Inilah Biografi 15 Ketua Umum PP Muhammadiyah: Dari KH Ahmad Dahlan hingga Prof Haedar Nashir
PWMU.CO – Muktamar Ke-48 Muhammadiyah di Surakarta 19-20 November 2022 telah menetapkan Prof Dr Haedar Nashir MSi sebagai Ketua Umum Muhammadiyah 2022-2027. Untuk mengenal siapa saja Ketua (Umum) Muhammadiyah sejak berdirinya 18 November 1912 hingga kini, PWMU.CO menurunkan profil singkat mereka.
1. KH Ahmad Dahlan (1912-1923)
Dia lahir di kampung Kauman, Yogyakarta, pada tanggal 1 Agustus 1868 dengan nama kecil Muhammad Darwis. Pada tahun 1888 selepas pergi haji dan menetap di Mekkah selama lima tahun Muhammad Darwis berganti nama menjadi Haji Ahmad Dahlan. Nama tersebut diambil dari nama seorang mufti bermadzhab Syafi’i di Mekkah yang bernama Ahmad bin Zaini Dahlan.
Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 18 November 1912 M atau 8 Dzulhijjah 1330 Hijriah. Selain berfokus pada gerakan purifikasi (pemurnian) akidah—yang mana saat itu masyarakat terjangkit penyakit TBC (tahayyul, bid’ah, Churafat)—Ahmad Dahlan juga berfokus pada sektor pendidikan dengan mengadopsi sistem pendidikan Barat, tetapi dimodifikasi sedemikian rupa sehingga berjiwa Nusantara yang mempunyai misi islami.
2. KH Ibrahim (1923-1934)
KH Ibrahim melanjutkan estafet kepemimpian perjuangan Muhammadiyah dari kakak iparnya—KH Ahmad Dahlan—pada rapat tahun ke-12 di Yogyakarta. Pada periode ini fikih ibadahnya masih mengikuti Ahmad Dahlan seperti shalawat dengan menggunakan ‘sayyidina’, menggunakan doa qunut ketika shalat Subuh, shalat Tarawih masih 20 raka’at, dan sebagainya.
KH Ibrahim berhasil mendirikan rumah sakit pertama di Yogyakarta. Dia juga mendirikan panti asuhan dan “Fonds Dahlan” untuk membiayai sekolah anak-anak miskin. Mendirikan Nasyiatul Aisyiyah dan Pemuda Muhammadiyah. Membentuk Badan Usaha Penerbit Buku-buku Muhammadiyah di bawah Majlis Taman Pustaka. Mengadakan program anak panah Muhammadiyah yakni dengan menyebarkan putra-putri lulusan sekolah Muhammadiyah ke seluruh Tanah Air dalam rangka berdakwah.
Pada periode ini pula mendirikan Maejlis Tarjih atas usulan KH Mas Mansyur. Dengan didirikannya Majelis Tarjih mulai terjadi pergeseran konseptual tentang peribadatan dan midset di Muhammadiyah, yakni dari mentoleransi keanekaragaman peribadatan (tanawu’ul ibadah) di masa KH Ahmad Dahlan menjadi keseragaman.
Tujuan atas pendirian Majlis Tarjih adalah untuk menjaga keutuhan organisasi yang semakin banyak anggotanya dari perselisihan furu’iyyah dalam amal ibadah. Muhammadiyah juga semakin berkembang dan menyebar ke luar Jawa, ditandai dengan adanya Kongres Ke-19 Muhammadiyah di Minangkabau, Sumatera Barat.
3. KH Hisyam (1934-1937)
Haji Hisyam lahir di Kauman, pada tanggal 10 November 1883. Dia satu-satunya murid inti hasil didikan langsung dari KH Ahmad Dahlan yang terpilih sebagai presiden HB Muhammadiyah dalam Kongres Ke-23 Muhammadiyah di Yogyakarta.
Dalam masa periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka sekolah dasar tiga tahun (volkschool atau sekolah desa) dengan menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana volkschool gubernemen. Setelah itu, dibuka pula vervolgschool Muhammadiyah sebagai lanjutannya. Muhammadiyah juga mendirikan Hollands Inlandse School met de Quran Muhammadiyah untuk menyamai usaha masyarakat Katolik yang telah mendirikan Hollands Inlandse School met de Bijbel.
Adapun pandangan Hisyam yang cukup kontroversial tetapi justru menjadi kunci dari kemajuan pendidikan Muhammadiyah pada waktu itu adalah seputar penerimaan subsidi dari pemerintah kolonial untuk pengembangan sekolah-sekolah pribumi. Meskipun harus dimusuhi oleh organisasi lain (Taman Siswa, Sarekat Islam), tetapi Muhammadiyah tetap bersikap kooperatif terhadap rezim kolonial.
