PWMU.CO – Muhammadiyah baru saja menyelesaikan acara Tanwir di Ambon Maluku, (24-26/2). Acara tertinggi kedua setelah Muktamar ini dipusatkan di Islamic Center, yang lokasinya tepat di bibir pantai Teluk Ambon. Selain berbagai acara yang berlangsung di dalam sidang, tentu saja ada berbagai cerita tentang Ambon di luar gedung. Secara berserial, PWMU.CO akan menurunkan berbagai realitas Ambon.
Jika para peserta Tanwir cermat mengamati lokasi Islamic Center Ambon, tentu ada sebuah pemandangan yang menarik. Di sebelah kiri pintu gerbang Islamic Center yang langsung menuju pantai, hanya sekitar 15 meter terpampang gapura unik. Tertulis besar di atasnya “Makam Para Syuhada”. Meski huruf “U” dan “H” sudah hilang, tapi warga setempat masih fasih membacanya sebagai “Syuhada”.
(Baca juga: Catatan dari Ambon (2): Serasa di Rumah Sendiri, Tempat Hiburan pun Ikut Ucapkan Selamat Ber-Tanwir)
“Ini memang kompleks pemakaman baru yang dibangun setelah terjadi konflik horizontal umat beragama di Ambon,” cerita Thahir, “guide” dadakan PWMU.CO. Ketika terjadi konflik antara tahun 1999 hingga 2002, tidak sedikit korban yang meninggal dari kedua belah pihak.
“Nah, lokasi di pinggir pantai Desa Waihaong inilah yang dijadikan umat Islam untuk memakamkan mereka yang gugur saat konflik,” lanjut Thahir. Karena banyaknya korban yang berjatuhan dari umat Islam saat itu, maka barulah umat Muslim Ambon berinisiatif menetapkan satu tempat untuk mengubur jenazah yang gugur dalam konflik itu.
Konflik yang bermula dari tragedi Idul Fitri berdarah pada 19 Januari 1999 itu memakan banyak memakan banyak korban jiwa dari umat Islam. Lebih daripada itu, yang dikubur di pemakaman ini bukan hanya mereka yang berasal dari Ambon, tapi juga dari luar daerah, bahkan luar negeri.
“Bahasa gampangnya, mereka yang dimakamkan di situ adalah yang gugur dalam perang di dalam kota Ambon,” lanjut Thahir. Sebab, dalam kondisi konflik, ketika ada yang gugur, biasanya dimakamkan di desa ketika rombongan itu datang. Misalnya saja ketika perang di desa A, kemudian pindah ke kampung B untuk “istirahat”, maka jenazah yang gugur di desa A itu akan dimakamkan di desa B.
(Baca juga: 15 Statemen Presiden Jokowi yang Membuat Peserta Tanwir Muhammadiyah Ngakak)
“Kalau ada yang meninggal, kita membawa jenazahnya ke kampung selanjutnya. Dan di situ kita tanam itu jenazah,” kata salah satu narasumber PWMU.CO yang tidak mau disebut namanya. Karena itu, tambah pria yang salah satu adiknya juga gugur dalam konflik Ambon itu, sesungguhnya “Makam para Syuhada” itu tidak hanya di Ambon. Tapi juga di berbagai perkampungan Muslim di seluruh Maluku yang terlibat konflik 1999-2002.
Karena itu, “Pemakaman Para Syuhada” di Waihaong dekat Islamic Center Ambon, tentu saja bukan mereka yang berasal dari Ambon. Bahkan, kabarnya juga ada yang datang hingga dari negeri Yaman. Namanya Abdullah bin Ali, yang gugur dalam konflik di kampung Ponegoro pada bulan Juli tahun 2000.
(Baca juga: Ketika Ada yang Bisiki agar Tidak Hadiri Tanwir karena sudah Hadiri Muktamar Muhammadiyah, Begini Jawaban Jokowi)
Sayangnya, ketika PWMU.CO berusaha untuk melacak makam Abdullah bin Ali, nama tersebut tidak tertulis dalam nisan. Mungkin saja di salah satu persemayaman yang nisannya hanya tertulis “syuhada”. Sebab, dalam pengamatan PWMU.CO, tidak sedikit nisan yang tidak bernama, hanya ditulis “Syuhada”. Mungkin di angka 40-an dari 700-an makam yang ada.
Selanjutnya halaman 2…