Polemik dan Ancaman Freeport
Kisruh dan kehebohan PT FI tentunya sudah menjadi pembahasan yang terlalu sering dan bahkan sudah membosankan. Namun, polemik yang muncul belakangan ini tidak bisa dianggap biasa seperti polemik-polemik sebelumnya. Jika sebelumnya, polemik itu muncul tatkala pemerintah membuat kebijakan yang pro-Freeport dan membuat geram masyarakat Indonesia maka, polemik yang paling anyar ini, justru terjadi antara pemerintah melawan PT FI.
Polemik antara pemerintah dan PT FI bermula tatkala pemerintah melalui Menteri ESDM menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) nomor 5 dan 6 tahun 2017. Dengan permen ini maka semua perusahan tambang wajib mengolah dan memurnikan mineral di dalam negeri dan tidak boleh melakukan eksport konsentrat. Apabila perusahan tidak bisa melaksanakan peraturan tersebut maka mereka harus memilih salah satu jalan keluar berikut yaitu; (1) membangun smelter dalam 5 tahun ke depan, (2) membayar pajak eksport maksimal 10%, (3) menjual 51% saham dalam 10 tahun, atau (4) merubah status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
(Baca: Begini Tanggapan Pemerintah Usai Didukung Pemuda Muhammadiyah dalam Melawan Arogansi PT Freeport dan Lupakan Freeport karena Masih Banyak Perusahaan Energi yang Sahamnya Layak Dibeli Muhammadiyah)
Pada kasus ini, PT FI memilih poin nomor empat yaitu merubah status perusahan dari KK menjadi IUPK. Setelah perubahan status tersebut, polemik yang terjadi belum juga selesai. PT FI yang pada dasarnya sama dengan perusahan bisnis pada umumnya yang menaruh untung di atas rugi, masih mengajukan persyaratan menang buat mereka. Diantara persyaratan itu adalah mareka hanya bersedia melepas 30% saham mereka dari 51% yang disyaratkan pemerintah. Selain itu, PT FI juga tidak mau menggunakan aturan pajak yang bisa berubah (prevailing) yang sesuai ketentuan tapi memilih menggunakan aturan pajak tetap (nail down) yang berlaku pada KK.
Melihat lebih banyak mudharat daripada kebaikan pada persyaratan yang diajukan PT FI, pemerintah akhirnya memilih untuk menolaknya. Mendapatkan penolakan, PT FI pun melancarkan ancaman kepada pemerintah yaitu dengan merumahkan ribuan pekerja lokal yang ada di Timika – Papua dan akan mengajukan gugatan ke Arbitrase Internasional. Tak mau tanggung, PT FI pun memberikan tenggat waktu selama 120 hari terhirung sejak 12 Januari 2017.
Selanjutnya Baca Halaman 3