Proses Menulis Cerpen
Dewi mengatakan: “Menulis cerita itu bebas. Kita dibiarkan berimajinasi. Ada persepsi yang dimasukkan. Cerita pendek (cerpen) itu menjadikan sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Karangan yang penuh intuisi berpikir tanpa kesadaran. Terjadi secara cepat. Mendadak yang bersumber dari emosi dan pengalaman yang penuh perasaan. Otak bisa mengambil simpul-simpul yang akan dirangkai.”
Menurutnya, konflik dalam cerita sangat dibutuhkan. Benturan hasrat karakter tokohnya. Manusia dengan manusia. Manusia dengan masyarakat. Manusia dengan alam. Ide satu dengan yang lain. Bahkan manusia dengan dirinya sendiri.
Dewi memaparkan, ada keunikan yang bisa diambil dari pengalaman individual yang didiskripsikan melalui pancaindra—penglihatan, pendengaran, pengecapan, perabahan, dan penciuman—dengan logika bahasa, imajinasi, dan ejaan yang benar.
“Dan yang paling terpenting dalam menulis cerita, tulislah pembukaan yang memikat, yang nantinya bisa memikat pembaca,” tambahnya sambil terseyum.
Dia menegaskan, guru kelompok bermain (KB) dan TK harus bisa menulis, karena persepsi anak-anak didik selalu berkembang. Saat anak diminta untuk menggambar misalnya, anak-anak akan menggambar tambak karena ternyata di depan rumahnya ada tambak. Anak akan menggambar jalan raya dan pemandangan karena itu yang dia lihat.
“Tidak hanya menggambar gunung dan matahari seperti dulu,” ujarnya sambil tertawa dan disambut gerrr peserta.
“Ayo menulis Bu. Karena saat kita menulis cerita ‘musuh’ utamanya adalah kebenaran tunggal, tidak ada yang salah. Dalam cerita, kita bermain dengan berbagai kemungkinan, kejutan, atau ketakterdugaan. Pastinya banyak ide cerita yang ditemukan saat mengajar, ide dari peserta didik dengan berbagai macam karakter,” terang dia.
“Silakan ibu-ibu dari masing-masing lembaga menulis cerita dan dikumpulkan untuk dijadikan sebuah buku. Namanya juga workshop. Jadi harus ada praktik dan hasilnya,” Dewi menutup materi. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni