Menghidupkan ‘Tombol On’ di MIM Mentaras. Perjalanan menjuri pada Lomba Lingkungan Sekolah Muhammadiyah Sehat (LLSMS) Majelis Dikdasmen PDM Gresik.
PWMU.CO – Sebelum datang ke madrasah ini, saya mendapat bisikan dari Mbak Is, nama lengkapnya Mardliyatun Faizun—Sekretaris Eksekutif Majelis Dikdasmen Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PD) Kabupaten Gresik.
Saat itu, saya, bersama Mbak Is dan Pak Pressa—sapaan Pressa Surya Perdana ST MT, Anggota Majelis Lingkungan Hidup PDM Gresik—baru saja menginjakkan kaki di SMA Muhammadiyah 5 Dukun, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, Selasa (27/9/2022).
“Setelah ini kita berkunjung ke sekolah yang …, nanti lihat sendirilah!” bunyi bisikan Mbak Is. Kepada dia saya memang meminta jadwal menjadi juri Lomba Lingkungan Sekolah Muhammadiyah Sehat (LLSMS) di sekolah yang belum saya datangai pada LLSMS tahun 2017.
Maklum, di Gresik ada 79 sekolah dan madrasah Muhammadiyah. Mulai SD/MI hingga SMA/MA/SMK, yang terbentang dari selatan Gresik seperti Wringinanom yang berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto hingga di Pulau Bawean.
Jadi belum semua bisa saya kunjungi. Dan Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM) Mentaras, di Desa Mentaras, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, ini termasuk yang belum saya silaturahmihi.
Sebagai Anggota Majelis Dikdasmen PDM Gresik, sebenarnya saya sudah pernah mendengar tentang sekolah itu. Salah satu infonya, muridnya sedikit. Tapi bisikan Mbak Is itu bikin saya penasaran. Bagaimana kondisi yang sesungguhnya di MIM Mentaras.
Maka usai melakukan silaturahmi dan penjurian di SMA Muhammadiyah 5 Dukun, kami bergegas menuju Mentaras, sebuah desa di ujung barat Kecamatan Dukun yang mendekati Kabupaten Lamongan.
Begitu tiba di MIM Mentaras, kami disambut oleh tim lengkap yang langsung dipimpin oleh Ketua Majelis Dikdasmen Pimpinan Ranting Muhammadiyah Mentaras Supardi SPd. Kepala MIM Mentaras Sukarni SPdI bersama 13 guru ikut mendampingi kami.
Wow Terkejut
Saya terkejut sambil berucap wow. Ternyata bayangan buruk tentang madrasah ini, yang persepsinya terbangun oleh bisikan Mbak Is, tidak terbukti. Kami diterima di ruang tamu yang terasa nyaman. Sekelilingnya adalah rak kaca yang berisi berbagai piala dan arsip sekolah yang tertata rapi.
“Kami berharap Bapak dan Ibu ke sini bukan sebagai asesor tapi motivator,” Supardi memberi prolog. Dari kalimat itu saya mulai menangkap ada rasa minder yang terbesit di madrasah ini.
“Memang Pak, selain sebagai juri LLSMS, sesungguhnya tujuan terpenting kami adalah bersilaturahmi. Di situ kita akan saling berbagi pengalaman,” kata saya.
“Oh kalau begitu kami sangat senang,” ujarnya. Dia pun menceritakan kondisi sekolahnya. Ternyata yang menjadi keprihatinan selama ini adalah jumlah siswa. Bahkan pernah terjadi suatu kondisi seperti digambarkan oleh pepatah, ‘Hidup segan, mati pun tak mau.’
“Tapi kemudian kami sadar, bahwa madrasah ini tidak boleh hilang,” katanya. Maka dia pun mengajak para guru untuk bersemangat berjuang mempertahankan madrasah ini.
Salah satu filosofi yang dikembangkan untuk memperjuangkan keberadaan MIM Mentaras adalah, “Kami tidak membawa pulang sesuatu dari sekolah, tapi kami membawa sesuatu dari rumah ke sekolah.”
Dengan kalimat itu Pak Supardi ingin menggambarkan bagaimana perjuangan kepala sekolah dan para guru—termasuk paguyuban wali murid—untuk mempertahankan madrasah yang saat ini memiliki total murid 42 ini (berurutan dari kelas satu: 7, 11, 7, 5, 4, dan 8).
