Tantangan setelah UMAM
Ketika kita jamuan makan, lanjutnya, bahkan ada tambahan lagi, challenge atau tantangan untuk Muhammadiyah. Raja akan menyediakan bangunan lahan dan intinya menjadi tanggung jawab raja, untuk mendirikan pondok pesantren modern ala Muhammadiyah.
“Yang tidak dimiliki itu dua hal, ustad-ustadzahnya dan sistemnya. Maka minta Muhammadiyah yang menyediakan ustadz, mudir dan seterusnya. Sekaligus juga kloning dari MBS, Mu’allimin atau apapun dalam bentuk pondok pesantren Muhammadiyah di Perlis, tapi milik kerajaan. Ini kan luar biasa tantangannya,” urainya.
“Sehingga ketika kami pulang itu, bagaimana mencari ustadz-ustadzah yang mau tinggal di Perlis Malaysia. Dan itu nanti segalanya ada tanggung jawab, sekaligus juga menyiapkan sistem,” imbuhnya.
Dia menegaskan, dalam proyeksi ke depan, UMAM akan menjadi tonggak dari kehadiran Islam berkemajuan di bangsa serumpun. Yang mula-mula perjuangannya juga berat.
“Lima tahun kami berjuang untuk dapat izin UMAM, ini juga luar biasa. Termasuk juga ‘puasa’ karena memang tidak punya apa-apa. Baru setelah ada komitmen dari 16 rektor PTMA dan kami terus bergerak maka akhirnya bisa terwujud,” paparnya.
Kekuatan Teologi Al-Insyirah
Haedar menambahkan, satu hari sebelum ke Perlis, Gubernur Sumatera Barat ingin ketemu. Ternyata gubernur membawa satu rombongan kecil, di mana rombongan kecil ini diaspora Minang di Johor Baru Malaysia. Dulu kita rencana membangun pendidikan di situ.
“Diaspora Minang ini ketuanya seorang pengusaha. Mereka punya lahan puluhan hektar dan ingin dikerjasamakan. Sebagian mau dihibahkan ke Muhammadiyah dengan syarat Muhammadiyah membangun rumah sakit,” jelasnya disambut tepuk tangan hadirin.
Lantas saya berpikir, kapan kita mau berhenti sejenak. Tadinya kita mau terus besarkan UMAM, tahu-tahu ada permintaan lain seperti pondok pesantren dan rumah sakit. Harapan mereka penduduk Indonesia yang di sana saja, diaspora Minang sudah banyak dan besar. Maka kita mendirikan rumah sakit sangat prospektif,” tambahnya.
Tapi semua yang dipaparkan itu, menurutnya, jika kita ingin berbuat yang baik dan terbaik untuk kepentingan umat, itu selalu saja Tuhan memberi banyak jalan. Yang jalan itu seolah-olah kelihatan sempit, bahkan nyaris kelihatan di lorong. Dan kenyataannya kita harus berpuasa.
“Tetapi akhirnya jalan itu terbuka dan terbuka. Dan di situlah saya yakin teologi al-Insyirah yang kita bahas pada Pengajian Ramadhan PWM Jatim, itu menjadi teologi nyata. Jadi al-Insyirah selalu menyertai kita, karena kita meyakininya, dengan segala suka dan duka,” tuturnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni