Mengapa Darah Segar?
Bicara asal munculnya istilah ‘darah segar’, Prof Din mengakui itu sebenarnya sangat spontan. Mulanya dia berkaca pada kondisi dirinya yang semakin tidak bisa bergerak cepat karena usia.
Hal itu mengingatkannya pada banyak anggota PP Muhammadiyah–baik 13 atau tambahan–sudah beberapa kali menjabat sebagai anggota PP sehingga organisasi tidak lincah. “Akibatnya, kader muda tidak bisa masuk PP,” ungkapnya.
Prof Din pun menyimpan pemikiran dan keprihatinan terhadap dinamika luaran pada skala global. “Pegeseran geopolitik ditandai dengan the rise of China (kebangkitan Cina), berdampak ke Indonesia dan dunia Islam. Ini kenyataan yang tidak bisa dibendung. Dunia akan mengalami perubahan fundamental!” ungkapnya.
Atas dasar tantangan zaman pada skala global itu maupun tantangan lain pada skala lokal yang meningkat, menurut Prof Din, Muhammadiyah dituntut lebih responsif. “Selama ini sudah bagus, tapi perlu lebih bagus lagi,” ujarnya.
Syarat Darah Segar
Secara kongkret, Prof Din mengusulkan tiga hal. Pertama, jumlah anggota PP Muhammadiyah ditambah dari 13 menjadi 17 atau lebih.
Kedua, anggota PP lama cukup sepertiga yang dipertahankan. “Kalau 13 berarti 5 orang, kalau 19 berarti 7 orang. Yaitu mereka yang visioner, aktif, dan berkemajuan,” terangnya, lantas menegaskan, “Perlu berbasis kebutuhan, jangan otak-atik angka atau usia!”
Ketiga, di pucuk struktur, cukup ketua umum didampingi wakil ketua umum sebagai konduktur. “Di bawahnya perkuat kesekjenan yang dibantu para wakil sekjen yang menggerakkan pelaksanaan program-program umum persyarikatan dan sekaligus memberdayakan majelis/lembaga di bawahnya. Di samping itu perlu diperkuat biro-biro di bawah sekjen (tidak diletakkan dalam sekretariat),” tuturnya.
Menurut Prof Din, Muhammadiyah punya banyak kader muda atau setengah tua sebagai darah segar untuk mengisi pos-pos dalam struktur tadi. “Syarat-syaratnya, mereka memiliki integritas tinggi, intelektualitas memadai, kapabilitas mumpuni, dan availabilitas (keberadaan yang selalu hadir bekerja, serta menyediakan waktu untuk organisasi,” urainya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni/SN