Keikhlasan, rasa memiliki, dan pengorbanan mereka adalah kuncinya. Salah satu buktinya, hari itu semuanya kompak menerima, menemani berkeliling, dan berdialog, sampai pukul 16.00 saat kami baru pamit pulang.
Diskusi Intim Cari Solusi
Secara fisik madrasah ini tidak kalah bagus dengan sekolah lain yang kami kunjungi sebelumnya. Bersih, tertata rapi, dan tampak beberapa tanaman di halaman sekolah. Hanya ruang-ruang kelasnya belum ada langit-langitnya. Dan tangga ke lantai dua yang terlalu menanjak.
Yang menjadi keprihatian dalam bisikan Mbak is itu ternyata minimnya jumlah murid. Karena itu topik tersebut menjadi salah satu perbincangan kami setelah makan siang dengan aneka menu bikinan Paguyuban Wali Murid MIM Memtaras. Ada lodeh ikan manyung, asem ikan kuthuk, kare ayam kampung, asap bandeng, dan menu pendamping seperti peyek, gimbal udang, dan lainnya.
Menurut Pak Supardi, itulah salah satu bentuk ‘membawa sesuatu dari rumah ke sekolah’, yakni perjuangan warga madrasah beramal demi madrasah. “Jika ada tamu, ibu-ibu paguyuban yang menyiapkan hidangan,” katanya.
Makan siang di lantai dua yang merangkap aula dan ruang kelas itu berlangsung gayeng. Masakan khas daerah pantura itu kami nikmati dengan lahap. Sambil mengobrol kami menemukan satu kenyataan, ternyata ada dua kelas yang melakukan proses belajar mengajar tanpa bangku-kursi.
“Mereka memakai dampar (meja pendek) seperti mengaji di TPA. Karena itu kami mohon jika ada yang membantu mebeler, kami siap menerimanya. Tak harus baru, tapi layak pakai,” ujar Pak Supardi.
“Iya Pak, nanti kami sampaikan ke Lazismu Gresik,” kata Mbak Is.
“Atau ada sekolah lain yang mau menyumbangkan meja kursinya. Mbak Is semoga bisa menghubungkan dengan sekolah itu,” saya menimpali.
Usai makan, tanpa Pak Supardi yang pamit karena ada acara lain—kami masuk ke salah satu ruang kelas yang cukup bersih dan ‘berwarna’ dengan berbagai hiasan siswa dan pojok baca.
Yang membuat saya tertarik, ada delapan meja siswa yang membentuk huruf L menghadap meja guru. Meja-meja itu ditata berdekatan.
“Ayo kita ngobrol di sini,” ajak saya sambil mengatakan, betapa intimnya saat siswa belajar sama gurunya dengan tata letak seperti ini.
Saya menyampaikan salah satu keuntungan kelas dengan jumlah siswa minim adalah intensifnya proses belajar mengajar. “Ini yang perlu kita syukuri,” kata saya.
“Hikmah di balik siswa sedikit ya Pak,” kata Bu Ani, sapaan akrab Kepala MIM Mentaras.
“Ya tapi kita juga harus bersyukur jika nanti muridnya banyak. Berarti kita punya tantangan dan amanah mendidik secara intensif dengan banyak siswa,” kata saya.
Maka kami pun berdiskusi bagaimana—dalam jangka pendek dan panjang—madrasah ini mendapatkan murid yang lebih banyak sehingga tetap hidup dan bahkan berkembang (untuk jangka pendek madrasaha harus rajin silaturahmi door to door ke calon siswa atau TK).
Sebagai warga minoritas, salah satu kendala sekolah atau madrasah Muhammadiyah, adalah minimnya jumlah anak. Sudah sedikit jumlah warganya, sedikit pula anaknya. “Program KB (keluarga berencana)-nya berhasil ya Bu,” kata saya.
Menurut Bu Ani, dari siswanya kelas I yang berjumlah tujuh itu, empat disumbang dari TK Aisyiyah Mentaras. Tiga lainnya dari TK umum. “Tahun depan TK Aisyiyah Cuma meluluskan dua siswa,” katanya.
Maka kami menginventarisasi apa saja yang menjadi keunggulan MIM Mentaras. Ada dua yang mengemuka, yakni tahfidh dan TIK (teknologi, infomasi, dan komunikasi). Kami pun berharap kebersihan, keasrian, kerapian, dan kenyamanan madrasah menjadi keunggulan lainnya.
Guru TIK Anita Dewi SPd menyampaikan, siswa MIM Mentaras yang melanjutkan ke Pondok Pesantren Karangasem Paciran Lamongan dikenal dengan keunggulan TIK-nya.
