Kasus-Kasus dalam Rumah Tangga, Pentingnya Bekal Spiritual, merupakan bagian ke-8 dari buku Spiritualitas Pernikahan Meraih Kebahagiaan dengan Rahmat Ilahi karya Moh. Sulthon Amien.
Penulis adalah Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Universitas Muhammadiyah Surabaya, Ketua Badan Pembina Yayasan Insan Mulia Surabaya, Direktur Utama Laboratorium Klinik Parahita Surabaya.
PWMU.CO – Menjelang hari-H tiba, resepsi pernikahan. Kesibukan keluarga menumpuk dan menyita energi. Dari A hingga Z, kebutuhan prosesi perkawinan dan pernik-perniknya hampir tak terhitung jumlahnya.
Pada saat anak kami si sulung dan adiknya hendak menikah secara bersamaan, saya tawarkan kepada mereka, perhelatannya dilaksanakan di masjid sekolahan. Maksudnya, acara diselenggarakan di kompleks Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya dengan mengundang tamu terbatas; sejumlah anggota keluarga dan beberapa teman. Serentak mereka menolak, “Masa’ nikahan di sekolahan?”
Kemudian saya tawarkan lagi pilihan lainnya, “Akad nikah di Masjid al-Haram?” Tetapi mereka tidak begitu merespons. Mungkin belajar dari pengalaman pada tempo hari. Yaitu disaat kami sekeluarga berumrah dan berkesempatan menghadiri warga Indonesia yang melaksanakan akad nikah di depan Baitullah lantai dasar Masjid al-Haram.
Sayangnya, para undangan tidak bisa mengikuti dengan jelas karena dilakukan secara diam-diam. Khutbah nikah pun tak dapat didengar, kecuali oleh calon mempelai pria yang duduk di samping ustadznya. Dalam hitungan beberapa menit acara sudah usai. Konon dilakukan begitu senyap agar tidak menarik perhatian orang yang sedang tawaf, bahkan askar (polisi) yang sedang berjaga.
Kata seorang teman mahasiswa Ummul Qura’, area yang diperbolehkan di Babul Malik itu pun tidak boleh mencolok. Mempelai laki-laki harus berjauhan dengan pengantin perempuan. Setidaknya akad nikah di sana mempunyai nilai ritual tersendiri. Apa sekarang ada perubahan lokasi yang diizinkan mengingat situasi masjid berubah total sejak pembangunan renovasi besar-besaran.
Kenyataannya tidak seperti harapan. Meski tempatnya sakral, tidak menjamin lantas rumah tangganya akan langgeng. Dalam beberapa kasus, tak jarang putra pejabat dan artis yang nikah di Tanah Haram berakhir di ujung perpisahan.
Jadi, tetap bergantung pada pribadi masing-masing. Harapannya ijab kabul syarat nilai ritual itu mustinya merembes memunculkan ranah sepiritual. Itulah tantangan meletakkan pernikahan sebagai wahana beribadah kepada Ilahi.
Persiapan Mental Spiritual
Tetapi, tuntutan zaman sekarang tidak sesederhana ide untuk membuat walimatul ‘ursmenjadi sesimpel mungkin. Maka persiapan segalanya butuh waktu berbulan-bulan. Antre booking gedung, foto pre wedding, katering, butuh EO (event organizer) atau tidak, listundangan, setting acara dan banyak lagi. Jika diidentifikasi bisa menjadi daftar panjang sebuah pekerjaan rumah.
Padahal, ada sebuah persiapan yang tidak kalah penting dengan seabrek seremonial tersebut. Agenda yang sesungguhnya adalah bagaimana anak cucu Adam dan Hawa itu merancang dirinya, terutama mental sepiritualnya. Sebagai modal utama melangsungkan hakikat kehidupan penuh dengan uji coba ini.
Barangkali fenomena itu yang sedang melanda kota besar di dunia ini. Banyak anak muda enggan naik ke pelaminan. Seperti dituturkan oleh Shealla teman akrab putri kedua saya, ketika menjamu makan malam di Toronto, Canada beberapa tahun silam. Rekan sekantor Philip suaminya, rata-rata membujang. Mereka memandang lembaga perkawinan menyusahkan.
Hidup jadi ruwet. Pulang kerja harus berbelanja dulu, disusul menyiapkan makan malam, mencuci pakaian, bersih-bersih rumah, membereskan pekerjaan pagi yang belum selesai dan sebagainya. Belum lagi ke depannya punya anak, dengan segala kebutuhannya. Remeh-temeh itu menjadi momok yang sulit direalisasikan.
Mereka memilih hidup menjadi primitif. Jalan pintas kumpul bersama tanpa ikatan. Dasarnya hanya suka sama suka, hidup lebih bebas tidak ada hak dan kewajiban. Bahasa gaulnya adalah friends with benefit. Mereka melakukan segala kebebasan hanya untuk menyenangkan dirinya masing-masing tanpa memikirkan sebab-akibat ke depannya. Fenomena ini tampaknya mulai mewabah di kota besar dunia, atau bahkan sudah menjadi hal yang wajar di negara-negara tertentu.
Baca sambungan di halaman 2: Tanpa Rahasia