PWMU.CO – Kasus pembubaran paksa pengajian dengan pencemarah DR Khalid Basalamah di Sidoarjo oleh pihak-pihak tertentu menjadi perbincangan tingkat nasional. Banyak komentar, terutama yang menyayangkan tindakan intoleransi secara terang-benderang di muka publik ini.
Berikut PWMU.CO menurunkan tulisan Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) Jakarta, DR Ma’mun Murod Al-Barbasy MA. Tulisan ini mengajak para pembaca untuk berinstrospeksi, apakah benar ceramah yang menjelek-jelekkan kelompok lain itu hanya monopoli kelompok Khalid Basalamah dan kawan-kawannya? Atau justru juga dilakukan kelompok lain? Selamat membaca! (Redaksi)
***
Saya sudah nonton beberapa video ceramah Khalid Basalamah. Bagi saya secara substantif biasa-biasa saja, tak ada yang aneh. Hanya penyampaiannya mungkin yang agak rigid, kaku. Bagi yang tak biasa mendengarkan mungkin “agak aneh”. Tapi bagi yang kajiannya tekstual, ya tentu menganggap biasa-biasa saja.
(Baca juga: Tak Hanya Khalid Basalamah di Sidoarjo, Pengajian Firanda Andirja di Malang juga Dibatalkan)
Kalau ceramah Khalid dikaitkan dan dikatakan menjelek-jelekkan kelompok lain, maka kalaulah itu penilaiannya, sebenarnya ceramah-ceramah yang menjelek-jelekkan bukan an sich milik kelompok Khalid.
Kan sudah jamak ceramah-ceramah agama di Indonesia kerap saling menjelek-jelekkan. Anehnya yang jadi bahan untuk menjelek-jelekkan itu hal-hal yang furu’ dan khilafiyah, bukan pada hal pokok dalam ajaran Islam terkait persoalan aqidah.
(Baca juga: Dipelintir: Berita PWMU.CO tentang Pembatalan Pengajian Firanda Andirja di Malang)
Coba tengok, dalam soal maulid saja misalnya. Kelompok yang tak suka maulid kalau menjelek-jelekkan mereka yang “demen” maulid itu luar biasa, vonis sumpah serapah bid’ah memenuhi ceramah-ceramah mereka.
Sebaliknya, kelompok yang “demen” banget maulid juga kalau menjelek-jelekkan mereka yang anti maulid nabi itu luar biasa. Vonis wahabi, kelompok ekstrim, yang baca kitabnya hanya tarjamah, dan sebagainya, juga menghiasi ceramah-ceramah mubaligh yang pro maulid. Peringatan maulid yg semestinya digunakan untuk mengurai tentang shirah nabawiyah berubah jadi ajang caci maki terhadap mereka yang anti maulid.
(Baca juga: Punya Hak Konstitusional Apa Tolak FPI dan Larang Habib Rizieq….)
Inilah fenomena keberagamaan kita yang sangat akut. Nyaris tak ada perubahan positif yang signifikan untuk terjadinya titik temu di antara kelompok keagamaan dalam tubuh umat Islam. Bahkan kecenderungan akhir-akhir ini mengalami eskalasi. Jadi bukan tambah surut, tapi tambah meningkat.
Tampak sekali tak ada upaya untuk mencoba mencari “jalan tengah” atau setidaknya berusaha “memaklumi” pada hal-hal yang bersifat furu’ dan khilafiyah. Masing-masing kelompok keagamaan berusaha mempertahankan dan kekeh dengan pandangan kelompoknya masing-masing.
(Baca juga: Ketika MU dan NU Tidak Saling “Bertanding”… Fenomena Jepara)
Tampak semangat jahiliyah Arab pra Islam yang bangga dengan ashabiyah begitu menonjol. Tak terlihat upaya untuk bisa menerima kebenaran dari kelompok manapun yang dinilai tak sejalan.
Kadang dengan hati sedih, saya bertanya, apa dulu Islam yang diajarkan oleh Rasulullah memang mengajarkan demikian? Apakah para ulama madzhab juga mengajarkan untuk menonjolkan pandangan keagamaannya masing-masing dan tanpa berusaha untuk menghargai pandangan keagamaan madzhab lain.
Saya yakin kalau pertanyaan ini diajukan pada masing-masing kelompok keagamaaan di Indonesia, pasti jawabnya “tidak”. Kalau memang jawabnya tidak, kenapa untuk mencari titik temu di antara kelompok Islam serasa sulit sekali. Bak minyak dan air atau tom dan jery.
(Baca juga: Ketika Dua Ormas Besar Berbagi Tugas: Muhammadiyah Urus Milad dan NU Urus Haul)
Hanya dengan mencoba untuk saling menghargai di antara pandangan keagamaan yang ada dan tentu dibarengi dengan kerendahan hati juga untuk berusaha menerima kebenaran argumentasi keagamaan kelompok keagamaaan lain yang bisa menjadi solusi untuk terjadinya titik temu di antara kelompok keagamaan di Indonesia.
Dan untuk menciptakan suasana yang saling menghargai ini, sebenarnya umat Islam cukup mempunyai modal sejarah dan kisah-kisah teladan dari para pendahulunya. Misalnya bagaimana dulu proses pembukuan al-Qur’an dimulai. Saat Sahabat Umar bin Khattab mengusulkan agar dilakukan pembukuan al-Qur’an, tapi Khalifah Abu Bakar menentangnya dengan alasan sebagai perbuatan bid’ah.
Namun setelah Umar menyampaikan argumentasinya, Abu Bakar pun menyetujui gagasan Umar. Seperti diketahui, pembukuan al-Qur’an baru rampung di era Khalifah Usman bin Affan. Dari kasus ini ada pembelajaran luar biasa, yaitu jangan gampang menuduh bid’ah, juga pentingnya mau mendengar dan memahami argumentasi keagamaan kelompok lain.
(Baca juga: Din Syamsuddin Pernah Jadi Kapten Kesebelasan MU Lawan NU)
Beragam model bacaan al-Qur’an juga bisa jadi pembelajaran. Ada tujuh model bacaan al-Qur’an yang masyhur (sering disebut qiraah sab’ah), tapi jaramg sekali terjadi keributan karena beda-beda bacaannya.
Pandangan keagamaan di antara imam madzhab juga pembelajaran yang luar biasa. Di antara empat madzhab utama: Maliki, Hanafi, Syafii n Hambali misalnya, begitu saling menghargai. Anehnya keteladanan-keteladanan ini nyaris tersimpan rapi di lemari es yang membekukan hati kelompok-kelompok keagamaan tersebut.
Keteladanan para imam madzhab misalnya nyaris tak berbekas di antara kelompok keagamaan. Harmoni yang terjadi di antara imam madzhab tak tampak karena didominasi mentalitas jahiliyah yang selalu ingin bercerai berai. Sehingga dakam penyampaiannya pun didorong oleh semangat untuk berpecah belah.
(Baca juga: Ini Perbedaan Gaya Sarungan Warga Nahdliyin dan Muhammadiyah)
Mau contoh bagaimana cara penyampaian pandanngan imam madzhab yang dapat mengarah pada harmoni tapi juga bisa mengarah pada keterceraiberaian? Ambil contoh soal bacaan basmalah pada surat al-fatihah.
Kalau penyampaiannya untuk menciptakan harmoni, maka kira-kira kiai atau ustadz akan disampaikan begini: “jamaah sekalian, selanjutnya kita akan bahas soal pandangan imam madzhab terkait bacaan basmalah pada surat fatihah. Imam Malik menyatakan bahwa basmalah bukan bagian dari surat Al-Fatihah. Sehingga tidak boleh dibaca dalam salat baik salat wajib maupun salat sunnah. Dan juga baik dalam shalat jahriyah maupun sirriyah. Hanafi menganggap tidak wajib. Fatihah bukan bagian ayat. Membacanya di awal fatihah hanya sunah saja. Syafii berpandangam bahwa basmalah bagian dari ayat, karena membaca wajib membacanya dengam jahr. Hambali berpandangan basmalah bagian dari fatihah, tapi dibacanya dengan sirri. Demikianlah pendangam imam madzhab terkait bacaan basmalah.” Penyampaiannya hanya begitu saja, paling ditambah penjelasan masing-masing imam madzhab.
Tapi kalau kiai atau ustadz bermental pemecah belah, maka pandangan imam madzhan ini akan “diolah”, akan “digoreng” sesuai selera pandangan keagamaannya. Kiai atau ustadz model begini ini yang bikin rusak umat. Umat jadi terkotak-kotak begitu rupa. Sekian.