Antara PM Malaysia dan Ketua Umum PP Muhammadiyah; Kolom oleh Prima Mari Kristanto
PWMU.CO – Rakyat Malaysia dan warga Muhammadiyah sama-sama punya pemimpin baru, tapi lama. Disebut baru karena baru terpilih. Lama karena bukan tokoh baru.
Menariknya PM Malaysia dan Ketua Umum PP Muhammadiyah adalah sama-sama tidak dipilih secara langsung oleh rakyat atau warganya. Anwar Ibrahim ditetapkan sebagai Perdana Menteri melalui musyawarah sembilan raja atau sultan Malaysia.
Tidak jauh berbeda dengan pemilihan pimpinan Muhammadiyah oleh ‘raja-raja’ dari pusat sampai cabang.Ditambah ‘raja-raja’ organisasi otonom. Perdana Menteri Malaysia sah. Ketua Umum PP Muhammadiyah juga sah biarpun tidak memungut suara seluruh warga Muhammadiyah.
Sehingga jika di-review perhelatan muktamar yang lalu sungguh ‘lucu’. Ribuan penggembira yang datang ke Surakarta sebagian besar tidak punya hak suara. Namun demikian para penggembira tetap bahagia dan percaya pada apa pun keputusan muktamar.
Bukan masa bodoh, juga bukan tidak peduli siapa yang akan memimpin persyarikatan, tetapi sebagai wujud ketaatan pada prosesi dan tradisi dalam Muhammadiyah dan Aisyiyah. Terbukti perhelatan muktamar dengan salah satu agendanya memilih ketua umum selalu berlangsung aman, damai, dan tenang. Jika ada hangat-hangat sedikit sebagai bagian dari dinamika organisasi yang wajar.
Semua bisa damai karena ketaatan pada aturan dan prosedur yang telah disepakati, bukan yang mudah digonta-ganti demi ambisi kelompok atau pribadi. Pada tataran negara, aturan-aturan dalam berbangsa dan bernegara tertuang dalam konstitusi atau undang-undang dasar.
Raja-raja Malaysia diberi hak memutuskan Perdana Menteri juga amanat konstitusi jika tidak ada pemenang kursi parlemen mayoritas 50 persen plus 1. Meskipun tidak mencapai 50 persen plus 1 tetapi koalisi Anwar Ibrahim pemilik kursi terbanyak dengan 82 kursi dari total 222 kursi parlemen Malaysia.
Taat Konstitusi
Selamat untuk rakyat Malaysia dan warga Muhammadiyah yang demikian konsisten menjaga konstitusi dan aturan-aturan yang telah disepakati dalam memilih pemimpin. Dengan menempatkan konstitusi atau aturan serta prosedur yang disepakati secara konsisten, bukan yang mudah digonti-ganti sesuka hati, terbukti pergantian kepemimpinan sangat efektif dan efisien.
Ekonomi Malaysia mampu tumbuh konsisten dengan kesejahteraan masyarakat termasuk yang terbaik di Asia Tenggara. Juga di Muhammadiyah, amal-amal usaha semakin bertumbuh dan bertambah karena fokus pada sistem kepemimpinan dan keorganisasian, bukan sisten yang memimpin.
Politik tidak seharusnya dijadikan tujuan utama untuk mendapat kekuasaan, lebih utama menjadikan politik sebagai wasilah fastabiqulkhairat, berlomba-lomba dalam kebajikan. Muhammadiyah telah merumuskan konsep Darul Ahdi wa Syahadah untuk berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Sebuah konsep untuk bersikap fair atas aturan main yang telah disepakati bersama, bukan suka-suka yang sedang berkuasa. Kembali ke UUD 1945 barangkali bisa menjadi solusi menjadikan pemilihan umum lebih efektif dan efisien untuk tujuan sebesar-besarnya kemaslahatan bangsa.
Sejak reformasi 1998, biaya pemilu dari pileg, pilpres sampai pilkada semakin tinggi, tetapi pertumbuhan ekonomi tidak semakin tinggi, angka kemiskinan dan pengangguran pun masih tinggi. Bentuk republik atau monarki, khilafah atau musyawarah, yang terpenting adalah konsisten dan taat pada konstitusi serta prosedur-prosedur yang disepakati.
Jauh-jauh hari sejak pemerintah kolonial mengenalkan lembaga wakil rakyat bernama volksraad pada tahun 1930-an Muhammadiyah telah berwasiat bahwa demokrasi membutuhkan rakyat yang pandai. Lampu pelita seterang apa pun tidak akan mampu menerangi orang buta. Wallahualambishawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni