Sangat mungkin nisan tak bertuan ini adalah para korban konflik Ambon yang yang berasal dari luar Kota Ambon. Sebab, pemberian nama untuk nisan di Pemakaman Para Syuhada itu memang baru dilakukan setelah konflik horizontal ini selesai. Sehingga hanya korban yang punya kerabat tinggal di Kota Ambon yang kebanyakan masih bisa memberi nama di nisan.
Yang pasti, konflik Ambon memang merugikan semua pihak. Termasuk yang menjadi korban adalah anak-anak kecil, yang tidak tahu apa yang sebenarnya menjadi masalah dari konflik itu. Di salah satu sisi selatan pemakaman misalnya, terdapat 3 buah makam berjejer ukuran kecil, yang hampir dipastikan sebagai tempat peristirahatan terakhir anak-anak yang tak berdosa itu.
(Baca juga: Dibanding Negara Lain, Kesenjangan di Indonesia Lebih Berbahaya. Ini Penyebabnya Menurut Wapres JK)
Tentu saja makam “kecil” itu bukan hanya 3 buah berjejer dan wafat dalam hari dan tanggal yang sama ini. Sebab, hampir dalam setiap deretan yang rata-rata diisi 6-7 makam, selalu terselip satu hingga dua makam mungil.
Bahkan ada bayi yang berusia kurang 2 bulan menjadi korban dari konflik ini. “Muhammad Isra bin Arifin. Lahir: 5-10-2002. Wafat: 2-12-2012,” begitu yang tertulis di nisan mungil. Berisi jenazah yang menjadi korban konflik ketika usianya masih 58 hari. Tahu apa anak seusia ini tentang konflik yang menjadikan mereka sebagai korban itu.
“Alhamdulillah, sekarang konflik yang tidak ada gunanya itu sudah selesai,” jelas Thahir. Apakah kehidupan di Ambon khususnya, dan Maluku umumnya, berjalan normal sebagaimana sebelum konflik. “Iya, betul. Hidup biasa seperti sebelum adanya konflik,” lanjut Thahir.
(Baca juga: Bersampingan Shalat di Ambon, Ini Pesan Din Syamsuddin ke Kapolri Tito tentang Kasus Adnin Arnas dan Bachtiar Nasir)
Belajar dari konflik yang berlalu, warga Provinsi Maluku berusaha untuk menjaga kedamaian jangan sampai konflik kembali terulang. Bahkan, provinsi ini kini menjadi salah satu daerah yang punya indeks kerukunan tertinggi di Indonesia di urutan ketiga.
“Kami akan mengembangkan Maluku sebagai laboratorium kerukunan hidup beragama terbaik di Indonesia,” kata Gubernur Maluku Said Assagaff saat memberi sambutan dalam pembukaan Tanwir Muhammadiyah, (24/2). Sehingga, kata Assagaff, dari Maluku orang bisa belajar bagaimana bisa membangun dialog dan kerukunan umat beragama.
(Baca juga: Jawaban Jokowi atas Kritik Haedar Nashir tentang 1 Persen Warga yang Kuasai 55 Persen Aset Nasional)
Namun sangat disayangkan kini kondisi “Makam Para Syuhada” itu terkesan kurang, bahkan tidak terawat. Selain terlihat dari tulisan pintu gapuranya yang sudah hilang huruf U dan H, juga terlihat dalam kebersihan komplek pemakaman. Rerumputan liar tumbuh di berbagai arena. Sehingga beberapa binatang ternak juga bebas berkeliaran di area itu.
Juga terasa kumuh dan kotor karena pada salah satu sisi komplek dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah sementara (TPS). Belum lagi, karena usia, beberapa pemakaman ada yang sudah mulai retak-retak bangunannya.
(Baca juga: Di Tanwir, Gubernur Maluku Maluku Melamar Jadi Tuan Rumah Muktamar Muhammadiyah Mendatang)
Apapun itu, “Makam Para Syuhada” Ambon ini sesungguhnya menjadi monumen kehidupan agar umat selalu menjada kedamaian. Memaafkan masa lalu, tanpa harus melupakan peristiwa yang lalu.
Ia menjadi pengingat, jangan sampai perdamaian yang sudah ada kembali dirusak dengan berbagai konflik. Karena konflik hanya melahirkan kerugian, tanpa pernah melahirkan pihak yang menang maupun kalah. (iqbal paradis & arkoun abqaraya)