Jajaran Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah berpandangan bahwa menerima subsidi dari pemerintah kolonial dibolehkan, sebab pada dasarnya dana subsidi tersebut berasal dari hasil bumi dan kekayaan alam yang telah dirampas oleh kaum kolonial. Jika Muhammadiyah tidak menerima subsidi dari pemerintah, maka umat Islam akan selalu tertinggal jauh oleh umat Katolik dan Kristen yang dalam penyelenggaraan pendidikannya memanfaatkan dana subsidi dari pemerintah kolonial.
Hisyam mendapat anugerah bintang Ridder Orde van Oranje Nassau dari Ratu Belanda. Anugerah ini diberikan kepada para pejabat, priyayi, atau orang-orang yang dianggap berjasa kepada pemerintah Belanda dan masyarakat pada waktu itu.
Namun penghargaan tersebut memicu kontroversi pada internal Muhammadiyah, dicmana kelompok muda (M. Basiran, Abdul Hamid, Farid Ma’ruf, dan lain-lain) menolaknya. Dan akhirnya konflik antara kelompok muda dan tua tersebut dijembatani oleh Ki Bagus Hadikusumo.
4. KH Mas Mansyur (1937-1942)
Terpilihnya KH Mas Mansyur berawal dari ketidakpuasan angkatan muda Muhammadiyah terhadap Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah yang lebih mengutamakan pendidikan, tetapi melupakan bidang tabligh. Menurut angkatan muda PB Muhammadiyah hanya dikuasai oleh tiga tokoh tua yakni KH Hisyam, KH Muhtar, dan KH Sudja’.
Angkatan muda pun semakin kecewa lantaran pada kongres Muhammadiyah ke-26 ranting-ranting Muhammadiyah lebih banyak memberikan suara kepada tiga tokoh tersebut. Setelah terjadinya dialog panjang, ketiga tokoh tersebut mengundurkan diri, Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Hadjid diusulkan menjadi ketua PB Muhammadiyah akan tetapi mereka menolaknya. Dan pada akhirnya Konsul Muhammadiyah Jawa Timur sekaligus arek Suroboyo tersebut terpilih sebagai ketua PB Muhammadiyah pada Kongres Ke-26 Muhammadiyah 26 menggantikan KH Hisyam.
Di bawah kepepimpinan Mas Mansyur terdapat beberapa langkah—atau sering disebut dengan langkah Muhammadiyah 1930-1940—yang terdiri dari 12 langkah. Yakni memperdalam masuknya iman, memperluas paham agama, memperbuahkan budi pekerti, menuntun amalan intiqad, menguatkan persatuan, menegakkan keadilan, melakukan kebijaksanaan, menguatkan majlis tanwir, mengadakan conferentie bahagian, mempermusyawarahkan putusan, mengawaskan gerakan dalam, dan mempersambungkan gerakan luar.
5. Ki Bagus Hadikusuma (1942-1953)
Dia lahir pada tanggal 24 November 1890 di Kauman. Nama kecilnya Raden Hidayat. Raden menunjukkan ciri sebagai aristokrat atau kebangsawanan Jawa, sedangkan nama Hidayat berasal dari bahasa Arab hidayah,yang artinya petunjuk. Ketika Raden Hidayat berumur 30 tahun, dia mengganti namanya menjadi Ki Bagoes Hadikoesoemo.
Ki Bagus pernah menyatakan ketidaksediaannya setelah dimintai oleh KH Mas Mansyur sebagai Wakil Ketua PB Muhammadiyah pada Kongres Ke-26 Muhammadiyah26. Pada akhirnya dia tidak bisa mengelak memenuhi panggilan tugas menjadi Ketua PB Muhammadiyah ketika Mas Mansyur dipaksa menjadi anggota pengurus Pusat Tenaga Rakyat (Putera) di Jakarta pada tahun 1942.
Ki Bagus merupakan pimpinan Muhammadiyah yang memiliki andil besar dalam penyusunan Muqaddimah UUD 1945 dengan memberikan landasan ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Dia merupakan tokoh yang di-‘lobby’ agar menghapus tujuh kata dalam sila pertama, dengan alasan demi kesatuan bangsa karena kelompok non Islam mengancam tidak bergabung dengan Negara RI dan mendirikan Negara sendiri.
Ki Bagus menjadi Ketua PB Muhammadiyah selama 11 tahun, selain itu dia juga pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh, Ketua Majelis Tarjih, anggota MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah. Pemerintah RI menetapkan Ki Bagus Hadikusumo sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia.
