Ketika Bangsa Berbelok Arah, Muhammadiyah Berkewajiban Meluruskan; Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah. Editor Mohammad Nurfatoni.
PWMU.CO – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr KH Haedar Nashir MSi menyampaikan tiga hal penting pada Konsolidasi Nasional Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah di Magelang, Jumat (16/9/22).
Prof Haedar menyatakan, konsolidasi itu punya kepentingan ke dalam maupun luar sebagai bagian dari pelaksanaan program LHKP dalam menjalankan tugas-tugas yang berkaitan dengan fungsinya di bidang hikmah dan kebijakan publik.
Sebab, kata Prof Haedar, Muhammadiyah ada di dalam konteks kehidupan, keumatan, dan kebangsaan. “Bahkan dalam konteks kemanusiaan global yang tak lepas dari persoalan-persoalan hikmah, politik, kebangsaan, global, serta berbagai hajat hidup terkait persoalan relasi kehidupan, keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal,” imbuhnya.
Maka dia menilai konsolidasi itu sangat penting dalam usaha meningkatkan kapasitas kelembagaan LHK dalam melaksanakan program dan merespon perkembangan yang sesuai bidang tugasnya.
Mengingat Indonesia akan menghadapi Pemilu serentak 2024 nanti–telah menjadi keputusan dan ketetapan dalam regulasi politik nasional–Haedar berpesan, LHKP sesuai fungsi tugasnya tetap memosisikan diri dalam konteks Persyarikatan Muhammadiyah.
“Jadikan Islam sebagai pembangun kehidupan Islam berkemajuan, menciptakan perdamaian, persatuan, dan nilai-nilai yang maju. Meletakkan manusia dan segala dimensi secara luhur, bermartabat, dan utama!”
Prof Haedar Nashir
“Yakni sebagai organisasi dakwah, tajdid, dan berwatak kemasyarakatan. Tentu sesuai karakter dirinya maupun perundang-undangan sebagai ormas, Muhammadiyah punya tugas khusus sebagaimana layaknya ormas yang membina nilai-nilai hidup keagamaan dalam konteks ormas keagamaan,” ujarnya.
Selain itu juga membina nilai-nilai hidup dan pembinaan masyarakat sebagai ormas kemasyarakatan dan memajukan kehidupan kemasyarakatan. Adapun dalam konteks bangsa, tentu juga karakter ormas keagamaan dan kemasyarakatan sebagaimana melekat dengan Muhammadiyah berorientasi membangun kehidupan kebangsaan secara lebih luas, yang berbeda dengan orientasi partai politik atau lembaga-lembaga lain yang memiliki karakter sendiri-sendiri.
“Posisi organisasi keagamaan dan kemasyarakatan inilah yang harus tetap menjadi bingkai bagi seluruh lembaga, majelis, dan unit organisasi di Persyarikatan Muhammadiyah,” tegas Prof Haedar.
Karakter Dakwah dan Tajdid
Kedua, Haedar menyampaikan, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang membawa misi dakwah dan tajdid, juga dalam perspektif Islam berkemajuan, meletakkan keislaman itu sesuai dengan karakter keislaman yang jadi manhaj Muhammadiyah.
“Memahami, memproyeksikan, dan mengontekstualisasikan Islam dalam kehidupan dengan dimensi yang luas. Pemahaman akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah duniawi diletakkan dalam satu-kesatuan yang utuh, komprehensif, dan saling terkoneksi satu sama lain. Bukan sesuatu yang parsial,” ujarnya.
Begitu juga dengan pemahaman keagamaan dan keislaman–termasuk Islam dalam konteks politik kebangsaan, global, dan lainnya–juga dalam konteks pemahaman yang multiperspektif sebagaimana manhaj tarjih memahami ayat, hadits, Islam itu harus dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani dalam satu kesatuan interkoneksi yang mendalam.
“Agar kita tidak atas nama Islam tapi pandangannya sempit, parsial, dan tidak melintas-batas sesuai konteks dan kehidupan yang kita hadapi,” tuturnya.
Dalam konteks dakwah dan tajdid, Prof Haedar mengimbau dakwah berdimensi sesuai an-Nahl ayat 125 berikut.
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Kemudian dalam konteks Ali Imran ayat 104 dan 110 yang menjadi inspirasi lahirnya Muhammadiyah, dakwah pun dimensinya bukan hanya amar makruf nahi munkar. “Dalam perspektif Pak Kuntowijoyo disebut humanisasi, liberasi, dan transendensi. Sering transendensinya–bersifat hablum minallah wa hablum minannas–terlupakan.
“Ada dimensi metafisik, iman takwa. Dalam dimensi pemahaman yang luas, agama pun berdimensi transendensi yang luas. Pada posisi inilah maka pemahaman hidup dalam konteks Islam pun harus berdimensi mendalam dan luas,” imbuhnya.
Termasuk aktualisasi dakwah. “Muhammadiyah juga bermisi tajdid, membangun kehidupan dan mencegah hal-hal yang merusak kehidupan tetapi juga dengan karakter dakwah,” ungkapnya.
