Novid dan Lonjakan Kasus Covid-19

Jokowi impor Obat Covid-19, Ini Kata Ahli. Prof Dr Maksum Radji M Biomed Apt juga membedah obat Chloroquine yang telah diproduksi di dalam negeri.
Prof Maksum Radji. (Istimewa/PWMU.CO)

Novid dan Lonjakan Kasus Covid-19; Liputan Isrotul Sukma, kontributor PWMU.CO Bangkalan

PWMU.CO – Belakangnan ini kasus Covid-19 kembali mengalami lonjakan, termasuk di Indonesia. Lonjakan baru ini dipicu oleh merebaknya subvarian baru Omicron XBB di beberapa negara. Sejak kali pertama ditemukan pada Agustus 2022 lalu di India, subvarian baru Omicron ini disinyalir menjadi penyebab dari kenaikan kasus Covid-19 di beberapa negara.

Di Indonesia, kasus harian Covid-19 kembali mengalami peningkatan, sejak diumumkannya temuan subvarian XBB pada 21 Oktober 2022 lalu. Dilansir dari laman https://www.kemkes.go.id/, angka positivity rate untuk PCR test-only sebesar 28.36 persen dan positivity rate untuk all-test sebesar 10.30 persen. Positivity rate ini perlu mendapatkan perhatian serius karena jauh di atas ambang batas aman positivity rate yang ditetapkan oleh WHO, yaitu sebesar 5 persen.

Kasus pertama subvarian Omicron XBB di Indonesia terdeteksi pada seorang perempuan, berusia 29 tahun yang baru saja kembali dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saat ini kasus subvarian Omicron ini telah terdeteksi di beberapa daerah di Indonesia.

Lantas apakah yang dimaksud dengan Fenomena Novid. Berikut ini hasil wawancara secara daring PWMU.CO dengan Prof Maksum Radji, Guru Besar Purnabakti Fakultas Farmasi UI dan Guru Besar Prodi Farmasi Fikes Universitas Esa Unggul Jakarta, Senin (14/11/2022). Prof Maksum Radji juga dikenal sebagai Pembina Pondok Pesantren Babussalam Socah, Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. 

Apa yang Dimaksud dengan Novid?

Melansir laman https://covid19.go.id/id/peta-sebaran/ sepanjang pandemi Covid-19, Indonesia telah melaporkan sebanyak 6,556,627 kausus dan telah menyebabkan kematian sebanyak 159,068 orang hingga tanggal 13 November 2022 yang lalu. Fakta ini menunjukkan bahwa tidak semua orang terinfeksi Covid-19 dan tidak semua orang yang terinfeksi melakukan tes Covid-19 atau melaporkan hasil positifnya. 

Melansir laman https://www.antaranews.com/infografik tanggal 22 April yang lalu, berdasarkan hasil survei serologi yang dilakukan oleh Kemenkes RI dan Fakultas Kesehatan Masyarakta (FKM) Universitas Indoesia (UI), dinyatakan bahwa 99.2 persen masyarakat Indonesia yang sudah memiliki antibodi terhadap Covid-19. 

Yang menarik adalah bahwa di antara yang telah memiliki antibodi terhadap Covid-19 tersebut ada proporsi penduduk yang belum menerima vaksinasi. Hasil survei serologi tersebut menyebutkan 93.9 persen dari penduduk yang belum divaksin kadar antibodinya terhadap Covid-19 juga tinggi. Bagi beberapa orang yang mengaku tidak pernah menderita Covid-19, mungkin terkejut mengetahui bahwa mereka telah memiliki antibodi terhadap virus penyebab Covid-19. 

Inilah yang disebut dengan fenomena novid di mana seseorang yang telah terinfeksi SARS-CoV-2, menghasilkan antibodi terhadap virus tersebut, tetapi tidak mengalami atau menyadari gejala Covid-19 apa pun pada saat itu. Para novid ini umumnya tidak melakukan tes, dan tidak mengetahui status infeksinya, serta tidak menyadari bahwa mereka dapat menularkan virus kepada orang lain di sekitarnya.

Baca sambungan di halaman 2: Kaitan Novid dengan Sistem Kekebalan Tubuh?

Jokowi impor Obat Covid-19, Ini Kata Ahli. Prof Dr Maksum Radji M Biomed Apt juga membedah obat Chloroquine yang telah diproduksi di dalam negeri.
Prof Maksum Radji. Novid dan Lonjakan Kasus Covid-19 (Istimewa/PWMU.CO)

Kaitan Novid dengan Sistem Kekebalan Tubuh?

Sistem imun setiap orang berbeda-beda. Bagaimana sistem kekebalan merespons infeksi tertentu dipengaruhi oleh berbagai faktor. Antara lain faktor genetik, jenis kelamin, usia, pola makan, pola tidur, tingkat stres, riwayat penyakit penyerta, obat, status vaksinasi, dan tingkat paparan virus. 

Status sistem kekebalan tubuh pada saat tertentu akan mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap penyakit infeksi. Sehingga bagi orang yang rentan terhadap Covid-19 yang parah adalah mereka yang memiliki kekebalan kurang efektif, terutama karena memiliki penyakit penyerta yang kronis, para lansia, ataupun mereka yang imunokompromis, dimana sistem kekebalannya tidak berfungsi dengan baik. 

Faktor lainnya adalah virus SARS-CoV-2. Virus ini sejak kemunculannya terus berkembang dan bermutasi menghasilkan varian-variannya yang lebih menular dan lebih virulen. Demikian pula dengan subvarian Omicron baru yang terus bermunculan. Adanya berbagai mutasi, terutama pada protein spike (S) virus berpengaruh terhadap interaksi antigen antibodi dalam tubuh seseorang. 

Apakah antibodi yang terdapat dalam tubuh seseorang mampu mengenali dan mengikat antigen virus SARS-COV-2 dengan berbagai varian dan sub-variannya akan sangat berpengaruh pada perlindungan dan kerentanan sistem kekebalannya.

Berdasarkan berbagai penelitian telah diketahui bahwa SARS-CoV-2 sangat mahir berevolusi untuk menghasilkan varian virus yang dapat menghindari sistem kekebakan tubuh seseorang. Selain itu, perlindungan kadar antibodi terhadap SARS-COV-2 yang telah terbentuk mengalami penurunan setelah beberapa bulan jika tidak dilakukan vaksinasi ulang berikutnya atau booster vaksin. Dengan demikian ada kemungkinan beberapa orang tertentu yang lebih kecil kemungkinannya terkena Covid-19 karena kekuatan sistem kekebalan mereka.

Bagaimana dengan Faktor Genetik Seseorang?

Melansir laman https://www.abc.net.au/news/2022-11-11 tanggal 11 November 2022 yang lalu, Prof Nathan Bartlett dari School of Biomedical Sciences and Pharmacy, University of Newcastle, menyebutkan pengaruh variasi genetik individu atau polimorfisme terhadap risiko penyakit biasanya sangat kecil, jadi untuk mengidentifikasi pengaruh genetik terhadap Novid ini membutuhkan lebih banyak penelitin yang melibatkan lebih banyak subjek yang terdiri dari berbagai ras dan suku untuk membuktikannya. 

Dalam salah satu studi, para peneliti membandingkan antara genom subjek yang terdiri dari sekitar 50.000 orang penderita Covid-19  dengan genom dari sekitar 2 juta orang yang diketahui tidak terkena infeksi atau novid.

Mereka mengidentifikasi lokus genom yang terkait dengan risiko tertular Covid-19  dan daerah genetik lain yang terkait dengan tingkat keparahan penyakit. Penelitian ini membuktikan bahwa sebagaimana jenis penyakit lainnya, gen tertentu memang mempengaruhi risiko terinfeksi Covid-19. Hasil penelitian ini sangat penting untuk lebih memahami aspek biologi molekuler dari patogenenis Covid-19 dan juga untuk menjawab pertanyaan siapa yang mungkin berisiko terkena penyakit parah atau long Covid dan membantu pengembangan terapi baru untuk pencegahannya.

Penelitian lainnya yang dipublikasi pada Jurnal Nature yang terbit pada 7 Maret 2022 yang lalu menyebutkan bahwa tim peneliti telah mengidentifikasi 16 jenis gen pada pasien Covid-19 yang kritis. Para peneliti menganalisis sekitar 56.000 sampel untuk membandingkan genom pasien Covid-19. Berdasarkan analisis genetik, peneliti menemukan perbedaan di antara 23 gen pada pasien dengan kondisi kritis dengan pasien Covid-19  tanpa gejala atau dengan gejala ringan. Temuan ini merupakan hasil perbandingan antara 7.491 pasien Covid-19 kritis dengan kelompok kontrol yang terdiri dari 48.400 orang.

Variasi genetik yang ditemukan pada 16 jenis gen ini dapat memengaruhi risiko keparahan dan perawatan intensif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa apabila seseorang mengalami infeksi Covid-19 parah, memiliki variasi genetik yang membuat tubuh mereka rentan terhadap peradangan, serta pembekuan darah, serta ketidakmampuan tubuh pasien untuk mengatasi replikasi virus.

Hasil penelitian ini diharapkan di masa depan, dapat membuat prediksi jenis perawatan yang tepat bagi pasien berdasarkan variasi genetiknya. 

Baca sambungan di halaman 2: Apa yang Harus Dilakukan Menghadapi Lonjakan Subvarian Omicron XBB? 

Jokowi impor Obat Covid-19, Ini Kata Ahli. Prof Dr Maksum Radji M Biomed Apt juga membedah obat Chloroquine yang telah diproduksi di dalam negeri.
Prof Maksum Radji. (Istimewa/PWMU.CO)

Apa yang Harus Dilakukan Menghadapi Lonjakan Subvarian Omicron XBB? 

Pada dasarnya, upaya pencegahan untuk semua varian dan subvarian SARS-CoV-2 adalah sama, yaitu penerapan protokol kesehatan yang baik dan program vaksinasi. Oleh karena itu, selama kita menerapkan protokol kesehatan dengan baik kita tidak perlu terlalu khawatir terhadap ancaman transmisi Omicron subvarian XBB maupun varian lainnya. Apabila kita telah mendapatkan vaksinasi Covid-19 dosis lengkap dan dosis booster, apabila terinfeksi maka risikonya akan lebih ringan.

Bagi Kementerian Kesehatan hendaknya terus menggencarkan kembali vaksin booster, mengingat bahwa penerima booster pertama setelah vaksinasi primer, telah berjalan sekitar 10 bulan, sehingga kemungkinan besar sudah terjadi penurunan kadar antibodinya. 

Bagi para novid, mari kita hadapi Covid-19 ini dengan bijak, karena pandemi belum benar-benar usai. Sebisa mungkin, tetaplah menerapkan protokol kesehatan, terutama jika berada di kerumunan dan tempat umum. Walaupun kita merasa tergolong orang yang novid, dengan kita menjaga diri kita, berarti kita juga telah turut menjaga orang-orang di sekitar kita, terutama pada lansia dengan komorbid dan orang yang mungkin lebih rentan daripada kita.

Bagi sebagian besar novid, sebetulnya merupakan kombinasi dari tingkat sistem kekebalan yang kuat dan gaya hidup bersih dan sehat. Perlu kita syukuri bahwa kita termasuk novid, yang bebas dari Covid selama ini.

Semoga Allah senantiasa melindungi kita semua.

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version