6. Ahmad Rasyid Sutan Mansur (1953-1959)
Dia lahir pada tanggal 15 Deesember 1895 di Maninjau, Sumatera Barat. Sutan Mansur belajar ilmu tauhid, bahasa Arab, ilmu kalam, mantiq, tarikh, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti syariat, tasawuf, al-Qur’an, tafsir, dan hadis dengan mustalah-nya kepada tokoh pembaharu di Minangkabau yaitu Dr Abdul Karim Amrullah yang merupakan ayah dari Buya HAMKA.
Pada masa kepemimpinannya, upaya pemulihan roh Muhammadiyah di kalangan warga dan pimpinan Muhammadiyah digiatkan. Untuk itu, ia memasyarakatkan dua hal. Pertama, merebut khasyyah (takut pada kemurkaan Allah), merebut waktu, memenuhi janji, menanam ruh tauhid, dan mewujudkan akhlak tauhi.
Kedua, mengusahakan buq’ah mubarakah (tempat yang diberkati) di tempat masing-masing, mengupayakan shalat jamaah pada setiap waktu, mendidik anak-anak beribadah dan mengaji al-Qur’an untuk mengharap rahmat, melatih puasa sunnah hari Senin dan Kamis. Juga menganjurkan puasa pada tanggal 13, 14, dan 15 tiap bulan Islam seperti yang dipesankan oleh Nabi Muhammad, dan tetap menghidupkan taqwa. Selain itu, juga diupayakan kontak-kontak yang lebih luas antar pemimpin dan anggota di semua tingkatan dan konferensi kerja diantara Majelis dan Cabang atau Ranting banyak diselengarakan.
Saat Sutan Mansur memimpin, Muhammadiyah berhasil merumuskan Khittah Muhammadiyah tahun 1956-1959 atau yang populer sebagai Khittah Palembang, yaitu menjiwai pribadi anggota dan pimpinan Muhammadiyah dengan memperdalam dan mempertebal tahid. Juga menyempurnakan ibadan dengan khusyu’ dan tawadlu’, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, dan menggerakkan Muhammadiyah dengan penuh keyakinan dan rasa tanggung jawab.
Selanjutnya melaksanakan uswatun hasanah, mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi, memperbanyak dan mempertinggi mutu anak, mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader, memperoleh ukhuwah sesama Muslim dengan mengadakan badan ishlah untuk mengantisipasi terjadi keretakan dan perselisihan, dan menuntun penghidupan anggota.
7. KH M. Yunus Anis (1959-1962)
Pada Muktamar Ke-34 di Yogyakarta, M. Yunus Anis terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Di era kepemimpinannya, Yunus Anis menghadapi masa-masa yang penuh tantangan. Dimulai dari adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai era berlakunya kembali UUD 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kemudian menyulut timbulnya berbagai macam peristiwa politik yang tidak sehat. Tak sedikit manuver dan intrik dilakukan oleh partai politik, terutama Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sangat membahayakan bagi instabilitas kondisi politik Tanah Air saat itu.
PKI kiat dekat dengan Presiden Sukarno. Masyumi yang dibubarkan secara paksa pada tahun 1960 berdampak negatif terhadap umat Islam, suara atau kepentingan umat Islam tidak terwakili dalam parlemen.
Kemudian AH Nasution meminta Yunus Anis agar menjadi anggota DPR GR, akan tetapi sikap beliau menuai kritik dari sejumlah tokoh Muhammadiyah, karena saat itu Muhammadiyah tidak mendukung kebijakan Sukarno membubarkan Masyumi dan juga Soekarno dinilai otoriter dalam penyusunan anggota parlemen.
Yunus Anis menjawab kritikan tersebut dengan bersedia menjadi anggota parlemen bukan untuk kepentingan politik jangka pendek, akan tetapi untuk jangka panjang yakni mewakili umat Islam yang nyaris tidak terwakili dalam parlemen.
Pada periode kepemimpinannya, Yunus Anis mengawal gagasan tentang Kepribadian Muhammadiyah. Perumusan tersebut digarap oleh sebuah tim yang dipimpin oleh KH Faqih Usman, dan akan diputuskan dalam Muktamar Ke-35 Muhammadiyah tahun 1962. Meskipun pada situasi sulit di sekitar awal 1960-an, Yunus Anis tetap memposisikan Muhammadiyah pada jati dirinya yakni sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar. Yunus Anis juga menata administrasi Muhammadiyah layaknya sebuah organisasi modern.
8. KH Ahmad Badawi (1962-1968)
Dia lahir pada 5 Februari 1902. Ahmad Badawi termasuk di antara murid-murid pertama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah yang dirintis oleh KH Ahmad Dahlan sejak 1911. Karir Ahmad Badawi di Muhammadiyah dimulai sejak 1926, ketika ia masuk di Bagian Tabligh HB Muhammadiyah.
Sambil berdakwah, ia mengajar di Madrasah Muallimin dan Muallimaat (dulu Kweekschool Muhammadiyah dan Kweekschool Isteri), dan aktif menggerakkan literasi lewat Bagian Taman Pustaka. Ia juga aktif di Pemuda Muhammadiyah dan Hizbul Wathan. Dan pada Muktamar Ke-35 Muhammadiyah di Jakarta KH Ahmad Badawi terpilih sebagai Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dia juga menjadi penasehat pribadi Presiden Sukarno.
Sikap Ahmad Badawi tersebut mendapat kritikan yang cukup tajam di internal Muhammadiyah, bahkan kelompok lain yang tidak senang dengan Muhammadiyah mencoba mempengaruhi Bung Karno agar persyarikatan Muhammadiyah dibubarkan.
Sekalipun berdakwah di jalur kekuasaan, Ahmad Badawi tetap memiliki integritas yang kokoh. Ia dikritik, dihujat, dan dicibir oleh kelompok yang telah dikecewakan oleh rezim pascapembubaran Partai Masyumi. Tetapi ia bergeming. Dalam posisi sebagai juru kunci yang menghubungkan antara rezim dengan mayoritas umat Islam, termasuk Muhammadiyah, pilihan sikapnya menunjukkan karakter ‘moderat yang berprinsip’.
Sekalipun berada di ring kekuasaan Orde Lama, Ahmad Badawi tetap tegas dan kritis. Pada November 1965, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah melayangkan surat kepada Bung Karno yang berisi permohonan agar Muhammadiyah diberi wewenang membentuk partai politik baru pascapembubaran Partai Masyumi.
Namun, Bung Karno berdalih selalu sibuk, tidak sempat membaca surat PP Muhammadiyah. Di sinilah peran Kiai Badawi selaku Penasihat Presiden yang terus mengawal surat tersebut sampai pada titik akhir batas kesabarannya. Ia bersikap tegas. “Bacalah Bung! Tidak akan makan waktu lebih dari lima menit!” hardik Kiai Badawi kepada Bung Karno. Akhirnya, aang Presiden pun membaca surat PP Muhammadiyah sampai selesai.
Meletusnya Gestapu/PKI dan kegagalannya menambah kebangkitan Muhammadiyah. Perkembangan Muhammadiyah tambah meluas dan meningkat. PP Muhammadiyah tanggal 6 Oktober 1965 menyatakan, “Gestapu/PKI adalah bencana nasional”. Kiai Badawi dan Pak H. Djarnawi mewakili PP Muhammadiyah, sebagai ormas pertama, yang berteguh janji dengan Mayjen Soeharto, tengah malam tanggal 27 Oktober 1965 di Gedung Kostrad, untuk saling membantu menumpas sisa Gestapu/PKI.
Muhammadiyah organisasi pertama pula yang mengadakan Konperensi Kilat tanggal 9-11 November 1965 menuntut bubarnya PKI. Tuntutan tersebut sebagai dukungan kepada tuntutan Ketua PP Muhammadiyah kepada Presiden untuk segera membubarkan PKI dan ormas-ormasnya, yang tindakan pembubaran itu suatu ibadah. Tuntutan itu dikemukakan oleh KH Ahmad Badawi kepada Presiden di Istana Merdeka tanggal 27 Oktober 1965. Kemudian angkatan muda Muhammadiyah pun membentuk Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (Kokam)..
Pada masa kepemimpinannya, KH Ahmad Badawi juga tetap dapat menjaga dan kokoh mempertahankan Muhammadiyah tidak menjadi parpol, meskipun ada kesempatan dan peluang. Deras dan kuat pula tarikan dari kanan-kiri. KH Ahmad Badawi menjadi Ketua PP Muhammadiyah selama dua periode (1962-1968) di zaman banyak kesulitan dan kesukaran. Tantangan, baik dari luar maupun dalam, demikian kuat dan hebat. Salah melangkah, Muhammadiyah bisa pecah. Alhamdulillah, Muhammadiyah tetap utuh, bersatu, selamat, dan terus berkembang.
9. KH Faqih Usman (1968-1968)
Dia dilahirkan di Gresik, Jawa Timur pada tanggal 2 Maret 1904. Faqih Usman pernah diangkat menjadi Ketua Group Muhammadiyah Gresik pada tahun 1925. Dia juga pernah menjadi Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Timur pada periode 1932-1936 yang berkedudukan di Surabaya.
Faqih Usman juga aktif dalam politik. Pada tahun 1929 dia dipilih sebagai anggota Dewan Surabaya. Kemudian, ketika Mas Mansyur terpilih sebagai Ketua PP Muhammadiyah, Faqih Usman menggantikan kedudukan Mas Mansyur sebagai Konsul Muhammadiyah Jawa Timur pada 1936.
Faqih Usman juga merupakan ketua tim perumus Kepribadian Muhammadiyah. Dia seorang yang multitalenta, di antaranya di bidang kewirausahaan, pernah diangkat sebagai Ketua Persekutuan Dagang Sekawan Se-Daerah Gresik. Di bidang kepenulisan, dia pernah memimpin majalah Bintang Islam, lalu menerbitkan majalah Panji Masyarakat bersama-sama dengan Buya Hamka, Joesoef Abdullah Poer, dan Joesoef Ahmad.
Di bidang politik, Faqih Usman ikut andil dalam Partai Masyumi sejak didirikannya pada tahun 1945 dan juga salah seorang anggota PB Masyumi. Dia juga pernah menjadi Menteri Agama pada Kabinet Haliem Perdanakusumah, 21 Januari-6 September 1950. Kemudian pada 1951 Faqih usman menjabat Kepala Jawatan Agama Pusat. Setelah itu beliau menjadi Menteri Agama kembali pada Kabinet Wilopo, 3 April 1952-1 Agustus 1953.
Pada Muktamar Ke-37 Muhammadiyah di Yogyakarta, KH Faqih Usman terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Akan tetapi, Faqih Usman belum bisa berbuat banyak dalam memimpin Muhammadiyah, dikarenakan dia terpilih ketika keadaan sakit dan dan meninggal seminggu setelah terpilih sebagai Ketua PP Muhammadiyah. Dengan demikian, Faqih Usman merupakan yang tersingkat memimpin Muhammadiyah yakni hanya satu pekan. Dia wafat pada 3 Oktober 1968.
10. Abdur Rozak Fahruddin (1968-1990)
Abdur Rozak Fahruddin atau sering dipanggil dengan Pak AR lahir 14 Februari 1916 di Cilangkap, Purwanggan, Pakualaman, Yogyakarta. Pak AR menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sejak tahun 1968 setelah di-fait accomply untuk menjadi Pejabat Ketua PP Muhammadiyah sehubungan dengan wafatnya KHFaqih Usman.
Dalam Tanwir Muhammadiyah di Ponorogo, Jawa Timur, pada tahun 1969, akhirnya Pak AR dikukuhkan menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai Muktamar Ke-38 Muhammadiyah di Makassar pada tahun 1971. Sejak saat itu ia terpilih secara berturut-turut dalam empat kali Muktamar Muhammadiyah berikutnya untuk periode 1971-1974, 1974-1978, 1978-1985 dan 1985-1990.
Di masa kepemimpinannya, Muhammadiyah menghadapi masalah Asaa Tunggal Pancasila. Semua ormas harus menjadikan Pancasila sebagai asasnya. Sebelumnya, seperti ormas Islam lainnya, Muhammadiyah menggunakan asas Islam.
Pro-kontra kebijakan Rezim Orde Baru ini berhasil diatasi Pak AR. Muhammadiyah akhirnya dengan berat hati menerima menerima Pancasila sebagai asas Muhammadiyah. Pak AR mengibaratkan hal itu seperti kewajiban penggunaan helam saat bermotor.
Bertolak belakang dengan KH Faqih Usman, Pak AR menjadi pemegang rekor terlama dalam memimpin Muhammadiyah, yakni 22 tahun. Pak AR merupakan seorang pemimpin yang amat sederhana, meskipun menjadi orang nomor satu dan terlama di Muhammadiyah tidak lantas mengubah gaya hidup Pak AR.
Ke mana-mana ia lebih suka mengayuh sepeda atau mengendarai motor Yamaha bututnya. Awal dekade 1980-an dia pernah ditawari mobil keluaran baru secara cuma-cuma. Akan tetapi Pak AR menolaknya. Dia pernah berjualan bensin eceran demi menambah biaya kuliah anaknya. Pak AR juga seorang pemimpin yang tidak memiliki rumah pribadi.
Selain seorang yang sederhana, Pak AR juga seorang ulama yang bersahaja, ramah, menyejukkan, dan sering menggunakan humor dalam berdakwah. Di akhir kepemimpinannya Pak AR pada tahun 1989, Muhammadiyah kali pertama membuat terobosan bekerja sama dengan bank dalam rangka penataan administrasi keuangan dan konsolidasi organisasi. Bank Rakyat Indonesia (BRI) dipilih karena dinilai lebih bermaslahat, meskipun di kalangan umat Islam masih terdapat perbedaan pendapat tentang kehalalan bank, terutama berkaitan dengan riba dan bunga bank.
