Muktamar Ke-48: Muhammadiyah Butuh Figur Ulama; Kolom oleh Azaki Khoirudin; Anggota Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah
PWMU.CO – Muktamar Ke-48 Muhammadiyah pada 18-20 November 2022 mendatang, penting mendorong figur ulama yang otoritatif berbicara ilmu keislaman masuk dalam struktur Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Pasalnya, Muhammadiyah telah kehilangan sosok ulama Prof Dr Yunahar Ilyas Lc MAg yang wafat Kamis, 2 Januari 2020 menjelang pelaksanan muktamar sebelum diundur dua tahun karena pandemi Covid-19.
Figur ulama dalam kepengurusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah sangat vital. Hal ini mengingat Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi mungkar dan tajdid yang berbasis al-Quran dan as-Sunnah. Karenanya figur pemimpin Muhammadiyah dengan karakter keagamaan yang ahli dalam bidang ulumuddiniyah (ilmu-ilmu agama) sangat penting.
Figur ulama otoritatif itu agaknya kosong di level PP Muhammadiyah saat ini. Dahulu di ada sosok Prof Hamka, Prof Amin Abdullah, lalu Prof Yunahar Ilyas, yang meskipun bukan ketua umum, tetapi menjadi figur otoritatif dalam persoalan agama di kalangan umat Islam Indonesia, bahkan dunia internasional.
Karenanya “sosok ketua” yang membidangi “tarjih” adalah posisi yang strategis dan bergensi di Muhammadiyah.
Siapakah Ulama Muhammadiyah?
Dalam budaya Muhammadiyah, ulama dibedakan dengan kiai. Prof Syafiq A. Mughni, pernah membuat sebuah utas di akun Twitter-nya bahwakiai adalah konsep antropologis, sedangkan ulama merupakan konsep teologis.
Jika sosok kiai dijuluki oleh komunitasnya, maka ulama ialah orang yang menguasai ilmu agama, bertakwa kepada Allah (yakhsyallaha), dan membawa misi kenabian (waratsatul anbiya’).
Kendati sesekali muncul kerinduan bagi lahirnya “kiai baru”, menurut Mughni, budaya yang berkembang dalam Muhammadiyah sangat tidak memungkinkan lahirnya kiai-kiai baru, tetapi ulama baru.
Yakni para pakar studi Islam di perguruan tinggi. Kultur ulama yang bergelar kiai, memakai simbol-simbol keagamaan seperti serban, peci putih, jubah, dan sebagainya relatif “tidak ada” di Muhammadiyah.
Mereka adalah ahli ilmu-ilmu agama dengan gelar doktor dan profesor dengan konsentrasi ilmu yang spesifik, fasih membaca kitab kuning dan putih serta bisa berceramah.
Mengapa Penting Sosok Ulama?
Memang dalam budaya Muhammadiyah adalah budaya organisasi dan koletivitas. Karena otoritas keagamaan dalam Muhammadiyah ada dalam pada sikap kelembagaan, yakni putusan dan fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid. Di sini sebenarnya Muhammadiyah tidak begitu membutuhkan figur individu, tetapi mengapa saat ini membutuhkan figur individu?
Hal ini karena di era disrupsi memunculkan otoritas keagamaan baru. Isu dan wacana keagamaan bergulir dengan begitu cepat, sehingga membutuhkan jawaban yang ekstra cepat dari otoritas agama.
Selama ini Muhammadiyah terkesan lambat dalam menjawab permasalahan agama yang berkembang karena harus rapat dan diputuskan di organisasi.
Ke depan Muhammadiyah perlu lebih fleksibel dan responsif menjawab masalah-masalah yang bergulir hampir setiap hari di masyarakat. Solusinya adalah mengkombinasikan antara otoritas institusi dan otoritas individu. Otoritas kolektif dijalankan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid, sedangkan otoritas individu adalah Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang membidangi masalah keagamaan.
Tiga Kandidat
Dalam amatan subjektif penulis, setidaknya ada beberapa sosok alternatif yang dapat mewakili figur ulama di PP Muhammadiyah.
Pertama, Prof Dr Syamsul Anwar MA,Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah selama 22 tahun (2000-2022). Riwayat pendidikannya dimulai dari tingkat menengah di Tangjungpinang (1969-1974), lalu di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Sarjana Muda (1978), S1 (1981), S2 (1991) dan S3 (2001).
Pada 1989-1990 kuliah di Universitas Leiden, dan 1999 di Hartford, Connecticut, USA. Sejak 1983 menjadi dosen sampai menjadi guru besar di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hingga sekarang.
Kedua, Dr M Saad Ibrahim MAg, Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur 2015-2022. Kiai Saad pernah menjadi Wakil Ketua PW Muhammadiyah yang membidangi Majelis Tarjih dan Tajdid selama 2 periode (2005-2015) yang sebelumnya menjadi Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PW Muhammadiyah Jawa Timur 2000-2005.
Riwayat pendidikannya dimulai dari S1 IAIN Surabaya (1983), S2 IAIN Jakarta (1990), dan S3 IAIN Jakarta (1997). Ia pernah menjadi Direktur Program Pascasarjana UIN Malang (2005-2007), Wakil Rektor IV UIN Malang (2007-2009), dan Dewan Pengawas Syariah Bank Jatim.
Ketiga, Prof Zakiyuddin Baidhawy MAg, guru besar studi Islam sekaligus Rektor IAIN Salatiga periode 2019-2025. Ia menjadi Editor in Chief Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies (IJIMS).
Pendidikannya dimulai dari S1 Perbandingan Agama di Universitas Muhammadiyah Surakarta, S2 dan S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia merupakan alumni Program Pendidikan Kader Ulama PP Muhammadiyah di Pondok Hajjah Nuriyah Shabran.
Ia aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) hingga di DPP menjadi Sekretaris Bidang Kader. Saat ini di, ia menjadi Dewan Syariah Lazismu Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.
Kader-kader terbaik di atas secara subjektif menurut penulis kayak Masuk PP Muhammadiyah, berdasarkan karya dan otoritas keilmuan dalam studi Islam sekaligus kiprah di persyarikatan Muhammadiyah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni