Selanjutnya kami kembali ke pintu masuk awal dan membuka camilan berupa pisang, jeruk, pukis, dan pastel. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh kedatangan biawak yang cukup besar di dekat tempat duduk kami.
“Wah, besar sekali biawaknya Pak. Saya tidak pernah lihat biawak sebesar itu di alam terbuka. Mengingatkan pada komodo di Pulau Komodo,” tanya saya kagum. Perbedaan komodo dań biawak bisa baca di sini.
Pak Salis menjelaskan itu masih dibilang lebih kecil dibandingkan sebelumnya. Dia bilang ada yang lebih besar dibandingkan itu. Dan biasanya yang datang lebih dari dua.
“Lihat ada dua lagi di sana,” ujar Mbak Is, sapaan akrab Mardliyatul Faizun, yang tampak takut. Kedua ‘komodo’ itu lewat sambil sesekali melihat ke arah kami.
Pak Salis menjelaskan biasanya banyak biawak yang datang saat ada yang memasak bersama atau bakar-bakar ikan. “Kadang-kadang mereka cukup dekat dengan pengunjung sehingga kita dapat langsung memberikan ikan dengan tangan kita,” katanya.
Sayang kami tidak membawa ikan karena memang tidak ada rencana untuk masak-masak di sana.
Kepada Pak Sudarsono dan Pak Salis, saya menyarankan agar wisata ini dikelola secara profesional. Sayang bila info terkait ‘komodo’ Bawean ini saja tidak pernah terdengar.
Harus ada tinjauan dari ahli zoologi apakah biawak raksasa itu aman bagi manusia? Apakah biawak tersebut bila ‘dipancing’ dengan makanan sehingga pengunjung dapat berpotret dan memberi makan dari jarak dekat? Bila aman, ini potensi yang boleh jadi bisa menyaingi komodo-nya Pulau Komodo.
Sayang, jalan ke sini hanya dapat dilalui oleh kendaraan roda dua. Untuk ke MSB harus melewati jalan setapak di antara persawahan. Untuk kendaraan roda dua saja, saat bersalipan agak kesulitan.
“Iya Pak, kami kesulitan dalam membeli pinggir-pinggir sawah karena pemilik tidak mau menjualnya,” ujar Pak Sudarsono. Dia menambahkan, dalam pengembangannya selama ini memang hanya dikelola oleh PRM Daun dan dibina oleh PT PJB UP Gresik.
Siapa yang menyangka, tempat yang saat kami datangi sepi tersebut, dapat menghasilkan pemasukan mencapai kurang lebih Rp 12 juta saat libur Lebaran. Pemasukan itu selanjutnya digunakan untuk operasional dan perawatan lingkungan mangrove. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni