PWMU.CO– Isu suksesi kepemimpinan menjelang tahun politik 2024 juga dibahas dalam Muktamar ke-48 Muhammadiyah yang akan digelar di Solo, 18-20 November 2022 mendatang.
Hal itu dijelaskan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, dalam acara Media Gathering di Kantor PP Muhammadiyah di Jakarta, Senin (7/11/2022).
Haedar Nashir hadir secara online dari Yogyakarta. Dia menuturkan, masalah tahun politik 2024 tergabung dalam sembilan isu-isu strategis tentang kebangsaan.
Menghadapi isu suksesi kepemimpinan, kata dia, Muhammadiyah memandang Pemilu 2024 merupakan kontestasi yang krusial. Haedar berharap pada pemilu nanti ada suasana baru yang membedakannya dengan tahun 2019, yang menyisakan ’pertikaian’ seakan tak berujung.
”Apa sih suasana baru itu? Pertama, kita tidak mengulangi lagi yang selama ini kita resahkan bersama, dan pembelahan politik,” ujarnya.
Menurut Haedar, cara agar kejadian serupa tidak terulang maka harus menghindari hal-hal yang membuatnya terbelah. Misalnya menghindarkan politisasi identitas agama, suku, ras dan golongan, bahkan ideologi tertentu. Hal-hal ini jika ditarik dalam urusan politik terlalu dalam akan menimbulkan pembelahan.
Cara selanjutnya, sambung dia, menghadirkan negara dengan segala kekuatan pranatanya. Namun tidak ikut terlibat dalam kontestasi.
”Ini penting agar kita tidak terlibat dalam subjektivikasi politik yang akhirnya ketika terjadi pembelahan menyebabkan negara tidak bisa menjadi kekuatan yang berwibawa,” ungkapnya.
Dia menegaskan, kewibawaan negara ini penting sebagai penengah atas terjadinya pembelahan yang menyebabkan ketidakseimbangan tubuh bangsa akibat polarisasi politik. Kewibawaan tersebut akan hilang jika negara ikut serta dalam kontestasi.
Mencegah pembelahan masyarakat seperti Pemilu 2019, menurutnya, kekuatan masyarakat seperti organisasi keagamaan, termasuk Muhammadiyah supaya menjaga jarak dari kontestasi itu. Muhammadiyah konsisten berada pada posisinya menjaga jarak.
”Terakhir tentu kita ingin lahirnya para elit siapapun yang diusung partai manapun, baik di partai politik, di kekuatan-kekuatan masyarakat yang menjadi penyangga dari kontestasi, baik dari relawan maupun calon eksekutif betul-betul menjadi negarawan,” tuturnya.
“Saat ini menciptakan ruang publik untuk kontestasi 2024 itu adalah ajang para negarawan untuk mengedepankan kepentingan bangsa dan negara, di atas kepentingan diri, kelompok, kroni, dinasti dan orientasi kekuasaan yang tak berkesudahan,” tegas Haedar.
Guru besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini mengingatkan pentingnya persatuan bangsa yang satu paket dengan Bhineka Tunggal Ika. Dialektika antara perbedaan dan persatuan ini tidak mudah, oleh karena itu memerlukan manajemen. (*)
Editor Sugeng Purwanto