Opini Oleh Prof Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2010-2015 dan 2015-2020
PWMU.CO – Akhir-akhir ini banyak orang berbicara tentang Wahhabi. Ada yang suka dan ada yang tidak suka. Itu hal yang biasa. Mereka yang tidak suka menyatakan bahwa Wahhabisme (pemikiran Wahhabi) dilekatkan dengan terorisme atau ide radikal lainnya.
Wahhabi diambil dari nama Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (MBAW). Sebenarnya nama Wahhabi itu diberikan oleh mereka yang tidak suka. Pengikutnya sendiri menyebut diri mereka dengan muwahhidun (orang-orang yang bertauhid).
(Baca juga: Ahlul Quran was Sunnah dan Perebutan Merek Aswaja Itu)
Muhammad bin Abd al-Wahhab (MBAW) lahir di Uyaynah pada 1703. Ia belajar agama pada usia muda, khususnya dengan ayahnya. MBAW belajar dengan ulama di Basrah (Iraq selatan), dan melakukan perjalanan ke Makkah dan Madinah untuk melaksanakan ibadah haji dan belajar dengan ulama di sana sebelum kembali ke Uyaynah pada 1740. Ia merumuskan ide-ide reformisnya ketika tinggal di Basrah itu dan menjadi terkenal karena debatnya dengan ulama di sana.
MBAW adalah pengikut mazhab Hanbali tetapi menentang otoritas mutlak mazhab dan menentang taqlid. Setelah kembali ke Uyaynah, MBAW mulai mendapat pengikut, termasuk penguasa kota itu, Utsman ibn Mu’ammar.
(Baca juga: Dipelintir: Berita PWMU.CO tentang Pembatalan Pengajian Firanda Andirja di Malang)
Dengan dukungan Ibn Mu’ammar, MBAW mulai mendakwahkan ide-ide pemurniannya. Ia mengajak Ibn Mu’ammar untuk meratakan makam Zayd ibn al-Khattab, sahabat Nabi Muhammad yang makamnya dikeramatkan oleh penduduk lokal.
Gerakan ini menggelisahkan Sulayman bin Muhammad bin Ghurayr, penguasa daerah al-Hasa dan Qatif, yang mempunyai pengaruh besar di Najd. Ibn Ghurayr memerintahkan Ibn Mu’ammar, pengumpul pajak tanah di al-Hasa, untuk membunuh MBAW. Ibn Mu’ammar menolak perintah itu, tetapi memaksa MBAW meninggalkan daerah tersebut.
(Baca juga: Ada yang Ingin Memutarbalikkan Fakta terhadap Muhammadiyah)
Setelah diusir dari Uyaynah, Ibn ‘Abd al-Wahhab diundang untuk menetap di sekitar Dir’iyyah oleh penguasanya, Muhammad ibn Sa’ud, pada 1740. Dua orang saudara dari Ibn Sa’ud sesungguhnya adalah murid MBAW di Uyaynah, dan dikatakan telah memainkan perannya dalam meyakinkan Ibn Saud untuk menerima kedatangannya.
Setibanya di Dir’yyah, perjanjian telah dibuat antara Ibn Sa’ud dan MBAW; perjanjian itu menyatakan bahwa Ibn Sa’ud wajib melaksanakan ajaran MBAW dan memberlakukannya di kota-kota sekitar.
(Baca juga: Kebohongan Diulang 1.000 kali Terdengar seperti Kebenaran?)
MBAW memandang gerakannya sebagai sebuah usaha untuk memurnikan Islam dengan jalan mengembalikan umat Islam ke sumber aslinya, dan membersihkannya dari bid’ah dan syirik. Upacara-upcara tertentu, seperti perayaan maulid Nabi, dianggap bid’ah. Ia dipandang oleh pengikutnya sebagai mujaddid, dan sebaliknya oleh penentangnya sebagai penganjur bid’ah. Bagaimanapun pengaruh MBAW sangat besar.
Bila diselidiki secara cermat, sesungguhnya tidak ada pemikiran MBAW itu yang mengesahkan kekerasan atau ancaman terhadap jiwa manusia. MBAW dalam prakteknya, misalnya, meratakan makam dengan tanah agar tidak jadi sesembahan. Meratakan kuburan itu sesungguhnya hal yang tidak terlalu besar, apalagi jika diukur dengan ukuran waktu itu.
(Baca juga: Ini Jawaban, Mengapa Jumlah Kyai di Muhammadiyah Semakin Menurun)
Jika ada pengikut ajaran Wahhabi yang melakukan tindak kekerasan, itu hanyalah sebagian. Banyak pengikut Wahhabi yang dalam berdakwah tetap santun dan damai. Itu seperti halnya ada pengkut Islam atau Kristen yang melakukan tindak kekerasan, maka itu tidak berarti mewakili ajaran agamanya.
Kesepakatan antara MBAW dan Ibn Sa’ud telah dibuat untuk saling mendukung misi masing-masing. Itu bisa dipandang sebagai hal yang bisa difahami. Tetapi itupun harus diperlakukan dengan kritis. Kita boleh setuju atau tidak setuju.
(Baca juga: Akankah Muhammadiyah Jadi Sisifus? dan Kenapa Umat Islam Indonesia Tak Semuanya Muhammadiyah?)
Bahkan kita pun boleh setuju atau tidak setuju dengan sebagian pemikiran MBAW. Tidak ada yang sakral dalam pemikiran atau pemahaman seseorang. Kita bisa menentukan jalan pikiran sendiri. Yang penting tidak ada kedlaliman terhadap orang lain.
Jika disebut bahwa Muhammadiyah mendapatkan inspirasi dari Wahhabi, itu memang benar karena Muhammadiyah berdakwah untuk purifikasi akidah dan ibadah. Pemikir-pemikir Muhammadiyah dulu dan sekarang juga akrab dengan kitab-kitab tulisan MBAW.
(Baca juga: Pembubaran Pengajian Khalid Basalamah: Benarkah Ceramah yang Mengolok-olok Monopoli Kelompok Ini?)
Tetapi, tidak semua pikiran Wahhabi diambil mentah-mentah. Muhammadiyah juga mendapatkan inspirasi dari Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridla, dan juga modernisme Barat. Pemikiran-pemikiran itu diolah dan diuji dengan parameter al-Qur’an dan Sunnah, dan kemudian menjadi gerakan Muhammadiyah.
Muhammadiyah adalah dirinya sendiri, menentukan jalan pikirannya sendiri, dan tidak bisa dipasung oleh pemikiran atau gerakan lain. (*)