Haedar Nashir: Kader Muhammadiyah Perpaduan Abdullah dan Khalifah; Tulisan Kontributor PWMU.CO Sayyidah Nuriyah.
PWMU.CO – Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr KH Haedar Nashir MSi menghadiri Seminar Nasional dan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Ke-5 Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Hotel Rayz Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur.
Prof Haedar—sapaannya—menyampaikan Pidato Iftitah bertajuk Rancang Bangun Kader untuk Kemaslahatan Bangsa dan Negara di hari pertama, Selasa (18/10/2022). Prof Haedar menegaskan, kunci keberlangsungan Muhammadiyah, Islam, dan bangsa adalah pengaderan.
“Muhammadiyah menggunakan istilah anak panah yang siap dilepaskan,” ungkap pria kelahiran Bandung itu.
Dia kemudian menjelaskan, manusia punya dua dimensi. “Dimensi pertama adalah abdullah, berarti hamba yang shalih dan alim. Sementara dimensi kedua manusia adalah khalifah. Manusia adalah khalifah yang mampu menyebut nama-nama. Khalifah bersifat dinamis, progresif, dan memiliki fungsi memakmurkan bumi. Sementara Abdullah adalah manusia yang bersih,” terangnya.
Menurutnya, inilah kunci risalah Allah. “Dunia adalah mazroatul akhirah. Manusia harus bergumul dengan kehidupan. Manusia sebagai khalifah berbeda dengan malaikat yang tidak bisa salah,” imbuhnya.
Ubah Mindset tentang Kader
Adapun ketika ingin merekonstruksi kader Muhammadiyah, maka ke depan menurutnya perlu mengubah mindset tentang kader. Prof Haedar menegaskan, Jika konstruksinya bersifat teologis, maka kadernya harus menampilkan dua sosok, yaitu abdullah dan khalifah.
Dia menilai, sebagian orang Muhammadiyah ada yang punya pandangan terlalu normatif bahkan dogmatis. “Bahwa orang baik itu hanya orang baik saja. Orang yang shalih untuk dirinya. Tetapi ketika realitas kehidupan menuntut kita untuk berbuat, dia tidak mau,” ungkapnya.
Profiling kader menurutnya perlu menampilkan cerminan perpaduan abdullah dan khalifah dalam berbagai macam identifikasi yang bersifat duniawi. “Di dunia pendidikan, muncul konsep pendidikan rabbaniah, tapi ternyata hanya memunculkan aspek rohaniah saja,” ujar alumnus UGM itu.
Prof Haedar lantas mengingatkan, perubahan alam pikiran keagamaan juga mengiringi mubaligh dan seluruh pergerakan Muhammadiyah. Ia menjelaskan, “Muhammadiyah memiliki berbagai pemikiran yang luar biasa. Tidak cukup dengan memahami al-Quran dan hadits, tapi kehidupan juga perlu dibaca dengan bayani, burhani, dan irfani. Dunia politik, ekonomi, dan lain-lain perlu dibaca secara lebih mendalam. Konstruksi keduniaan perlu disatukan dengan konstruksi kader!”
Kepada para peserta, Prof Haedar mengajak mereka punya pandangan positif kepada kader. “Kader itu sudah memiliki proses pendidikan. Di IPM, IMM, Pemuda, NA, sudah ada pendidikan-pendidikannya. Dalam usia yang relatif muda, dia sudah memperoleh banyak hal. Maka aneh jika pimpinan tidak percaya dengan kader,” tuturnya.
Tapi ini bukan berarti Prof Haedar tidak menyadari ada satu atau dua kader yang bermasalah. Hanya dia meluruskan, mestinya konstruksi tentang kader harus positif sehingga harus percaya pada kader.
Sambungan di halaman 2: Transformasi Kader