Pak AR tidak bersedia dipilih kembali menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Ke-42 Muhammadiyah tahun 1990 di Yogyakarta, walaupun masih banyak muktamirin yang mengharapkannya. Pak AR berharap ada alih generasi yang sehat dalam Muhammadiyah. Pada 17 Maret 1995 kabar duka datang dari Rumah Sakit Islam Jakarta: Pak AR meninggal dunia. Dia pergi setelah mengalami perawatan intensif selama tiga pekan karena komplikasi penyakit vertigo, pembengkakan jaringan, dan leukemia.
11. KH Ahmad Azhar Basyir MA (1990-1995)
Azhar Basyir lahir di Yogyakarta, 21 November 1928. Dia terpilih sebagai Ketua PP Muhammadiyah menggantikan Pak AR pada Muktamar Ke-42 Muhammadiyah di Yogyakarta. Sebelum diamanahi sebagai Ketua PP Muhammadiyah, Azhar Basyir menjabat sebagai Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah pada tahun 1985-1990.
Azhar Basyir seorang intelektual dan ulama yang ilmunya diakui banyak pihak di tingkat nasional dan internasional. Pada periode kepemimpinannya dikenal sebagai periode transisi, yaitu perpindahan kepemimpinan dari generasi ulama murni ke generasi intelektual. Dia muncul dari kalangan kampus bukan dari pondok pesantren layaknya seperti pendahulunya. Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah cukup intens memunculkan kegiatan yang berbentuk pengajian adn kajian dalam mengurai berbagai persoalan keumatan dan pemikiran Islam.
Soal keilmuan, Azhar Basyir sudah tidak diragukan lagi. Dia pernah menjadi anggota tetap Majma’ al-Fiqh al-Islami, sebuah lembaga di bawah Organisasi Konferensi Islam se-Dunia dan mendapat Al-‘Ulum wa Al-Funnun (penghargaan teringgi bidang syari’ah Islam) dari pemerintahan Mesir pada 1989.
Dia juga terkenal sebagai seorang yang sederhana, sigap turun membersamai aktivitas sebuah ranting Muhammadiyah di pelosok desa. Azhar Basyir juga meneladankan kepada generasi penerus agar menghemat anggaran untuk sesuatu yang memang bisa dihemat.
Dia memegang amanah sebagai Ketua PP Muhammadiyah tidak sampai akhir jabatannya, yakni 1995. Karena pada 24 Juni 1994 KH Ahmad Azhar Basyir wafat di RS Umum Pusat Dr Sarjito setelah dirawat di PKU Muhammadiyah dan dimakamkan di pemakaman umum karangkajen, Yogyakarta.
12. Prof Dr HM Amien Rais (1995-1998)
Dia dilahirkan di Solo pada tanggal 16 April 1944. Amien Rais dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Dia menempuh bangku sekolah mulai TK sampai SMA di sekolah Muhammadiyah. Amien Rais pernah memimpin di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai Ketua III DPP IMM.
Amien Rais dikenal sebagai cerdik cendekia yang terkemuka, terbukti dia menjadi Ketua Dewan Pakar ICMI yang lahir dan besar dari rahim Orde Baru. Dia juga dikenal sebagai tokoh reformasi karena memimpin gerakan reformasi menurunkan Presiden Soeharto.
Selain cerdik, Amien Rais seorang yang berani, dengan menggaungkan perlawanan terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme di tubuh birokrasi Orde Baru Presiden Soeharto. Pada tahun 1993, dihadapan peserta Tanwir Muhammadiyah di Surabaya Amien Rais menggulirkan isu besar yakni perlunya suksesi kepemimpinan nasional—isu yang sangat sensitif saat itu.
Oleh karena itu dia pernah dianugerahi Reformasi Award dari IPB pada 31 Mei 1993, kemudian dinobatkan sebagai “Tokoh 1997” oleh majalah Ummat, dan mendapat penghargaan UII Award dari UII, Yogyakarta.
Amien Rais diamanahi menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Ke-43 Muhammadiyah di Banda Aceh. Tiga tahun kemudian dia mendirikan dan menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Amanat nasional (PAN), maka dari itu Amien Rais harus melepaskan jabatan sebagai Ketua PP Muhammadiyah.
