Guru Rajin Menulis dan Efek Besar Itu; Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Warnai Dunia dengan Menulisdan delapan lainnya.
PWMU.CO – Semua orang, tanpa kecuali, harus menjadi pembelajar di sepanjang usianya. Maka, sungguh menyenangkan jika guru suka menulis. Amat membanggakan andai guru rajin menulis.
Apa hubungan seorang pembelajar dengan posisi guru yang gemar menulis? Mari kita awali dengan melihat posisi artikel sebagai salah satu bentuk tulisan. Saat artikel dibuat seorang guru dan dengan niat agar bisa dimuat di media maka di titik ini ada dua kemungkinan “ujung perjalanan”.
Pertama, artikel kemudian memang dimuat oleh sebuah media (bisa cetak dan/atau media online). Kedua, artikel tak dimuat media. Namun, karena si guru punya situs pribadi maka dimuatlah di sana.
Lalu, sisi pembelajarnya di mana? Lihatlah kenyataan dalam hal kepenulisan. Bahwa, tak akan pernah lahir sebuah tulisan bagus dari seseorang yang bukan pembaca yang tekun. Dalam kalimat lain, seorang penulis yang bagus pasti sebelumnya dia adalah seorang pembaca yang baik. Maka, jika seorang guru aktif menulis akan ada jaminan bahwa dia akan terus belajar dengan cara banyak membaca.
Keuntungan Rajin Menulis
Sayang, tampaknya guru yang aktif menulis tak banyak jumlahnya. Padahal, jika guru rajin menulis, akan banyak mendatangkan keuntungan. Pertama, akan bermanfaat bagi diri si guru sendiri.
Kedua, berguna bagi murid. Oleh karena si guru suka menulis, maka dia pasti lebih berwawasan (untuk tak menyebut lebih pandai) ketimbang guru yang tak biasa menulis. Ini mudah difahami, sebab–sekali lagi-menulis itu mensyaratkan harus banyak membaca sebelumnya. Berikutnya, murid-murid akan menjadikan si guru yang suka menulis itu sebagai teladan yang patut untuk dicontoh. Si murid akan memiliki nilai kebanggaan yang lain jika melihat nama sang guru muncul di media (cetak atau online).
Ketiga, berfaedah bagi masyarakat. Di tengah-tengah masyarakat akan cukup tersedia bahan bacaan di bidang pendidikan. Tentu saja, para orangtua sangat diuntungkan dengan situasi ini. Nantinya, antara lain, akan ada kesamaan langkah antara guru di sekolah dengan para orangtua dalam mendidik anak terutama di masalah/bahasan yang sedang diangkat oleh si guru lewat tulisannya di media.
Lebih jauh, materi apa saja yang bisa ditulis seorang guru? Pertama, menulis artikel dengan materi yang terkait langsung dengan bidang pendidikan. Misal, berikut ini sekadar contoh: “Kiat Mendidik Anak di Era Digital”. Bisa juga, ini: “Perlukah Televisi di Setiap Kamar Anak?”
Kedua, menulis artikel dengan mengritisi isu-isu aktual di tengah masyarakat dengan perspektif pendidikan. Misal, kritisilah mata acara televisi jika memang ditemukan hal-hal yang bisa merusak proses tumbuh-kembang anak. Begitu juga, kritisilah perilaku anggota masyarakat yang kurang tepat semisal merokok, terlebih jika itu dilakukan di ruang publik seperti di kendaraan umum.
Ketiga, menulis resensi buku yang berisi materi di bidang pendidikan. Oleh karena yang diresensi pasti buku baru, maka si guru akan bertambah ilmunya. Berikutnya, dari hasil resensi buku yang ditulis guru dan dimuat di media, masyarakat akan menjadi tahu ada buku baru di bidang pendidikan sekaligus tahu pula gambaran isinya. Masyarakat juga mendapat panduan, apakah sebuah buku mendesak untuk segera dibeli.
Saling Memengaruhi
Tampak, bahwa ada aktivitas saling memengaruhi. Di satu sisi ada guru yang aktif menulis. Di sisi lain, masyarakat (murid, orangtua murid, masyarakat luas) akan terangsang untuk rajin membaca karena melihat si penulis sebagai pribadi yang dikenalnya.
Jika hal ini terus diperbesar frekwensinya, maka semoga menjadi gerakan bersama untuk menjadi “Masyarakat Cinta Membaca dan Guru Suka Menulis”. Situasi seperti ini sangat kita rindukan, sebab di negeri ini budaya membaca dan menulis masih sangat rendah. Pernah, sebuah penelitian menyimpulkan bahwa hanya satu dari seribu warga yang suka membaca. Jika yang suka membaca hanya “sebesar” itu, maka berapa yang punya minat menulis?
Atas usaha pencapaian kondisi ‘guru suka menulis’, semua pihak harus mendukung secara penuh. Pertama, yang harus gigih mendukung mestinya dari fihak guru-guru sendiri. Sungguh, perlu diulang-ulang, di antara yang sangat diuntungkan jika guru senang menulis adalah para murid.
Kedua, media harus menjadi pendukung berat. Misal, fihak media memberi porsi dan kesempatan yang cukup bagi termuatnya artikel-artikel dari guru. Lebih khusus, bahkan, buatlah–misalnya-rubrik khusus guru.
Ketiga, tentu saja pemerintah berkewajiban menyokong. Misalnya, berilah berbagai rangsangan positif kepada guru agar mereka suka menulis.
Bukan Sulapan
Memang, membuat artikel yang layak muat di media tidak bisa sekali jadi. Tidak bisa sekali berlatih langsung lancar. Untuk itu, pertama, diperlukan keseriusan untuk segera memulai berlatih dan terus mempertahankannya sebagai sebuah kebiasaan.
Kedua, mengingat artikel-artikel yang dimuat di media rata-rata merespons isu-isu aktual yang terjadi dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, maka guru harus rajin berlatih mengasah kepekaan dalam menangkap isu-isu aktual dan menarik. Kuncinya, banyak membaca berita dan mendengar kabar di sekitar.
Pun, banyak membaca artikel karya orang lain. Cermati bagaimana si penulis menemukan tema aktual, bagaimana membuat judul yang bisa “mencuri perhatian”, bagaimana membuka dengan paragraf pertama yang “merangsang rasa ingin tahu”, bagaimana mengulas bahasan yang diangkat secara “sistimatis dan argumentatif”, dan bagaimana cara menutup tulisan dengan “cantik dan berkesan”.
Alhasil, jadilah pembelajar tiada henti dengan cara menjadi guru yang cakap menulis. Sungguh, duhai para guru, bersemangatlah untuk menjadi pahlawan yang berjasa karena banyak menghasilkan karya tulis. Karya-karya itu, semoga secara meyakinkan menginspirasi murid, orangtua murid, dan masyarakat luas. Masya-Allah, indah! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni