Tolak Tambang di Trenggalek, PP Muhammadiyah Bedah Film Silat Tani; Liputan Kontributor PWMU.CO Trenggalek Wahyu Roiyan
PWMU.CO – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menggelar Bedah Film Silat Tani di halaman Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga. Tepatnya di Jalan RA Kartini No. 76 Sumbergedong, Trenggalek, Sabtu (3/9/22).
Sejumlah 50 aktivis lingkungan duduk lesehan menyimak film yang dikelola komunitas pecinta lingkungan di koperasi swadaya tim ‘Indonesia Baru’. Sebuah layar lebar terbentang di hadapan mereka.
Film itu diambil dari kisah nyata, tidak diperjualbelikan, dan tidak diputar di bioskop maupun Youtube. Jadi hanya komunitas pencinta lingkungan yang bisa memutarnya.
Pemutaran film ini bagian dari upaya menolak tambang PT Sumber Mineral Nusantara di Kabupaten Trenggalek. Luas area konsesi tambang 12.8 ribu Ha. Yakni meliputi Kecamatan Kampak, Watulimo, Dongko, Munjungan, Gandusari, Karangan, Pule, Suruh, dan Tugu. Sebab, kecamatan itu punya kawasan karst yang bermanfaat bagi masyarakat Trenggalek.
Dampak Tambang
Film ini menceritakan kehidupan petani dari Wadas dan Wonosobo yang tergantung pada lahan dan air. Mereka juga dipermainkan harga panen karena panjangnya alur distribusi dari petani ke konsumen.
Dampaknya, keuntungan petani sangat menipis. Bahkan mereka sering merugi jika gagal panen. Rantai distribusi yang begitu panjang malah memberi keuntungan tengkulak.
Aktivis Kader Muhammadiyah Yogyakarta Alfi Dimas memaparkan, “Wilayah yang terdampak akibat konsesi tambang di Kabupaten Wonosobo, tepatnya di daerah Dieng, sekitar tahun 2006 lingkungannya rusak.”
Kata dia, dampak yang ditimbulkan berupa meletusnya pipa gas, sumber mata air menjadi asin, tanaman cepat rusak, dan rumah warga yang menggunakan atap seng berkarat. “Warga yang semula setuju akhirnya menolak karena menimbulkan dampak yang sangat besar untuk lingkungan,” sambungnya.
Dia menegaskan, “Salah satu sumur bor meledak dan memakan korban membuktikan penambangan panas bumi (geothermal) ini perlu dikaji ulang!
Selain itu, lanjutnya, tambang itu juga menyebabkan gempa tektonik sekitar 4 SR. “Memang relatif kecil, tapi sangat berbahaya jika hal seperti ini terus berlangsung,” ungkapnya.
Desa Wadas
Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, merupakan konsesi tambang batuan andesit. Yaitu bahan material yang akan digunakan untuk Proyek Strategis Nasional pembangunan Bendungan Bener. Ini diperkirakan menjadi bendungan nomor dua tertinggi se-Asia Tenggara. Untuk proses pembangunan, bendungan ini memerlukan bahan material yang cukup banyak.
Ada sembilan desa yang menjadi target penambangan. Yakni tujuh desa di Wonosobo dan dua desa di Purworejo. Uang ganti rugi untuk pembebasan tanah belum dibayarkan. Hingga sekarang, proyek pembangunan bendungan terhenti. Selain itu, di daerah ini juga ada oknum mafia-mafia tanah.
Masyarakat Desa Wadas sebagian besar berprofesi sebagai petani komoditas seperti durian, kopi, kemukus, karet, dan aren. Jika area ini ditambang, mereka akan kehilangan sumber mata air sekaligus sumber kehidupan warga desa. Mengingat, ada 26 sumber mata air yang mampu menghidupi sepuluh sampai sebelas Kepala Keluarga. Apalagi, proses penambangan menggunakan dinamit yang membuat rumah warga retak.
Dari aspek historis, di Desa Wadas terdapat kesenian ‘Baungan’, salah satu adat budaya warga setempat. Di sana juga ada pohon randu yang menjadi ikon karena disakralkan penduduk desa. Selain perjuangan letigasi, upaya perlawanan Desa Wadas juga melalui spiritual. Yakni mujahadah, dengan berdoa bersama di masjid-masjid secara bergiliran setiap sepekan sekali.
Keberpihakan pada Kezaliman
Ketua Kader Muhammadiyah Trenggalek Trigus Dodik Susilo mengingatkan kisah Nabi Ibrahim ketika dibakar. Dia mengatakan, dalam hadist Bukhari, dikisahkan ada dua hewan yang ikut berperan. Salah satunya, burung pipt yang membantu memadamkan api.
Pada masa itu, burung pipit bolak-balik ke sungai untuk mengisi paruhnya dengan air. Kemudian burung itu memuntahkan air ke kobaran api yang membakar Nabi Ibrahim. Sebaliknya, cicak terus meniup api agar kobarannya semakin membesar.
“Jika dipikirkan secara logika, tindakan kedua hewan tersebut tidak mungkin mampu merubah keadaan tetapi tindakan mereka cerminan keberpihakan hewan tersebut. Allah tidak bertanya kepada kita apakah setiap usaha itu berhasil atau tidak, namun Allah akan menanyakan tindakan apa yang dilakukan saat melihat kezaliman ada di depan mata,” tegasnya.
Peta Mata Air
Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) sudah mendatangi Kabupaten Treggalek. Mereka memetakan mata air. Di satu desa pada Kecamatan Watulimo, mereka menemukan 30 titik mata air. Adapun di Kecamatan Kampak, ditemukan 60 titik mata air krast.
Selain itu, di Desa Timahan Kampak, ada gua yang di dalamnya terdapat sumber mata air bagi masyarakat sekitar. Warga Timahan langsung mengalirkan air lewat pipa-pipa ke rumahnya untuk kebutuhan sehari-hari.
Warga yang menjadi konsesi tambang tidak pernah melakukan pengeboran. Mereka langsung menggambil dari sumber mata air. Namun, ada beberapa oknum pemerintahan yang pro dengan tambang di Trenggalek.
Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LHKP PP Muhammadiyah) David Efendi yang akrab disapa Cak David sangat mengapresiasi kegiatan nobar dan bedah film itu. “Nobar menjadikan kesadaran berpolitik yang awalnya berjarak mampu merangkul seluruh elemen untuk peduli akan politik,” ungkapnya.
“Hal-hal yang semula formal kemudian ditarik menjadi urusan sehari-hari. Di situlah kekuatan nobar! Ini perpaduan yang sempurna,” imbuhnya.
“Efek penolakan yang berkaitan dengan politik yaitu bui, buang, dan bunuh. Jangan gentar jika kita memang berada di jalur yang tepat! Harus berani ambil sikap melihat kezaliman ada di depan mata. Jangan diam saja, aspirasikan suara rakyat degan cara bijak!” tegasnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni/SN