13. Prof Dr H Ahmad Syafi’i Maarif (1998-2005)
Ahmad Syafi’i Maarif atau sering akrab disapa dengan Buya Syafi’i lahir di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minagkabau pada 31 Mei 1935. Dia pernah belajar di Madrasah Muallimin Yogyakarta kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Cokroaminoto, Fakultas Keguruan Ilmu Sosial IKIP Yogyakarta, Universitas OHIO hingga Universitas Chicago Amerika Serikat.
Dia menulis disertasi yang berjudul Islam as the Basis of State: A Study of The Islamic Political Idead as Reflected in the Constituent Assembli Debates in Indonesia. Buya Syafii dijuluki sebagai “tiga pendekar dari Chicago” bersama Amien Rais dan Nurcholish Majid.
Buya Syafi’i terpilih sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Ke-44 Muhammadiyah di Jakarta. Pada masa kepemimpinannya, Muhammadiyah dibawa ke tengah dan ke muka percaturan nasional bahkan global secara dinamik. Perkembangan pemikiran dan dialog pemikiran pun berkembang dengan pesat.
Selain dikenal sebagai sosok yang humanis dan egaliter, Buya Syafi’i juga seorang negarawan yang dikenal baik di kalangan umat Islam maupun agama lainnya. Dia sangat mencintai Tanah Air, terlihat dari komitmennya pada upaya menjaga keutuhan bangsa. Itu termasuk teladan yang ia wariskan, selain segudang ilmu dan pendar pencerahan yang ia tinggalkan—bukan hanya bagi umat Islam tapi pada seluruh bangsa Indonesia.
Pada tahun 2008 Syafii Maarif mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari Pemerintah Filipina. Penulis Damiem Demantra membuat sebuah novel tentang masa kecil Ahmad Syafi’i Maarif, yang berjudul Si Anak Kampung yang telah difilmkan dan meraih penghargaan pada America International Film Festival (AIFF). Buya menghembuskan nafas terakhirnya pada hari Jumat 27 Mei 2022 pukul 10.15 WIB di RS PKU Muhammadiyah Gamping.
14. Prof Dr H Muhammad Sirajuddin Syamsuddin (2005-2015)
Pria yang akrab disapa dengan Din Syamsuddin ini lahir pada 31 Agustus 1958 di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Berbeda dengan ketua umum sebelumnya, dia pernah mengenyam pendidikan di lembaga Nahdlatul Ulama yakni di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama dan Madrasah Tsanawiyah Nahdlatul Ulama Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat.
Kemudian Din melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, Jawa Timur dan menyelesaikannya pada tahun 1975. Pada bangku perkuliahan dia belajar di IAIN Syarif Hidayatullah, S2 dan S3 beliau di University of California Los Angeles (UCLA) Amerika Serikat.
Ketika masa pelajar, Din Syamsuddin pernah memimpin Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Cabang Sumbawa, masa kuliah menjadi Ketua Umum Sementara Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, dilanjut menjadi Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah.
Din Syamsudin terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah pada Muktamar Ke-45 Muhammadiyah di Malang. Din Syamsudin dikenal sebagai sosok yang memiliki kemampuan berdialog dengan seluruh umat beragama, baik dengan sesama umat Islam maupun umat beragama lainnya.
Din Syamsudin sering sekali mendapatkan undangan untuk menghadiri berbagai macam konferensi tingkat dunia, salah satunya adalah ketika ia diundang ke Vatican, Roma, untuk memberikan ceramah umum mengenai terorisme dalam konteks politik dan ideologi. Din memandang bahwa terorisme lebih relevan apabila dikaitkan dengan isu politik jika dibandingkan dengan isu ideologi.
Din terpilih kembali sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah pada Muktamar ke-46 di Yogyakarta. Din Syamsuddin merupakan penggagas konsep Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah (Negara Kesepakatan dan Negara Kesaksian). Konsep ini kemudian disepakati oleh Muktamar Muhammadiyah tahun 2015.
Din masuk daftar 500 Muslim paling berpengaruh di dunia yang disusun lembaga riset independen berbasis yang di Yordania ini, beliau masuk dalam kategori Honourable Mention. Selain menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah dia juga pernah menjabat sebagai Ketua Pengurus Pusat MUI.
Din juga dikenal sebagai tokoh perdamaian dunia, dibuktikan dengan memprakarsai Pertemuan Puncak Ulama dan Cendekiawan Muslim Sedunia tentang Wasatiyat Islam (Islam Jalan Tengah), menjadi President of Asian Conference on Religions for Peace (ACRP) yang berpusat di Tokyo Jepang. Jugad Co-President of Religions for Peace International yang berpusat di New York Amerika. Dalam kapasitas ini, Prof Din Syamsuddin diundang berpidato di PBB mewakili Islam dalam rangka World Interfaith Harmony Week.