Inilah yang menurutnya harus menjadi orientasi dasar berpikir seluruh elemen di Persyarikatan Muhammadiyah.
Dia mengimbau, “Jadikan Islam sebagai pembangun kehidupan Islam berkemajuan, menciptakan perdamaian, persatuan, dan nilai-nilai yang maju. Meletakkan manusia dan segala dimensi secara luhur, bermartabat, dan utama!”
Ideologi dan Karakter Rujukan
Selanjutnya, yang perlu menjadi karakter Muhammadiyah dalam membaca dan menyikapi persoalan ialah apa yang menjadi koridor organisasi. “Yang disebut dengan ideologi dan prinsip-prinsip yang selama ini menjadi state of mind Muhammadiyah. Ada matan keyakinan, kepribadian, dan khittah,” terang Prof Haedar.
“Khittah yang paling lengkap dan merupakan kodifikasi dari seluruhnya adalah Khittah Denpasar 2002 yakni khittah berbangsa dan bernegara,” imbuhnya.
Prof Haedar menuturkan, itu semua harus menjadi bagian karakter anggota, kader, maupun pimpinan dalam memproyeksikan dan mengaktualisasikan Muhammadiyah dalam dinamika kehidupan yang kompleks.
“Bukan karena atas nalar dan orientasi pribadi kita tapi harus dalam konteks organisasi dan perspektif organisasi yang dimana kita semua berada di dalam sistem pemahaman ideologi yang komprehensif,” ujarnya.
“Kita harus terus mendidik warga Persyarikatan kita agar tetap menghadapi pemilu dengan dinamika apapun, tidak membawa organisasi ini menjadi partisan atas nama apapun!”
Prof Haedar Nashir
Dalam konteks kebangsaan, dia menekankan kita punya negara Pancasila Darul Ahdi wa Syahadah. Ini, lanjutnya, merupakan dokumen resmi keputusan muktamar yang menjadi tempat berpijak di dalam NKRI. “Ada pernyataan pemikiran Muhammadiyah abad kedua dan berbagai pemikiran lainnya, termasuk tentang visi karakter bangsa Indonesia berkemajuan,” imbuhnya.
Semua itu, kata Prof Haedar, perlu menjadi rujukan anggota LHKP karena bidang tugasnya sangat terkait perspektif itu. Bagaimanapun, sambungnya, Muhammadiyah menghadapi persoalan kebangsaan dalam momen-momen yang penting dan strategis. Dia mencontohkan, yang akan dihadapi meski agak jauh yakni Pemilu 2024.
“Bagi Muhammadiyah, pemilu ke pemilu adalah peristiwa yang sudah biasa, sistem dan regulasi demokrasi yang sudah berjalan rutin maka kita harus berperan bagaimana agar proses demokrasi ini berjalan secara substantif, mengikuti sistem yang betul-betul akuntabel, kemudian sistem yang membawa pada prinsip-prinsip kehidupan berbagsa dan bernegara menjadi lebih baik,” ungkapnya.
Demokrasi Liberal
Dia lantas menyatakan, “Demokrasi kita harus diakui sekarang ini demokrasi yang liberal, sebagai buah reformasi. Seakan-akan kita tidak berdaya di dalam konteks ini. Tapi kalau kerja seluruh elemen bangsa mengarah terus menciptakan sistem demokrasi yang semakin substantif, berpijak di atas konstitusi, bahkan didasari nilai-nilai Pancasila, khususnya sila keempat, maka sebenarnya kita bisa punya rujukan untuk meluruskan arah demokrasi ini.”
Ketika berhadapan dengan demokrasi transaksional, koruptif, dan berbagai hal yang membuat bangsa ini berbelok arah, Prof Haedar menegaskan, kewajiban kita meluruskan arah itu dengan membangun sistem yang semakin baik. Perjalanan sebuah bangsa tidak bisa mengalami diskontinuitas dari satu fase ke fase lain.
Di sinilah menurut Prof Haedar pentingnya Muhammadiyah membangun kontinuitas sistem itu agar menjadi lebih baik. “Maka kita harus meletakkannya dalam konteks rekonstruksi kehidupan kebangsaan ke arah yang lebih baik. Lebih dari itu, kita harus terus mendidik warga Persyarikatan kita agar tetap menghadapi pemilu dengan dinamika apapun, tidak membawa organisasi ini menjadi partisan atas nama apapun!” imbaunya.
Dia yakin, warga dan para pimpinan Muhammadiyah sudah memiliki kearifan, pengalaman, kedewasaan, tanggung jawab dan prinsip organisasi yang membingkai untuk tidak partisan. “Ketika kita tidak partisan, justru di situlah peran leluasa untuk kita mengawal pemilu ini menjadi lebih baik lagi,” ungkapnya.
Akhirnya dia berharap, dari konsolidasi nasional ini LHKP akan memperoleh rumusan-rumusan pemikiran dan langkah yang multiperspektif dalam mengoperasionalkan tugas-tugasnya. “Tentu saja semuanya berada dalam koridor lembaga sebagai unsur pembantu pimpinan sesuai dengan tugasnya yang bersifat spesifik dan operasional,” imbuhnya. (*)