” jelasnya.
Kalau suku, ras, tidak ada pilihan. Ras itu orang lahir dengan ras masing-masing. Tinggal disyukuri semua. ”Kalau pilihan politik ya konstruksi dan pilihan kita. Tetapi hatta pilihan-pilihan itu kita kategorikan sebagai keberagaman, kebinekaan yang harus kita hormati,” tandasnya.
Tinggal bagaimana keragaman kebinekaan itu, tidak membuat kita lalu saling berseteru lawan. Li ta’aarofu ini urusan nilai, ini urusan aturan, ini urusan kebiasaan , jadi kita bisa hidup dalam keragaman itu, ada dasar nilainya, kita bisa hidup dalan keberagaman itu ada tata tertibnya, yang tertib sosial, tertib hukum tertib berbangsa dan dalam keragaman itu, ada kebiasaan yang baik.
Masalah pluralitas, dasar kita orang beragama, baik dalam menghadapi keragaman dalam beragama, maupun keragaman yang lain, kita punya dasar nilai, saling menghargai, saling menghormati, bahkan beragam agamapun kita punya prinsip, yaitu lakum diinikum wa liyadiin. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.
Penulis Dahlansae Editor Sugeng Purwanto