Pentingnya Memaafkan
Samudera kemaafan itu penting dalam tinjauan psikologi. Apabila seseorang masih mendendam masalah dan tak mau melepas dengan ikhlas sekaligus memaafkannya, maka semua itu akan menjadi penyakit di dalam hati. Bisa disebut di sini akibatnya antara lain, temperamental, mudah tersinggung, pemarah, rapuh, tidak sabaran dan mudah konflik dan lainnya.
Jalan keluarnya kita serahkan kepada Yang Maha Pengampun. Biarlah Allah SWT yang memprosesnya lebih lanjut. Dan Allah memberi tempat khusus bagi hamba-Nya yang berlapang dada. Kelapangan dada hanya dimiliki oleh seorang hamba yang berproses mensucikan dirinya, “Berbahagialah orang-orang yang mensucikan dirinya.” (al-A’la, 87:14)
Pada suatu hari di salah satu cabang kantor kami gempar karena ada dua karyawati bergantian pingsan. Katanya melihat orang besar hitam di depan lift. Untuk meredam sosok menakutkan tersebut para pegawai sepakat mengaji bergiliran dan shalat malam berjamaah di kantor.
Saya mengizinkan untuk meredakan keresahan yang sedang bergejolak. Alhamdulillah suasana jadi normal kembali dan yang biasa semaput sudah tidak kambuh lagi.
Saya segera datang ingin melihat dari dekat. Saya panggil salah satu dari mereka lalu saya tanya, “Ada problem apa yang membebanimu, Mbak?” Pertanyaan saya dijawab spontan dengan isak tangis deraian air mata. Saya selipkan sugesti, “Menangislah kalau air matamu itu ikut mengalirkan deritamu menjadi ringan.”
Setelah agak surut ia baru bercerita panjang. Dirinya sudah menikah selama dua tahun, sampai kini belum mempunyai momongan. Acapkali bertemu dengan ibu mertuanya yang selalu bertanya, “Kapan kamu hamil?” Kapan kamu hamil. Pertanyaan itu makin lama membuat pikirannya menjadi bingung menyesakkan dadanya.
Rupanya ia belum siap hamil. Belum ada keinginan konsul dokter kandungan. Kemungkinan ingin mengalir secara alami. Namun dirinya lupa, ia adalah anggota keluarga besar suaminya yang dituntut untuk segera punya baby.
Berkeluarga itu tidak seksdar menyatukan dua insan yang saling siap memadu kasih. Namun membutuhkan bekal, pembelajaran tak pernah henti, menghadapi setiap perkara silih berganti. Persoalan merupakan bunga rampai ujian Tuhan yang dihadapi setiap insan sepanjang umur pernikahannya.
Kesetiaan Budi Utomo: Dunia Akhirat
Namanya Budi Utomo. Ia merawat istrinya yang sakit lumpuh bukan sehari dua hari atau sebulan. Masa yang sangat panjang, selama 22 tahun. Hampir separuh usia perkawinannya. Budi Utomo tetap mengopeni Suwarti sang istri sampai akhir hayatnya di usia 69 tahun. Ia mengurus sang istri katanya biasa saja. Tanpa beban sedikit pun, layaknya tanggung jawab harian. Sejak dulu profesinya sama-sama sebagai perawat.
Pukul 02.00 ia bangun merebus air. Mengajak istrinya shalat tahajud dan shalat subuh. Bakda Subuh, mengerjakan rutinitas; memasak, mengepel dan mencuci pakaian, melakukan seluruh aktivitas menggantikan peran ibu. Usai memandikan dan menyiapkan sarapan pagi, barulah ia berangkat ke kantor.
Sudah beberapa kali ia diminta istrinya agar menikah lagi. Bahkan anak-anaknya ikut mendorongnya pula. Akhirnya ia nyatakan dengan tegas di hadapan istri dan anak-anaknya, dirinya akan tetap istikamah mengurus mamanya sampai sembuh dan tak akan omah-omahlagi.
Ia tergolong sibuk seorang profesional tulen. Pada saat menjabat Direktur Stikes (Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan) Muhammadiyah Lamongan, berjuang dengan gigih bersama tim mengantarkan institusi tersebut berkembang pesat menjadi Umla (Universitas Muhammadiyah Lamongan). Ia tetap didapuk memimpinnya, rektor periode pertama (Nurcholis Huda, 2020).
Pada saat Covid-19 merajalela tahun 2021, Suwarti terpapar varian Delta dan tidak tertolong. Rupanya Budi tertular pula, 23 hari kemudian menyusul kepergian istrinya ke alam keabadian. Selaras cinta sejati dunia akhirat telah diukirnya.
Menatap sosok Budi Utomo yang menginpirasi sekaligus menajubkan, meminjam ilustrasi al-Quran (Yusuf: 31) para selebritis teman Zulaika terhipnotis dengan ketampanan Yusuf. Celetuknya, “Maha Sempurna Allah, ini bukan manusia. Ini adalah malaikat yang mulia.” Anak milenial tak mau kalah ikut berkomentar, “Wow keren! Ini manusia setengah dewa.” (*)
Editor Mohammad Nurfatoni