PWMU.CO– MK dinilai mulai berpolitik. Pernyataan bahwa Joko Widodo (sekarang Presiden RI) boleh mencalonkan diri sebagai Wakil Calon Presiden pada Pemilihan Presiden Tahun 2024 mencerminkan sikap lembaga Mahkamah Konstitusi yang tendensius, free kick, dan potensial dianggap melanggar konstitusi.
Hal itu disampaikan Prof Dr M. Din Syamsuddin dihubungi Kamis (15/9/2022). Pendapat Din itu menanggapi pernyataan juru bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono yang mengatakan tak ada peraturan yang melarang presiden dua periode maju sebagai cawapres.
Menurut Din, pernyataan itu tidak bisa tidak dianggap sebagai pernyataan lembaga Mahkamah Konstitusi. Seorang Jubir biasanya mewakili lembaga, dan tidak akan berani mengeluarkan pernyataan kecuali atas restu bahkan perintah pimpinan MK.
”Kalau MK membantah maka harus ada sanksi tegas berupa pencopotan sang Jubir yang telah melakukan pelanggaran, tidak hanya off side, tapi free kick, dan bersifat berpolitik,” kata Din yang Ketua PP Muhammadiyah periode 2005-2015.
Menurut dia, pernyataan Jubir MK itu, yang tidak atas pertanyaan atau permintaan seseorang atau lembaga/organisasi, adalah tendensius, bernuansa berpolitik.
”Itu membenarkan dugaan bahwa MK selama ini tidak netral, tidak imparsial, tidak menegakkan keadilan menyangkut isu Pemilu dan Pilpres, seperti yang ditunjukkannya pada keputusan tentang Presidential Threshold (ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden),” ujar Din Syamsuddin.
Jika ini benar, sambung dia, merupakan malapetaka bagi negara Indonesia yang berdasarkan hukum/konstitusi karena perisai terakhir penegakan hukum/konstitusi justru berkecenderungan berpolitik dan melanggar hukum atau konstitusi sendiri.
Maka sudah waktunya rakyat me-review atau merevisi keberadaan MK dari perspektif UUD 1945 yang asli.
Kata Din, MK tidak hanya harus mengenakan sanksi tegas atas jubirnya, tapi harus mengeluarkan pernyataan bahwa seorang presiden hanya untuk dua masa jabatan berturut-turut dan tidak boleh diotak-atik untuk diberi peluang mencalonkan diri lagi walau sebagai wakil presiden.
”Jika ini diabaikan oleh MK, saya sebagai warga negara bersedia bergabung bersama rakyat cinta konstitusi melakukan aksi protes besar-besaran,” tandas Din menegaskan sikapnya pada MK mulai bermain politik.
Melanggar Konstitusi
Sementara Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pertama periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie mengatakan Joko Widodo tak memenuhi syarat untuk menjadi calon wakil presiden (Cawapres) di Pilpres 2024 mendatang.
Menurut dia, Jokowi yang sudah menjabat presiden dua periode tidak bisa maju lagi sebagai calon wakil presiden untuk periode berikutnya. ”Iya, tidak bisa jadi Cawapres baik dari segi hukum maupun etika,” ujar Jimly seperti ditulis CNN, Kamis (15/9).
Menurut Jimly, Pasal 7 UUD 1945 tidak boleh hanya dibaca secara harfiah melainkan harus dibaca secara sistematis dan kontekstual.
Pasal 7 UUD 1945 berbunyi: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
“Hanya untuk satu kali masa jabatan,” tegas Jimly.
Lalu ia menyinggung pasal 8 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi: “Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya.”
Jika Jokowi jadi Wapres 2024, tutur Jimly, maka pasal 8 ayat 1 UUD 45 tidak dapat dilaksanakan karena akan bertentangan dengan pasal 7 UUD 1945.
“Makanya tidak ada tafsir lain yang mungkin kecuali bahwa Jokowi tidak memenuhi syarat untuk menjadi cawapres dalam Pilpres 2024 nanti,” kata Jimly.
Jimly menjelaskan, pernyataan juru bicara bukan merupakan putusan resmi MK. Staf pengadilan dilarang bicara substansi.
“Lagian isinya salah. UUD 1945 sudah mengatur presiden hanya menjabat selama 2 x 5 tahun. Sesudahnya tidak boleh lagi, termasuk jadi wapres,” katanya.
Editor Sugeng Purwanto