Dia menjelaskan, TIK yang diajarkan di madrasah ini adalah Microsoft Word, Excel, dan Power Point. Mendapat penjelasan itu Pak Pressa mengusulkan agar bisa tambah dengan menggambar atau desain grafis dengan komputer.
“Bagaimana kalau juga ditingkatkan dengan pelajaran coding,” kata saya seraya mencoleh Mbak Is agar bisa menghubungkan untuk pembinaan soal itu ke sekolah yang sudah menjalankannya, misalnya SD Muhammadiyah Manyar, Gresik.
Menghidupkan Tombol On
Keunggulan seperti itu penting karena kalau hanya mengandalkan siswa dari keluarga Muhammadiyah jumlahnya sedikit. “Jadi sekolah kita harus menembus sekat-sekat fanatisme ideologis,” kata saya.
Seperti di kota, sekat ideologis itu sudah berkurang. “Apa murid sekolah Muhammadiyah di kota yang jumlahnya ratusan itu semua anak orang Muhammadiyah,” tanya saya retoris.
Tentu tidak. Sebagian adalah anak-anak warga ormas lain yang mencari sekolah Muhammadiyah karena keunggulannya. Dan sekat ideologis itu mulai mencair di kalangan keluarga muda. “Saya optimis ke depan di desa pun akan cair fanatisme itu. Karena itu kita harus menyiapkan sekolah yang benar-benar dibutuhkan mereka,” pesan saya.
Kami juga mengusulkan agar program hafalan Quran juz 30 ditingkatkan dengan juz 29. “Dan yang tak kalah penting siarkan kegiatan itu kepada masyarakat. Bikin munaqasah (ujian) terbuka,” saran saya. Ujian terbuka—misalnya dengan uji petik atau sambung ayat—yang dihadiri masyarakat umum akan membuat mereka tertarik dan akan getok tular.
Selain getok tular, kami juga menyarankan MIM Mentaras memanfatakan internet dan media sosial seperti Instagram, Facebook, YouTube, bahkan TikTok, untuk menyiarkan kegiatan-kegiatannya.
Selain untuk dokumentasi kegiatan atau prestasi berupa berita atau foto akan menjadi bahan referensi masyarakat untuk mencari sekolah. Saya pun menyanyangkan beberapa prestasi MIM Mentaras tak ditulis menjadi berita di PWMU.CO yang saya pimpin.
“Kami minder Pak dengan sekolah-sekolah besar,” alasan Bu Ani.
Padahal beberapa prestasi tingkat nasional dan kabupaten telah diraih oleh madrasah ini. Misalnya tahun 2017 siswa MIM Mentaras ada yang menjadi semifinalis Kompetisi Matematikan Nalaria Realistik (KMNR)—kini Kompetisi Matematika Suprarasional (KMS), yang diadakan Klinik MIPA (KPM) Bogor.
Bahkan pada ajang Festival Faqih Usman gelaran Mejelis Dikdasmen PDM Gresik yang bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Gresik tahun 2022, guru MIM Mentaras, Imroatul Majidah SPd, berhasil meraih Juara II Lomba Video Pembelajaran untuk Guru MI/SD.
“Jadi mengapa harus minder? Apa masalahnya?” tanya saya.
Saya mengatakan: bangunan sekolah sudah bagus. Bahkan laboratorium komputernya sangat nyaman dan bersih. Dindingnya berlapis wallpaper dengan ornamen bulatan-bulatan seperti gelembung sabun berwarna-warni. Komputernya nyala semua. Ruangnya sejuk dengan pendingin air conditioner. Dan itu salah satu ruang kebanggaan MIM Mentaras.
Prestasinya sudah ada, program unggulan juga telah dijalankan. “Jadi, Ibu tinggal menyalakan ‘tombol on’, bahwa kami bisa!” kata saya pada Bu Ani, yang masih didampingi secara lengkap oleh para guru. Sebagian duduk di kursi siswa seperti kami, sebagian lagi duduk lesehan di sudut baca yang beralas matras.
Mąką seperti pepatah, sambil menyelam minum air, kami pun berbagi motivasi sembari menjuri. Cukup lama kami ngobrol di situ. Dan alhamdulillah, itu tidak sia-sia karena kepala sekolah dan para guru akhirnya berjanji mau menutup tombol off dań menyalakan ‘tombol on’ dalam dirinya. (*)
Penulis Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO.