PWMU.CO – Direktur Eksekutif Maarif Institute Abd Rohim Ghazali mengatakan, tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu (1/10/2022) yang menewaskan 127 orang merupakan tragedi kemanusiaan.
Bukan hanya terburuk dalam sejarah sepakbola Indonesia, bahkan yang terburuk kedua di dunia setelah tragedi Estadio Nacional (National Stadium), di Lima, Peru, 24 Mei 1964 yang menewaskan 328 orang.
“Tragedi Kanjuruhan jauh lebih buruk dari tragedi Hillsborough, Sheffield, Inggris, 15 April 1989 yang menewaskan 96 orang dan disebut-sebut sebagai sejarah terkelam dalam sejarah sepakbola Eropa,” ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima PWMU.CO Ahad (2/10/2022) pagi.
Menurutnya, tidak ada asap kalau tidak ada api. Terjadinya kerusuhan di lapangan menjadi bukti masih adanya masalah yang serius dalam pesepakbolaan nasional.
“Setelah tragedi Kanjuruhan, persepakbolaan nasional harus introspeksi, tidak saling menyalahkan. Kementerian Pemuda dan Olahraga, PSSI, klub-klub sepakbola, penyelenggara kompetisi, suporter, dan seluruh pemangku kepentingan sepakbola Indonesia harus mengevaluasi diri, termasuk pihak aparat keamanan,” tegasnya.
Dia mengatakan, agar kerusuhan di lapangan sepakbola tidak terjadi lagi, diperlukan langkah-langkah yang tepat, misalnya dengan pemberian sanksi berat terhadap klub, suporter, dan penyelenggara kompetisi yang terlibat dalam kerusuhan.
“Sanksi berat diperlukan untuk membuat efek jera bagi semua pihak yang terlibat, dan bisa menjadi pelajaran penting bagi stakeholder sepakbola yang lain,” ujarnya.
Dia menambahkan, sebelum kompetisi dan pertandingan dilakukan, perlu langkah-langkah antisipatif yang komprehensif agar lapangan sepakbola tetap menjadi hiburan, tidak berubah menjadi kuburan. Kemenangan dan kekalahan adalah hal yang biasa, jangan ubah sukacita menjadi ajang dukacita.
“Duka cita mendalam kami untuk dunia sepakbola Indonesia. Indonesia berduka, sepakbola Indonesia terluka,” ungkapnya prihatin. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni