Partai Politik Merampas Kedaulatan Rakyat oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS.
PWMU.CO– Gerakan Reformasi yang mengakhiri dominasi militer dalam pemerintahan dan ingin menguatkan masyarakat sipil ternyata menjadi kebablasan.
Perwakilan masyarakat sipil yang diberikan kepada partai politik malah merampas kedaulatan rakyat. Partai politik malah bertindak sewenang-wenang untuk memperkuat dirinya. Terjadilah salah tata kelola negara. Apalagi setelah terjadi amandemen UUD 1945.
Kesalahan itu membatalkan tujuan gerakan Reformasi yaitu pemberantasan korupsi, desentralisasi, dan demokratisasi.
Kesalahan tata kelola ini makin melemahkan masyarakat sipil yang dikorbankan bagi penguatan sekaligus dominasi partai politik di hampir semua dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akibatnya demokrasi kita menjadi demokrasi prosedural lontong sayur. Pemilu hanya menjadi instrumen transfer bersih hak-hak politik warga negara ke partai politik. Namun aspirasi pemilih itu berhenti di bilik suara, jarang sekali sampai ke Senayan.
Partai politik menjadi organisasi yang berpotensi melakukan monopoli politik secara radikal atas pasar politik Republik ini. Sejak memperoleh kewenangan besar untuk mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai-partai politik melalui DPR telah melakukan serangkaian maladministrasi publik dengan membuat, menafsirkan (melalui berbagai regulasi turunan UU), dan menegakkan Undang Undang sesuai kepentingan elite politik, bukan kepentingan publik warga negara, termasuk UU No.2/2002 tentang Kepolisian Negara RI.
Monopoli Pasar Politik
Kemudian hampir semua jabatan publik harus melalui fit and proper test oleh anggota DPR. Begitulah partai politik memonopoli pasar politik sebagai public goods secara radikal seperti persekolahan massal memonopoli pasar pendidikan secara radikal.
Akibat maladministrasi publik yang luas ini, kekuatan civil society dilemahkan secara serius. Setiap kekuatan oposisi sipil di luar parlemen dilumpuhkan melalui kriminalisasi dan penangkapan yang tidak sah oleh polisi.
Bahkan kalau perlu melalui extra-judicial killling seperti yang terjadi pada enam laskar FPI yang dikenal luas sebagai kasus KM 50. Organisasi massa yang membanguh wacana alternatif secara damai seperti HTI dan FPI dibungkam melalui UU Ormas.
Beberapa tokoh publik dicap sebagai penceramah radikal, anti-NKRI, anti-Pancasila, bahkan dituduh sebagai anggota jaringan teroris.
Pelumpuhan masyarakat sipil itu berpuncak di masa pandemi Covid-19. DPR praktis membiarkan eksekutif melakukan apa saja tanpa kontrol, termasuk pertanggungjawaban anggaran. Alasan public health emergency of international concern kini dijadikan salah satu ikon keberhasilan rezim saat ini. Padahal ada opsi kebijakan kesehatan lain yang jauh lebih baik sehingga bangsa ini bisa recover faster and grow stronger.
Media dan Kampus
Sementara media utama dikuasai oleh pemodal besar yang juga membiayai partai politik. Kampus sebagai elemen masyarakat sipil yang paling terdidik sekaligus penjaga nurani bangsa terakhir pun dilumpuhkan.
RUU selama pandemi diputuskan tanpa konsultasi publik yang memadai di kampus-kampus. Kini hampir semua Perguruan Tinggi Negeri dengan suka cita menjadi sekadar penyedia buruh terampil berdasi. Template kehidupan mahasiswa saat ini adalah lulus cepat, kalau bisa cumlaude, lalu bekerja sebagai pegawai negeri atau di BUMN atau MNC.
Intervensi politik ke dalam perguruan tinggi adalah kenyataan hari ini. Rektor adalah sosok yang harus direstui oleh Mendikbudristek sebagai pembantu presiden. Sementara itu rektor disibukkan untuk bersaing menjadi berkelas dunia dengan mengikuti standar Barat yang by design akan selalu menempatkan kampus kita secara istiqamah di papan bawah.
Ben Anderson menyebut penyakit profesionalisasi yang melanda banyak kampus sehingga kampus itu makin terasing dari masyarakat di sekitarnya sendiri. Kampus tidak lagi melahirkan public intellectuals yang menyuarakan kritik sebagai peringatan dini atas pembajakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang makin jauh dari cita-cita proklamasi kemerdekaan.
Kesalahan tata kelola Republik ini secara perlahan telah merampas kemerdekaan warga negara. Reformasi justru menghasilkan deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Skandal Sambo di tubuh kepolisian yang terkuak bulan ini adalah semacam wake up call bagi bangsa ini bahwa Republik ini dalam ancaman eksistensial.
Mencermati pelumpuhan serius atas masyarakat sipil sebagai kekuatan demokrasi terpenting di mana tentara dan polisi tunduk pada supremasi sipil, para intelektual di kampus di seantero negeri ini kini dipanggil untuk mengambil tanggungjawab sejarah untuk menyelamatkan Republik ini dari keruntuhan.
Sukolilo, 29/8/2022
Editor Sugeng Purwanto