Opini oleh Prima Mari Kristanto *)
PWMU.CO – Ribut-ribut pemerintah RI dengan PT. Freeport di awal tahun 2017 ini mendorong banyak kalangan prihatin sekaligus memantik semangat nasionalisme, termasuk dari kalangan Pesyarikatan Muhammadiyah, sebagai salah satu soko guru NKRI.
Melalui sebagian tokohnya—belum menjadi sikap resmi—mereka melontarkan wacana untuk dapat ikut memiliki PT. Freeport Indonesia dalam proses divestasi sahamnya. Baca misalnya: Mungkinkah Muhammadiyah Beli Saham PT Freeport?
Segenap warga Persyarikatan perlu membaca kembali pendapat Prof Dr Amien Rais tentang Freeport 20 tahun lalu. Harian Umum Republika mempublikasikan kembali tulisan Amien di rubrik Resonansi yang terbit pada Kamis 9 Januari 1997.
Redaksi Republika berpendapat isi resonansi ini, walaupun sudah berumur 20 tahun, masih amat relevan dan penting. Tulisan Amien—20 tahun lalu belum Profesor—yang pada tahun 1997 memegang amanah sebagai Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah hasil Muktamar Banda Aceh 1995 mengulas tentang Busang, tambang emas di Kalimantan.
Tulisan tentang Busang juga menyinggung keberadaan PT Freeport Indonesia. Amien menulis bahwa perusahaan tambang Amerika ini sejak 1973 telah menambang emas, perak, dan tembaga di Irian Jaya. Sekarang ini setiap hari—secara harfiah setiap hari—125 ribu ton bijih tambang diruntuhkan dari gunung-gunung di Pegunungan Jaya Wijaya.
(Baca: Menyambut Kebangkitan Baitul Tamwil Muhammadiyah, Ayo Belajar pada Grameen Bank Bangladesh)
Dari jumlah bijih tambang sekian itu, diperoleh konsentrat sekitar 6.000 ton. Setiap ton konsentrat mengandung 300 kilogram tembaga, 60 gram perak, dan 30 gram emas.
Walhasil, selama seperempat abad, kekayaan bangsa yang sudah digotong ke luar negeri kurang lebih 1.620 ton emas, 3.240 ton perak, dan 162 juta ton tembaga. Sekian ton emas itu, kalau dirupiahkan dengan harga sekarang, bernilai lebih dari Rp 400 triliun.
Tahun 1991, Freeport sudah mengantongi izin penambangan lagi untuk masa 30 tahun ditambah dua kali sepuluh tahun (dus, setengah abad) dengan wilayah eksploitasi yang lebih luas lagi. Masya Allah!
Data tersebut diatas diungkapkan 20 tahun lalu, dapat dibayangkan berapa nilai perusahaan Freeport setelah eksploitasi besar-besaran selama kurun waktu tersebut.
Rencana divestasi 51 saham kepada RI juga bertahan sampai 10 tahun ke depan. Masih adakah kandungan mineralnya dalam 10 tahun kedepan pascaeksploitasi puluhan tahun?
(Baca juga: Fatwa MUI yang Gairahkan Industri Keuangan, hem … Kenapa Tidak Diprotes?)
Meminjam istilah anak muda saat ini, Freeport GeJe alias Gak Jelas. Banyak versi menyebutkan nilai Freeport yang simpang siur antara 500 trilyun dan sebagainya. Kesimpangsiuran nilai perusahaan Freeport menyebabkan perusahaan ini tidak layak dimiliki sahamnya jika mengacu pada aspek syariah dalam kepemilikan saham perusahaan.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dalam Fatwa Nomor 80/DSN-MUI/VI/2011 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek menyebutkan antara lain gharar, tadlis, taghrir, najsy sebagai perilaku haram. Tarik ulur penjualan dan pembelian sebagian saham Freeport dalam usulan divestasi memenuhi unsur-unsur tersebut.
Gharar adalah ketidakpastian dalam suatu akad, baik mengenai kualitas atau kuantitas objek akad maupun mengenahi penyerahan. Berapa kualitas atau kuantitas Freeport tidak ada yang tahu dengan pasti. Karena tidak ada prospektus yang diekspos ke publik.
(Baca juga: Menunggu Jamaah Muhammadiyah di Bursa Efek Indonesia)
Tadlis adalah tindakan menyembunyikan kecacatan obyek akad yang dilakukan oleh penjual untuk mengelabui pembeli seolah-olah obyek akad tersebut tidak cacat. Cacat dalam hal ini kerusakan lingkungan yang ditimbulkan eksplorasi tambang disembunyikan.
Taghrir adalah upaya memengaruhi orang lain, baik dengan ucapan maupun tindakan yang mengandung kebohongan, agar terdorong untuk melakukan transaksi. Masih lekat dalam ingatan masyarakat Indonesia kasus “Papa Minta Saham” penuh dengan kebohongan entah siapa yang salah dan siapa yang benar.
Najsy adalah tindakan menawar barang dengan harga lebih tinggi oleh pihak yang tidak bermaksud membelinya, untuk menimbulkan kesan banyak pihak yang berminat membelinya. Saat ini berhembus isu bahwa Freeport akan diambil-alih perusahaan Cina dari Amerika dengan nilai penawaran yang tinggi. Baca sambungan di halaman 2: Bangsa Indonesia seolah dibuat melongo …