15. Prof Dr H Haedar Nashir MSi (2015-2027)
Haedar Nashir lahir pada 25 Februari 1958 di Bandung Jawa Barat. Dia bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Ciparay, Bandung. Kemudian di SMP Muhammadiyah III dan SMAN 10 Bandung. Dia juga pernah menjadi santri di Ponpes Cintawana, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Setelah tamat sekolah menengah, beliau melanjutkan di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa di Yogyakarta, S2 dan S3 beliau melanjutkan di Universitas Gajah Mada lulus dengan status cumlaude. Kemudian dia diangkat menjadi Guru Besar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Di Muhammadiyah, dia pernah menjadi Pimpinan Redaksi Majalah Suara Muhammadiyah, Ketua PP IPM (1983-1986), Ketua Departemen Kader PP Muhammadiyah. Haedar juga pernah menjadi Sekretaris PP Muhammadiyah (2000-2005).
Pada Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makassar tahun 2015, dia terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2015-2020. Akibat adanya pandemi Covid-19 Muktamar ke-48 yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2020 diundur dilaksanakan pada tahun 2022. Dia juga masuk daftar sebagai 500 Muslim paling berpengaruh di dunia yang disusun lembaga riset independen yang berbasis di Yordania ini. Haedar masuk kategori Administration of Religious Affairs. Dia dinobatkan sebagai salah satu ilmuwan sosial terbaik di dunia versi Ad Scientific Index 2022. Bahkan masuk ke dalam daftar Top 37.
Haedar Nashir merupakan pemimpin transformatif, terlihat dari karya-karya dan ceramah yang konsisten, membuat tradisi berpikir, meneliti, mengkaji, dan percaya pada ilmu pengetahuan menjadi semangat utama dalam Persyarikatan Muhammadiyah.
Haedar sosok yang memegang integritas, terlihat dari sikap konsisten memperjuangkan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, bahkan dari Muhammadiyah sendiri. Yakni memperjuangkan kepentingan umat, bangsa, dan negara, kemanusiaan, tingginya Islam di muka bumi (izzul Islam wal muslimin).
Pada eranya pula banyak lahir kampus-kampus Muhammadiyah yang baru. Salah satunya kampus siber (Sibermu) berdiri di tengah perkembangan internet dan dunia digital dengan pesat. Selain Sibermu, Muhammadiyah juga menggencarkan gerakan internasionalisasi yakni dengan mendirikan Muhammadiyah Australia College, Universiti Muhammadiyah Malaysia (UMAM)( dan yang akhir-akhir ini jadi bahan perbicangan Universitas Muhammadiyah Surakarta membuka cabang di Tongmyong, University, Busan, Korea.
Ketika negara terkena wabah pandemi Covid-19 Muhammadiyah memilik andil yang besar terhadap Negara. Muhammadiyah membantu di berbagai bidang, diantaranya agama, kesehatan, sosial, ekonomi dan masih banyak lagi bahkan sumbangsih Muhammadiyah ketika pandemi mencapai Rp 1 triliun.
Pada Muktamar ke-48 yang dilaksanakan pada 18-20 November 2022 di Solo yang bertepatan Milad Ke-110 Muhammadiyah, Haedar Nashir terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah untuk kali kedua.
Adapun tujuh agenda yang perlu digarap Muhammadiyah pada lima tahun kedepan menurut Haedar adalah, pertama peneguhan paham keislaman dan ideologi Muhammadiyah. Kedua penguatan dan penyebarluasan pandangan Islam Berkemajuan. Ketiga memperkuat dan memperluas basis umat di akar rumput. Keempat mengembangkan AUM unggulan dan kekuatan ekonomi. Kelima berdakwah bagi milenial, generasi Z, dan generasi alpha. Keenam reformasi kaderisasi dan diaspora kader ke berbagai lingkungan dan bidang kehidupan. Ketujuh digitalisasi dan intensitas internasionalisasi Muhammadiyah. (*)
Diolah dari berbagai sumber. Penulis Muhammad Dhiya’Ulhaq Syahrial Ramadhan, Kader IMM UIN Sunan Ampel Surabaya. Editor Mohammad Nurfatoni
Catatan: Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebelumnya bernama Pengurus Besar Muhammadiyah dan Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah. Sedangkan sebelum beranama Ketua Umum PP Muhammadiyah, jabatan puncak bernama Ketua PP Muhammadiyah/PB/HB. Nama muktamar juga mengalami beberapa perubahan istilah. Sebelumnya ada rapat tahunan, kongres.